Di antara para pembantunya, murid keponakannya sendiri, Progodigdoyo merupakan
orang yang paling dipercayakannya. Juga dalam rangka pelaksanaan cita-citanya
itulah Resi Mahapati berjuang dan akhirnya berhasil mendukung murid keponakannya
itu sehingga dapat diangkat menjadi Bupati Tuban!
Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, di dalam sebuah hutan di tepi Sungai Tambakberas, di dalam rumah besar yang tampaknya hanya rumah seorang
petani biasa, terjadilah pertemuan-pertemuan yang kalau ketahuan orang lain tentu akan menimbulkan keheranan karena yang hadir di situ adalah orang-orang
penting dari Mojopahit! Yang memimpin pertemuan itu adalah Resi Mahapati sendiri,
dibantu oleh Bupati Tuban, Progodigdoyo dan tampaklah Senopati Mojopahit yang bernama
Singosardulo yang juga sudah terjaring oleh pengaruh Resi Mahapati, lalu
nampak pula beberapa
orang tumenggung yang juga sudah menjadi anak buah resi.
Tidak ketinggalan Klabang
Curing, tangan kanan Progodigdoyo hadir pula beserta
beberapa orang yang kelihatan
serem-serem dan jelas memiliki kepandaian yang tinggi.
“Tidak ada jalan lain, Si Sora harus dilenyapkan dari Mojopahit, kalau tidak,
dia merupakan orang yang berbahaya.“
“Akan tetapi,
kedudukannya amat kuat, paman Resi!“ Tumenggung Singosardulo
membantah.
“Dia merupakan
seorang tokoh lama, seorang demang yang terkasih oleh sang prabu. Mana mungkin main-main
dengan dia?“
“Ha-ha-ha!“ Resi Mahapati
tertawa sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam. “Engkau
tidak tahu, Tumenggung Singosardulo. Nyawa dia berada di dalam genggaman
tanganku! Betul tidak,
Progodigdoyo?“
Bupati Tuban itu tertawa gembira dan mengangguk-angguk.
“Kakang Tumenggung Singosardulo harap jangan ragu-ragu, percayalah kepada paman resi!“
“Akan tetapi…“ Singosardulo masih penasaran karena hatinya memang miris kalau
harus ikut-ikut mengganggu
Lembu Sora yang selain berkedudukan tinggi, juga merupakan
seorang tokoh yang disegani karena wataknya yang jujur dan keras, dan juga terutama sekali karena kedigdayaanya.
“Reksosuro! Darumuko!“
“Hamba siap, sang resi!“ dua orang itu sudah cepat maju dan memberi hormat
dengan sikap gagah.
“Reksosuro, engkau berhadapan dengan orang-orang sendiri, sekarang ceritakanlah
apa yang kalian saksikan
di Sungai Tambakberas ketika terjadi pertandingan
antara Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang.“
Dengan bangga Reksosuro
lalu bercerita.
“Ketika itu, hanya hamba berdua tadi Darumuko saja yang masih memperhatikan mereka berdua tenggelam. Semua prajurit
sudah bertempur kembali karena mengira mereka keduanya tewas dan tenggelam. Akan tetapi hamba berdua yang ketika itu saling bertaruh
untuk kemenangan seorang diantara mereka, mengenal
siapa adanya Senopati Kebo Anabrang yang terkenal ahli di dalam
air dan kabarnya kuat menyelam di dalam air sampai setengah jam lamanya.
Benar saja, mereka muncul dan Adipati Ronggo Lawe berada dalam keadaan lemas
karena kehabisan
napas dan kepalanya dibentur-benturkan batu kali sampai pecah!“
Reksosuro menceritakan peristiwa itu dengan menggerak-gerakkan tangannya sehingga
semua orang tertarik karena memang pertandingan antara dua orang senopati yang gagah perkasa
itu selalu menjadi buah percakapan orang dengan kagum.
“Kemudian
hamba berdua terkejut dan cepat bersembunyi
ketika hamba melihat ada orang berloncatan di atas batu-batu kali sambil membawa sebatang keris terhunus. Orang
itu dengan sigapnya
meloncat ke belakang Senopati Kebo Anabrang. Kemudian
menusukkan kerisnya ke belikat senopati itu sampai tembus dada. Hamba melihat
sendiri, melihat betapa darah muncrat-muncrat dan Senopati Kebo Anabrang menoleh,
terbelalak lalu terkulai di atas batu, lengannya masih memiting leher Ronggo
Lawe yang juga sudah tewas! Mengerikan sekali!”
