Thursday, April 2, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 11



Di antara para pembantunya, murid keponakannya sendiri, Progodigdoyo merupakan orang yang paling dipercayakannya. Juga dalam rangka pelaksanaan cita-citanya itulah Resi Mahapati berjuang dan akhirnya berhasil mendukung murid keponakannya itu sehingga dapat diangkat menjadi Bupati Tuban!

Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, di dalam sebuah hutan di tepi Sungai Tambakberas, di dalam rumah besar yang tampaknya hanya rumah seorang petani biasa, terjadilah pertemuan-pertemuan yang kalau ketahuan orang lain tentu akan menimbulkan keheranan karena yang hadir di situ adalah orang-orang penting dari Mojopahit! Yang memimpin pertemuan itu adalah Resi Mahapati sendiri, dibantu oleh Bupati Tuban, Progodigdoyo dan tampaklah Senopati Mojopahit yang bernama Singosardulo yang juga sudah terjaring oleh pengaruh Resi Mahapati, lalu nampak pula beberapa orang tumenggung yang juga sudah menjadi anak buah resi. Tidak ketinggalan Klabang Curing, tangan kanan Progodigdoyo hadir pula beserta beberapa orang yang kelihatan serem-serem dan jelas memiliki kepandaian yang tinggi.
“Tidak ada jalan lain, Si Sora harus dilenyapkan dari Mojopahit, kalau tidak, dia merupakan orang yang berbahaya.“
“Akan tetapi, kedudukannya amat kuat, paman Resi! Tumenggung Singosardulo membantah.
“Dia merupakan seorang tokoh lama, seorang demang yang terkasih oleh sang prabu. Mana mungkin main-main dengan dia?“
“Ha-ha-ha! Resi Mahapati tertawa sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam. “Engkau tidak tahu, Tumenggung Singosardulo. Nyawa dia berada di dalam genggaman tanganku! Betul tidak, Progodigdoyo?“
Bupati Tuban itu tertawa gembira dan mengangguk-angguk.
“Kakang Tumenggung Singosardulo harap jangan ragu-ragu, percayalah kepada paman resi!“
“Akan tetapi… Singosardulo masih penasaran karena hatinya memang miris kalau harus ikut-ikut mengganggu Lembu Sora yang selain berkedudukan tinggi, juga merupakan seorang tokoh yang disegani karena wataknya yang jujur dan keras, dan juga terutama sekali karena kedigdayaanya.
“Reksosuro! Darumuko!“
“Hamba siap, sang resi! dua orang itu sudah cepat maju dan memberi hormat dengan sikap gagah.
“Reksosuro, engkau berhadapan dengan orang-orang sendiri, sekarang ceritakanlah apa yang kalian saksikan di Sungai Tambakberas ketika terjadi pertandingan antara Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang.“

Dengan bangga Reksosuro lalu bercerita.
“Ketika itu, hanya hamba berdua tadi Darumuko saja yang masih memperhatikan mereka berdua tenggelam. Semua prajurit sudah bertempur kembali karena mengira mereka keduanya tewas dan tenggelam. Akan tetapi hamba berdua yang ketika itu saling bertaruh untuk kemenangan seorang diantara mereka, mengenal siapa adanya Senopati Kebo Anabrang yang terkenal ahli di dalam air dan kabarnya kuat menyelam di dalam air sampai setengah jam lamanya. Benar saja, mereka muncul dan Adipati Ronggo Lawe berada dalam keadaan lemas karena kehabisan napas dan kepalanya dibentur-benturkan batu kali sampai pecah!“
Reksosuro menceritakan peristiwa itu dengan menggerak-gerakkan tangannya sehingga semua orang tertarik karena memang pertandingan antara dua orang senopati yang gagah perkasa itu selalu menjadi buah percakapan orang dengan kagum.
“Kemudian hamba berdua terkejut dan cepat bersembunyi ketika hamba melihat ada orang berloncatan di atas batu-batu kali sambil membawa sebatang keris terhunus. Orang itu dengan sigapnya meloncat ke belakang Senopati Kebo Anabrang. Kemudian menusukkan kerisnya ke belikat senopati itu sampai tembus dada. Hamba melihat sendiri, melihat betapa darah muncrat-muncrat dan Senopati Kebo Anabrang menoleh, terbelalak lalu terkulai di atas batu, lengannya masih memiting leher Ronggo Lawe yang juga sudah tewas! Mengerikan sekali!”