“Siapa orang itu? Siapa yang membunuh
Kebo Anabrang dari belakang?“ Singosardulo
membentak dengan penasaran dan terkejut bukan main.
“Bukan lain adalah Gusti Demang Lembu Suro….“
“Ahhhh…!!“ Singosardulu melompat dan kelihatan tidak percaya.
“Duduklah, Tumenggung
Singosardulo…“ Resi Mahapati menenangkannya dengan gerakan
tangan.
“Sudah jelas, mengapa engkau tidak percaya?
Dan sebabnya mudah sekali
diduga. Lembu Sora menyaksikan betapa Ronggo Lawe dianiaya, disiksa oleh Kebo Anabrang,
maka dia menjadi tidak tega, mata gelap karena amarahnya lalu membunuh
Kebo Anabrang. Apakah anehnya itu?“
“sekarang aneh… dan hebat…“ Singosardulo
masih penasaran dan belum hilang kagetnya. Berita ini baru saja didengarnya dan memang mengejutkan.
“Sekarang sudah tiba waktunya
membuka rahasia ini, “kata Resi Mahapati.
“Maka kita
harus membagi-bagi tugas, Tumenggung Singosardulo, andika merupakan seorang
yang dekat dengan Lembu Sora. Untuk menghilangkan keraguanmu, maka sebaiknya
andika menemui Lembu Sora, mengajaknya bercakap-cakap kemudian coba kemukakan
berita yang andika
dengar tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri Kebop
Anabrang. Lihat
saja bagaimana
reaksinya! Kalau sudah yakin hatimu, nah, sebarkan
berita itu secara berbisik-bisik di antara para ponggawa kerajaan.“
Singosardulo mengangguk-angguk, merasa setuju karena dia tadinya khawatir kalau
dia disuruh menyebarluaskan berita yang belum tentu benar itu. Kalau berita itu
palsu dan dia menyebarkannya, berarti fitnah dan melakukan fitnah atas Demang
Lembu Sora bukan main-main. Akan tetapi kalau dia boleh menjajagi dulu, bertanya
lagsung, dia percaya bahwa seorang gagah perkasa seperti Lembu Sora tidak akan mengingkari perbuatannya.
“Selain itu ada satu hal lagi uang amat penting, “kata Resi Mahapati kemudian.
“Pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe belum juga dapat ditemukan. Sungguh aneh
sekali mengapa mayat Sri Winarti
itu lenyap begitu saja. Ini gara-gara dua monyet ini yang tidak becus menangkap Reksosuro dan Darumuko.”
“Maafkan hamba berdua,
bagaimana hamba berdua dapat berdaya setelah bertemu
dengan Setan jembros? “ bantah
Darumuko dengan muka membayangkan kengerian.
“Setan… eh, maksudmu
Ki Jembros?“ tanya seorang tumenggung lain yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Nama Ki Jembros sudah terkenal maka mendengar nama
manusia yang sakti dan aneh seperti setan itu disebut-sebut, dia terkejut. Hanya Progodigdoyo yang sudah diceritakan oleh paman gurunya yang tidak merasa heran.
Juga Tumenggung Singosardulo memandang dengan mata terbelalak.
“Benar, gusti tumenggung,“ kata Reksosuro yang suka sekali menceritakan hal-hal
yang menarik.
“Ki Jembros sendiri yang menolong bocah itu dan hamba berdua
dibuat main-main, hampir dibunuh!“ Dia bergidik kemudian menceritakan pengalaman
mereka.
Tumenggung Singosardulo dan para
pembantu Mahapati yang lain, yang
belum mendengar tentang peristiwa itu, mendengarkan dengan mata
terbelalak penuh kengerian.
“Akan tetapi kita tidak perlu takut menghadapi
Ki Jembros, “kata Mahapati
membesarkan hati para pembantunya.
“Apalagi
karena ternyata dia hanya mempermainkan Reksosuro dan Darumuko, buktinya dia tidak membunuh mereka ini. Aku sendiri
ingin sekali waktu bertemu dan melihat sampai di mana kesaktiannya,
apalagi aku akan mengundang kakak seperguruanku, yaitu Empu Tanjungpetak yang bertapa
di pantai Laut Jawa. Dengan adanya kakak seperguruanku itu, biar ada lima orang Ki Jembos, aku tidak takut! Pula, dalam pelaksanaan tugas-tugas kita
yang berat, kita harus memperoleh
bantuan banyak orang pandai. Betapapun juga, Kolonadah
harus dapat kumiliki. Menurut penyelidikanku, pusaka Kolonadah itu
diciptakan oleh Empu Supamandrangi khusus untuk seorang raja! Siapa yang memiliki Kolonadah akan kuat menjadi raja!“
“Akan tetapi,
paman Resi Mahapati. Kalau memang pusaka Kolonadah sebuah pusaka
untuk seorang raja, mengapa
Ronggo Lawe yang baru berpangkat adipati saja sudah tewas?“ bantah Tumenggung
Singosardulo.
“Ha-ha, betapapun ampuh dan saktinya sebuah pusaka, namun yang menentukan adalah
sepak terjang si manusia sendiri.
Aku percaya, dengan Kolonadah di tangannya,
tentu akhirnya Ronggo Lawe akan terus menaik kedudukannya, tidak hanya menjadi
Adipati Tuban. Akan tetapi dia murka, dia hendak menentang sri baginda secara berterang, maka sebelum keampuhan pusaka itu mengangkatnya, dia telah tersandung
oleh kelakuan sendiri. Pendeknya, aku percaya akan kesaktian Empu Supamandrangi
dalam menciptakan keris pusaka itu dan aku takkan menghentikan usahaku mencari
Kolonadah sampai dapat. Eh, Progodigdoyo! Karena lenyapnya Sri Winarti dan
pusaka Kolonadah terjadi di Sungai Tambakberas yang menjadi daerahmu, maka aku menyerahkan tugas menemukan kembali Kolonadah ini kepadamu. Sebarlah orang-orangmu
untuk menyelidiki dan mencari
pusaka itu sampai dapat.“
“Baik, paman resi. Akan saya usahakan sampai berhasil.“ Jawab Progodigdoyo.
Setelah mengadakan percakapan semalam suntuk, membagi-bagi tugas, dan mengatur
rencana “Perjuangan“ mereka, menjelang pagi Resi Mahapati kembali ke Mojopahit,
diiringi oleh beberapa
orang pengawalnya. Setelah tiba di gedungnya, dia membubarkan pengawal-pengawal itu dan langsung memasuki kamarnya.
Lestari yang berdandan
rapi menyambutnya dengan senyum yang cerah, secerah
matahari pagi itu. Biar pun wanita muda ini telah beberapa bulan menjadi
selirnya yang tidak pernah terpisah lagi setiap hari, namun untuk ke sekian
kalinya Resi Mahapati
terpesona oleh kecantikan dan kemudaan wanita ini, oleh
sinar mata yang agaknya
penuh dengan cinta dan kemesraan terhadapnya itu.
Langsung saja dirangkulnya Lestari dan dikecup pipinya.
“Aduh diajeng… sungguh makin cantik saja engkau!“
Lestari tersenyum
manis dan dengan sikap manja melepaskan diri dari pelukan,
lalu dengan lenggat-lenggut seperti anak manja dia menjauhkan diri dari Resi Mahapati
yang duduk di atas pembaringan yang harum itu.
“Ke sinilah manis, cah ayu, cah denok… aku rindu padamu, Lestari. Aih, berpisah
satu malam saja denganmu rasanya seperti berpisah satu tahun! Kesinilah,
Lestari, aku cinta padamu…“
Resi yang usianya sudah setengah abad itu ternyata
masih pandai merayu.
Tentu saja dia tidak mau menggunakan sihir sekarang, karena
wanita yang ditundukkan dan menyerahkan diri kepadanya di bawah kekuatan
sihirnya tidak wajar dan tidak memuaskan
hatinya. Berbeda kalau wanita itu
menyerahkan diri dengan suka rela, seperti
yang dilakukan oleh Lestari selama
ini. Penyerahan diri wanita
muda belia ini secara suka rela tanpa pengaruh sihir
lagi, membuat sang resi menjadi
bangga, karena hal itu dianggapnya bahwa biar pun usianya sudah tua namun dia masih cukup “jantan“
untuk menundukkan wanita
dan meraih cinta kasihnya.
Dengan lenggang-lenggok yang dapat mencabut sukma pria, Lestari enggan mendekat,
malah cemberut dan melerok,
akan tetapi sikap ini malah menambah kemanisan
wajahnya dalam pandang mata Mahapati yang benar-benar di luar kesadarannya telah
terpesona di bawah kekuatan
“sihir“ kecantikan wajah, kemanjaan sikap, dan
kepadatan tubuh muda itu.