“Siapa orang itu? Siapa yang membunuh Kebo Anabrang dari belakang? Singosardulo membentak dengan penasaran dan terkejut bukan main.
“Bukan lain adalah Gusti Demang Lembu Suro….“
“Ahhhh…!! Singosardulu melompat dan kelihatan tidak percaya.
“Duduklah, Tumenggung Singosardulo… Resi Mahapati menenangkannya dengan gerakan tangan.
Sudah jelas, mengapa engkau tidak percaya? Dan sebabnya mudah sekali diduga. Lembu Sora menyaksikan betapa Ronggo Lawe dianiaya, disiksa oleh Kebo Anabrang, maka dia menjadi tidak tega, mata gelap karena amarahnya lalu membunuh Kebo Anabrang. Apakah anehnya itu?“
“sekarang aneh dan hebat… Singosardulo masih penasaran dan belum hilang kagetnya. Berita ini baru saja didengarnya dan memang mengejutkan.
“Sekarang sudah tiba waktunya membuka rahasia ini, “kata Resi Mahapati.
Maka kita  harus membagi-bagi tugas, Tumenggung Singosardulo, andika merupakan seorang yang  dekat dengan Lembu Sora. Untuk menghilangkan keraguanmu, maka sebaiknya andika  menemui Lembu Sora, mengajaknya bercakap-cakap kemudian coba kemukakan berita  yang andika dengar tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri Kebop Anabrang.  Lihat  saja bagaimana reaksinya! Kalau sudah yakin hatimu, nah, sebarkan berita itu secara berbisik-bisik di antara para ponggawa kerajaan.“

Singosardulo mengangguk-angguk, merasa setuju karena dia tadinya khawatir kalau dia disuruh menyebarluaskan berita yang belum tentu benar itu. Kalau berita itu palsu dan dia menyebarkannya, berarti fitnah dan melakukan fitnah atas Demang Lembu Sora bukan main-main. Akan tetapi kalau dia boleh menjajagi dulu, bertanya lagsung, dia percaya bahwa seorang gagah perkasa seperti Lembu Sora tidak akan mengingkari perbuatannya.
“Selain itu ada satu hal lagi uang amat penting, “kata Resi Mahapati kemudian.
Pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe belum juga dapat ditemukan. Sungguh aneh sekali mengapa mayat Sri Winarti itu lenyap begitu saja. Ini gara-gara dua monyet ini yang tidak becus menangkap Reksosuro dan Darumuko.”
“Maafkan hamba berdua, bagaimana hamba berdua dapat berdaya setelah bertemu dengan Setan jembros? bantah Darumuko dengan muka membayangkan kengerian.
“Setan eh, maksudmu Ki Jembros? tanya seorang tumenggung lain yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Nama Ki Jembros sudah terkenal maka mendengar nama manusia yang sakti dan aneh seperti setan itu disebut-sebut, dia terkejut. Hanya Progodigdoyo yang sudah diceritakan oleh paman gurunya yang tidak merasa heran. Juga Tumenggung Singosardulo memandang dengan mata terbelalak.
“Benar, gusti tumenggung, kata Reksosuro yang suka sekali menceritakan hal-hal yang menarik.
“Ki Jembros sendiri yang menolong bocah itu dan hamba berdua dibuat main-main, hampir dibunuh! Dia bergidik kemudian menceritakan pengalaman mereka.
Tumenggung Singosardulo dan para pembantu Mahapati yang lain, yang belum mendengar tentang peristiwa itu, mendengarkan dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Akan tetapi kita tidak perlu takut menghadapi Ki Jembros, “kata Mahapati membesarkan hati para pembantunya.
Apalagi karena ternyata dia hanya mempermainkan Reksosuro dan Darumuko, buktinya dia tidak membunuh mereka ini. Aku sendiri ingin sekali waktu bertemu dan melihat sampai di mana kesaktiannya, apalagi aku akan mengundang kakak seperguruanku, yaitu Empu Tanjungpetak yang bertapa di pantai Laut Jawa. Dengan adanya kakak seperguruanku itu, biar ada lima orang Ki Jembos, aku tidak takut! Pula, dalam pelaksanaan tugas-tugas kita yang berat, kita harus memperoleh bantuan banyak orang pandai. Betapapun juga, Kolonadah harus dapat kumiliki. Menurut penyelidikanku, pusaka Kolonadah itu diciptakan oleh Empu Supamandrangi khusus untuk seorang raja! Siapa yang memiliki Kolonadah akan kuat menjadi raja!“
“Akan tetapi, paman Resi Mahapati. Kalau memang pusaka Kolonadah sebuah pusaka untuk seorang raja, mengapa Ronggo Lawe yang baru berpangkat adipati saja sudah tewas? bantah Tumenggung Singosardulo.