“Ahh, siapa percaya
rayuan pria? Di mulut menyatakan cinta, akan tetapi hatinya
mengenangkan wanita lain yang semalam menemaninya tidur!“ kata Lestari manja,
sikapnya seperti seorang wanita yang kecewa karena pria yang dicintanya tidak setia kepadanya.
“Wah-wah… bagaimana kau bisa bilang begitu, diajeng Lestari? Ah, bagaimana sih kau ini? Dicinta
orang, dirindukan setengah mati, sampai semalam suntuk badanku
kesemutan semua karena rindunya akan sentuhanmu, eh, kau malah menyangka yang bukan-bukan.“
“Ahhhh, kakangmas
resi tidak perlu membohong kepadaku. Ke mana saja perginya
seorang pria sampai meninggalkan kekasihnya semalam suntuk kalau tidak menemui
wanita lain yang menjadi kekasih barunya? Paduka semalam bersenang-senang, tidur
hangat dan nikmat,
akan tetapi aku kedinginan dan kesepian, hanya bantal guling
menyaksikan tangisku…“ Sepasang mata yang indah itu mulai menjadi merah, tanda bahwa air matanya
sudah hampir keluar.
“Diajeng… Lestari kekasihku, pujaan hatiku, aku bersumpah tidak mempunyai
kekasih lain kecuali
engkau, manis. Aku bersumpah demi Hyang Bathara Syiwa, biar
aku
dikutuk kalau aku membohongimu.” Mahapati berkata dan dia sudah turun dari pembaringan, menghampiri Lestari dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang.
“Ah, kakangmas, siapa yang tidak tau bahwa sumpah seorang pria di depan wanita adalah seperti
halilintar tanpa hujan.“
“Eh, apa maksudmu, nimas?“
“Hanya keras suaranya, mengesankan, akan tetapi tidak ada ada buktinya.“
“Wah-wah apakah
kau tidak percaya kepadaku? Marilah, nimas, jangan mengodaku,
aku benar-benar sudah rindu setengah mati.“ Resi Mahapati menarik selirnya
terkasih itu ke arah pembaringan.
Lestari tidak menolak,
akan tetapi ketika dia sudah duduk di atas pembaringan
dan sang resi hendak memeluknya, dia menggeser pinggulnya menjauhi lagi.
Sikapnya seperti jinak-jinak merpati sehingga menambah gairah di hati sang resi yang seolah-olah mulai dibakar oleh nafsu berahinya.
“Lestari…“ suaranya gemetar penuh getaran nafsu.
Lestari menggoyang-goyang pundak dan kepala dengan manja.
“Aku masih belum
percaya, kakangmas
resi. Kau tentu main gila dengan perempuan lain semalam, maka engkau tidak pulang!“
“Ah, sungguh sumpah tujuh turunan! Aku pergi untuk urusan yang amat penting,
nimas, sama sekali tidak bertemu dengan seorang pun perempuan.“
“Mana aku bisa percaya?
Paduka harus menceritakan dulu kepada saya tentang apa yang paduka lakukan
semalam, baru saya percaya…“
Mahapati menarik
napas panjang, merasa bahwa dia sama sekali tidak berdaya
menghadapi selirnya ini.
“Baiklah,
baiklah, sayang. Aku pergi ke Tuban…“
“Oh, ke Tuban? Kenapa saya tidak diajak, kakangmas resi?“
“Ah, ada urusan penting, urusan negara, mana bisa mengajak wanita?“
Lestari merajuk
lagi,
“Ceritakan kakangmas. Urusan apa yang demikian pentingnya
itu. Ceritakan semua agar hati saya puas dan lega.“
“Tak usah kuceritakan sejelasnya. Aku bertemu dengan Progodigdoyo, dengan teman-teman
lain untuk membicarakan urusan negara, urusan kaum pria. Kuceritakan engkau
tidak akan mengerti.“
Lestari cemberut.
“Pasti urusan perempuan!
Kalau tidak mengapa paduka enggan menceritakan?“
Mahapati hendak mencium
bibir yang cemberut penuh masu itu, akan tetapi Lestari
sengaja membuang muka sehingga hanya pipinya saja yang kena dicium.
“Eh, kau tidak suka dicium,
Lestari?“
“Paduka tahu bahwa saya suka sekali,
akan tetapi paduka menyimpan rahasia
terhadap saya. Bukankah sudah sering kali saya katakan bahwa saya adalah milik paduka,
bahwa saya menyerahkan jiwa raga saya kepada paduka? Kita dua badan satu hati, mengapa paduka menyimpan rahasia? Paduka hanya menyerahkan kepala akan tetapi masih memegangi ekornya, tidak sama sekali menaruh kepercayaan kepada saya.“
Mahapati kehabisan
akal, lalu dirangkulnya wanita itu.
“eh, ini rahasia,
cah ayu. Rahasia,
cah ayu. Rahasia besar!“
“Apakah kakangmas resi tidak percaya kepada saya? Saya yang sudah menyerahkan segala-galanya? Sungguh
kejam…“ Dan kini Lestari membiarkan air matanya menetes-netes
menuruni kedua pipinya.
“Eh-eh…, jangan menangis,
sayang.“ Mahapati memeluk dengan penuh iba.
“Baiklah kuceritakan. Akan tetapi… hemm, apa upahnya?“
Lestari menoleh, memandang, matanya masih basah akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia lalu mengambung pipi yang ada cambangnya melintang itu.
“Upahnya cium…“ bisiknya
manja.
“Hanya itu?“
“Selanjutnya terserah, apa pun yang paduka minta akan saya penuhi…“ Ucapan ini disertai senyum dan kerling mata penuh janji.
“Ah, kekasihku, bagaimana aku dapat membohongimu? Kau begini cerdik…“ Mahapati
lalu merangkul dan menarik tubuh kekasihnya itu untuk rebah di atas pembaringan.
Sambil merangkul leher Lestari dan rebah miring saling berhadapan, dia berbisik,
“Karena rahasia,
kita harus hati-hati. Nah, dengarlah…“ Sambil bebisik-bisik, tanganya sibuk menggerayangi dan membelai tubuh kekasihnya, kadang-kadang
menciumi mulut, hidung, mata dan pipi yang sedemikian dekatnya, dengan suara tersendat-sendat didesak nafsu birahi yang makin memuncak, Sang Resi Mahapati
lalu menceritakan semua peristiwa
dan semua rencana yang di bicarakan di dalam pertemuan
semalam kepada Lestari! Tidak ada satu pun yang dirahasiakan terhadap
wanita ini, karena dalam keadaan didesak nafsu yang menuntut pelepasan itu dia
ingin cepat-cepat menyelesaikan ceritanya dan menuntut hadiahnya. Sampai lama
mereka saling
bisik-bisik dan terbukalah semua rahasia yang kalau terdengar
orang lain amat berbahaya
itu, semua dituturkan tanpa ragu-ragu lagi kepada
Lestari yang mencatat
hal-hal yang penting di dalam hatinya. Matahari telah naik tinggi
ketika kamar itu menjadi sunyi untuk beberapa lamanya, kemudian terdengar
suara mendengkur dari Resi Mahapati yang rebah pulas dalam keadaan lelah dan puas, dengan
dahi masih berkeringat.
Perlahan-lahan Lestari
turun dari pembaringan, menghapus keringatnya dari dahi
dan leher dengan
ujung tapih (kain), digosoknya muka dan lehernya kuat-kuat
seperti orang hendak membersihkan kotoran, lalu mengerling ke arah Resi Mahapati
yang tidur mendengkur itu dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu resi itu akan
terkejut sekali kalau dapat melihat
sinar mata ini, yang bagaikan bumi dan langit bedanya dari pada sinar mata wanita itu ketika melayani cumbuannya.
Tak lama kemudian, setelah mandi dan bertukar pakaian, Lestari sudah duduk
kembali di dalam kamar itu, wajahnya
segar kemerahan, akan tetapi pandang
matanya kepada tubuh yang masih rebah terlentang di atas pembaringan itu masih
penuh kebencian dan kemukaan yang ditahan-tahan, lalu dia duduk di atas kursi,
termenung. Kadang-kadang dia mengepal tinju, kadang-kadang mengerutkan alisnya
yang berbentuk indah seperti
dilukis, kadang-kadang dia tersenyum seorang diri,
senyum yang membayangkan kemenangan.
“Bagus… “bisik hatinya.
“Ayahku, ibuku,
adikku, mengalami penasaran, tewas oleh si jahanam Progodigdoyo perwira Mojopahit di Tuban, dan tidak ada seorang pun
pejabat dan penguasa
Mojopahit yang peduli! Sekaranglah tiba saatnya aku
membalas dendam, aku tumpas habis semua penguasa
Mojopahit, akan kudatangkan
kemelut di Mojopahit sebagai balas dendam hancurnya keluargaku, melalui si tua bangka Mahapati!