“Ha-ha, betapapun ampuh dan saktinya sebuah pusaka, namun yang menentukan adalah sepak terjang si manusia sendiri. Aku percaya, dengan Kolonadah di tangannya, tentu akhirnya Ronggo Lawe akan terus menaik kedudukannya, tidak hanya menjadi Adipati Tuban. Akan tetapi dia murka, dia hendak menentang sri baginda secara berterang, maka sebelum keampuhan pusaka itu mengangkatnya, dia telah tersandung oleh kelakuan sendiri. Pendeknya, aku percaya akan kesaktian Empu Supamandrangi dalam menciptakan keris pusaka itu dan aku takkan menghentikan usahaku mencari Kolonadah sampai dapat. Eh, Progodigdoyo! Karena lenyapnya Sri Winarti dan pusaka  Kolonadah terjadi di Sungai Tambakberas yang menjadi daerahmu, maka aku menyerahkan tugas menemukan kembali Kolonadah ini kepadamu. Sebarlah orang-orangmu untuk menyelidiki dan mencari pusaka itu sampai dapat.“
“Baik, paman resi. Akan saya usahakan sampai berhasil. Jawab Progodigdoyo.

Setelah mengadakan percakapan semalam suntuk, membagi-bagi tugas, dan mengatur rencana “Perjuangan mereka, menjelang pagi Resi Mahapati kembali ke Mojopahit, diiringi oleh beberapa orang pengawalnya. Setelah tiba di gedungnya, dia membubarkan pengawal-pengawal itu dan langsung memasuki kamarnya.
Lestari yang berdandan rapi menyambutnya dengan senyum yang cerah, secerah matahari pagi itu. Biar pun wanita muda ini telah beberapa bulan menjadi selirnya yang tidak pernah terpisah lagi setiap hari, namun untuk ke sekian kalinya Resi Mahapati terpesona oleh kecantikan dan kemudaan wanita ini, oleh sinar mata yang agaknya penuh dengan cinta dan kemesraan terhadapnya itu. Langsung saja dirangkulnya Lestari dan dikecup pipinya.
“Aduh diajeng sungguh makin cantik saja engkau!“
Lestari tersenyum manis dan dengan sikap manja melepaskan diri dari pelukan, lalu dengan lenggat-lenggut seperti anak manja dia menjauhkan diri dari Resi Mahapati yang duduk di atas pembaringan yang harum itu.
“Ke sinilah manis, cah ayu, cah denok aku rindu padamu, Lestari. Aih, berpisah satu malam saja denganmu rasanya seperti berpisah satu tahun! Kesinilah, Lestari, aku cinta padamu… Resi yang usianya sudah setengah abad itu ternyata masih pandai merayu. Tentu saja dia tidak mau menggunakan sihir sekarang, karena wanita yang ditundukkan dan menyerahkan diri kepadanya di bawah kekuatan sihirnya tidak wajar dan tidak memuaskan hatinya. Berbeda kalau wanita itu menyerahkan diri dengan suka rela, seperti yang dilakukan oleh Lestari selama ini. Penyerahan diri wanita muda belia ini secara suka rela tanpa pengaruh sihir lagi, membuat sang resi menjadi bangga, karena hal itu dianggapnya bahwa biar pun usianya sudah tua namun dia masih cukup “jantan untuk menundukkan wanita dan meraih cinta kasihnya.
Dengan lenggang-lenggok yang dapat mencabut sukma pria, Lestari enggan mendekat, malah cemberut dan melerok, akan tetapi sikap ini malah menambah kemanisan wajahnya dalam pandang mata Mahapati yang benar-benar di luar kesadarannya telah terpesona di bawah kekuatan “sihir kecantikan wajah, kemanjaan sikap, dan kepadatan tubuh muda itu.
“Ahh, siapa percaya rayuan pria? Di mulut menyatakan cinta, akan tetapi hatinya mengenangkan wanita lain yang semalam menemaninya tidur! kata Lestari manja, sikapnya seperti seorang wanita yang kecewa karena pria yang dicintanya tidak setia kepadanya.