Setelah itu, akan kuhancurkan si Progodigdoyo, baru kemudian si
Mahapati! Hidik, ya, begitulah,
dan usahaku pasti berhasil baik! Ayah… Ibu… adik Sutejo…
tenang-tenanglah kalian di alam baka… jangan mengira Lestari akan diam saja! Tidak percuma aku mengorban tubuhku dan perasaanku, menerima penghinaan
dan pemerkosaan dengan memaksa senyum di bibir. Kelak akulah yang akan tertawa dan kalian, menusia jahanam di Mojopahit, kalian yang akan menangis!“ Lalu terdengar
isak tangis wanita muda itu. Akan tetapi hanya sebentar saja dia menangis karena begitu dia mendengar Sang Resi Mahapati menggeliat di atas pembaringan, dia lalu menghampiri dan mengambung pipi sang resi dengan hidungnya
yang mancung, bibirnya
tersenyum menyeringai dan mata yang basah itu berkilat.
Lembu Sora mengelus
jenggotnya yang seperti jenggot Sang harya Werkudara itu, kemudian
dia tenang kembali seperti memang telah menjadi sifatnya, lalu dengan suara halus,
dia berkata,
"Dimas tumenggung, coba kau ulangi kembali desas-desus
yang kau dengar itu."
Dengan lebih hati-hati tumenggung itu menjawab.
"Desas-desus terbawa angin yang saya dengar itu adalah bahwa kematian
Kebo Anabrang bukanlah karena smpayuh (mati bersama)
dengan Ronggo Lawe, melainkan ada yang membunuhnya, ada yang menusukkan
kerisnya dari belakang pada saat Kebo Anabrang membentur-benturkan kepala Ronggo
Lawe yang sudah kepayahan itu di tengah Sungai Tambakberas."
"Hemmm..., dan sudah jelas siapa yang membunuh
Kebo Anabrang dengan tusukan
keris itu?" kini lembu Sora menatap tajam sehingga sang tumenggung menunduk,
tidak kuat menahan sinar mata tajam penuh selidik itu.
Singosardulo mengangguk.
"Manurut bunyi desas-desus itu, andaikanlah kakangmas
Lembu Sora yang membunuh
Kebo Anabrang."
"hemmm..." Lembu Sora sama sekali tidak kelihatan kaget.
"Karena khawatir
akan desas-desus berbahaya itu, maka saya lalu cepat-cepat
menjumpai andika untuk bertanya, kakangmas demang. Kalau berita itu hanya fitnah
belaka, maka andika harus bertindak untuk memberantasnya. Kalau sampai berita ini terdengar
oleh sang prabu, tentu tidak akan baik jadinya!" Dia berhenti
sebentar, lalu bertanya
hati-hati,
"Sungguh pun saya sendiri tidak percaya akan isi desas-desus itu, akan tetapi belum lega hati saya kalau tidak mendengar
sendiri jawaban andika, kakangmas demang. Benarkah desas-desus itu bahwa andika
membunuh Kebo Anabrang?" Kini Singodardulo yang memandang penuh selidik karena
untuk itulah sesungguhnya dia datang menghadap demang yang sakti ini.
"Sebelum aku menjawab,
katalanlah apakah desas-desus itu menyatakan bahwa perbuatan
Kebo Anabrang itu ada yang melihatnya?"
"Ada. Kabarnya
ada dua orang ponggawa yang ketika itu sedang berperang, yang melihat
sendiri perbuatan itu. Kakangmas demang, jawablah bahwa berita itu bohong, bahwa andika tidak melakukan hal itu."
Lembu Sora menunduk
dan menarik napas panjang, lalu berkata,
"aku tahu bahwa kenyataan tidak mungkin ditutup-tutupi. Seorang ksatria harus berani
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ya benar, adimas tumenggung. Akulah yang
membunuh kebo Abarang!"
"Ahh...!" Tumenggung Singosardulo benar-benar terkejut sekali mendengar
pengakuan yang tidak disangka-sangka ini dan dia memandang dengan mata
terbelalak.
"akan tetapi mengapa...? Bukankah andika sendiri yang memimpin
pasukan menghadapi barisan Tuban? Bukankah andika sendiri yang membela Mojopahit
dan menentang Ronggo Lawe?"
No comments:
Post a Comment