“Wah-wah bagaimana kau bisa bilang begitu, diajeng Lestari? Ah, bagaimana sih kau ini? Dicinta orang, dirindukan setengah mati, sampai semalam suntuk badanku kesemutan semua karena rindunya akan sentuhanmu, eh, kau malah menyangka yang bukan-bukan.“
“Ahhhh, kakangmas resi tidak perlu membohong kepadaku. Ke mana saja perginya seorang pria sampai meninggalkan kekasihnya semalam suntuk kalau tidak menemui wanita lain yang menjadi kekasih barunya? Paduka semalam bersenang-senang, tidur hangat dan nikmat, akan tetapi aku kedinginan dan kesepian, hanya bantal guling menyaksikan tangisku… Sepasang mata yang indah itu mulai menjadi merah, tanda bahwa air matanya sudah hampir keluar.
“Diajeng Lestari kekasihku, pujaan hatiku, aku bersumpah tidak mempunyai kekasih lain kecuali engkau, manis. Aku bersumpah demi Hyang Bathara Syiwa, biar aku dikutuk kalau aku membohongimu. Mahapati berkata dan dia sudah turun dari pembaringan, menghampiri Lestari dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang.
“Ah, kakangmas, siapa yang tidak tau bahwa sumpah seorang pria di depan wanita adalah seperti halilintar tanpa hujan.“
“Eh, apa maksudmu, nimas?“
“Hanya keras suaranya, mengesankan, akan tetapi tidak ada ada buktinya.
“Wah-wah apakah kau tidak percaya kepadaku? Marilah, nimas, jangan mengodaku, aku benar-benar sudah rindu setengah mati. Resi Mahapati menarik selirnya terkasih itu ke arah pembaringan.
Lestari tidak menolak, akan tetapi ketika dia sudah duduk di atas pembaringan dan sang resi hendak memeluknya, dia menggeser pinggulnya menjauhi lagi. Sikapnya seperti jinak-jinak merpati sehingga menambah gairah di hati sang resi yang seolah-olah mulai dibakar oleh nafsu berahinya.
“Lestari… suaranya gemetar penuh getaran nafsu.
Lestari menggoyang-goyang pundak dan kepala dengan manja.
“Aku masih belum percaya, kakangmas resi. Kau tentu main gila dengan perempuan lain semalam, maka engkau tidak pulang!“
“Ah, sungguh sumpah tujuh turunan! Aku pergi untuk urusan yang amat penting, nimas, sama sekali tidak bertemu dengan seorang pun perempuan.“
“Mana aku bisa percaya? Paduka harus menceritakan dulu kepada saya tentang apa yang paduka lakukan semalam, baru saya percaya…“
Mahapati menarik napas panjang, merasa bahwa dia sama sekali tidak berdaya menghadapi selirnya ini.
Baiklah, baiklah, sayang. Aku pergi ke Tuban…“
“Oh, ke Tuban? Kenapa saya tidak diajak, kakangmas resi?“
“Ah, ada urusan penting, urusan negara, mana bisa mengajak wanita?“
Lestari merajuk lagi,
“Ceritakan kakangmas. Urusan apa yang demikian pentingnya itu. Ceritakan semua agar hati saya puas dan lega.“
“Tak usah kuceritakan sejelasnya. Aku bertemu dengan Progodigdoyo, dengan teman-teman lain untuk membicarakan urusan negara, urusan kaum pria. Kuceritakan engkau tidak akan mengerti.“
Lestari cemberut.
“Pasti urusan perempuan! Kalau tidak mengapa paduka enggan menceritakan?“

Mahapati hendak mencium bibir yang cemberut penuh masu itu, akan tetapi Lestari sengaja membuang muka sehingga hanya pipinya saja yang kena dicium.
“Eh, kau tidak suka dicium, Lestari?“
“Paduka tahu bahwa saya suka sekali, akan tetapi paduka menyimpan rahasia terhadap  saya. Bukankah sudah sering kali saya katakan bahwa saya adalah milik paduka, bahwa  saya menyerahkan jiwa raga saya kepada paduka? Kita dua badan satu hati, mengapa  paduka menyimpan rahasia? Paduka hanya menyerahkan kepala akan tetapi masih memegangi ekornya, tidak sama sekali menaruh kepercayaan kepada saya.“
Mahapati kehabisan akal, lalu dirangkulnya wanita itu.
“eh, ini rahasia, cah ayu. Rahasia, cah ayu. Rahasia besar!“
“Apakah kakangmas resi tidak percaya kepada saya? Saya yang sudah menyerahkan segala-galanya? Sungguh kejam… Dan kini Lestari membiarkan air matanya menetes-netes menuruni kedua pipinya.
“Eh-eh…, jangan menangis, sayang. Mahapati memeluk dengan penuh iba.
“Baiklah kuceritakan. Akan tetapi hemm, apa upahnya?“
Lestari menoleh, memandang, matanya masih basah akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia lalu mengambung pipi yang ada cambangnya melintang itu.
“Upahnya cium…“ bisiknya manja.
“Hanya itu?“
“Selanjutnya terserah, apa pun yang paduka minta akan saya penuhi… Ucapan ini disertai senyum dan kerling mata penuh janji.
“Ah, kekasihku, bagaimana aku dapat membohongimu? Kau begini cerdik… Mahapati lalu merangkul dan menarik tubuh kekasihnya itu untuk rebah di atas pembaringan. Sambil merangkul leher Lestari dan rebah miring saling berhadapan, dia berbisik,
“Karena rahasia, kita harus hati-hati. Nah, dengarlah… Sambil bebisik-bisik, tanganya sibuk menggerayangi dan membelai tubuh kekasihnya, kadang-kadang menciumi mulut, hidung, mata dan pipi yang sedemikian dekatnya, dengan suara tersendat-sendat didesak nafsu birahi yang makin memuncak, Sang Resi Mahapati lalu menceritakan semua peristiwa dan semua rencana yang di bicarakan di dalam pertemuan semalam kepada Lestari! Tidak ada satu pun yang dirahasiakan terhadap wanita ini, karena dalam keadaan didesak nafsu yang menuntut pelepasan itu dia ingin cepat-cepat menyelesaikan ceritanya dan menuntut hadiahnya. Sampai lama mereka saling bisik-bisik dan terbukalah semua rahasia yang kalau terdengar orang lain amat berbahaya itu, semua dituturkan tanpa ragu-ragu lagi kepada Lestari  yang mencatat hal-hal yang penting di dalam hatinya. Matahari telah naik tinggi ketika kamar itu menjadi sunyi untuk beberapa lamanya, kemudian terdengar suara mendengkur dari Resi Mahapati yang rebah pulas dalam keadaan lelah dan puas, dengan dahi masih berkeringat.

Perlahan-lahan Lestari turun dari pembaringan, menghapus keringatnya dari dahi dan leher dengan ujung tapih (kain), digosoknya muka dan lehernya kuat-kuat seperti orang hendak membersihkan kotoran, lalu mengerling ke arah Resi Mahapati yang tidur mendengkur itu dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu resi itu akan terkejut sekali kalau dapat melihat sinar mata ini, yang bagaikan bumi dan langit bedanya dari pada sinar mata wanita itu ketika melayani cumbuannya.
Tak lama kemudian, setelah mandi dan bertukar pakaian, Lestari sudah duduk kembali di dalam kamar itu, wajahnya segar kemerahan, akan tetapi pandang matanya kepada tubuh yang masih rebah terlentang di atas pembaringan itu masih penuh kebencian dan kemukaan yang ditahan-tahan, lalu dia duduk di atas kursi, termenung. Kadang-kadang dia mengepal tinju, kadang-kadang mengerutkan alisnya yang berbentuk indah seperti dilukis, kadang-kadang dia tersenyum seorang diri, senyum yang membayangkan kemenangan.
“Bagus “bisik hatinya.
Ayahku, ibuku, adikku, mengalami penasaran, tewas oleh si  jahanam Progodigdoyo perwira Mojopahit di Tuban, dan tidak ada seorang pun pejabat dan penguasa Mojopahit yang peduli! Sekaranglah tiba saatnya aku membalas dendam, aku tumpas habis semua penguasa Mojopahit, akan kudatangkan kemelut di Mojopahit sebagai balas dendam hancurnya keluargaku, melalui si tua bangka Mahapati! Setelah itu, akan kuhancurkan si Progodigdoyo, baru kemudian si Mahapati! Hidik, ya, begitulah, dan usahaku pasti berhasil baik! Ayah Ibu adik Sutejo tenang-tenanglah kalian di alam baka jangan mengira Lestari akan diam saja! Tidak percuma aku mengorban tubuhku dan perasaanku, menerima penghinaan dan pemerkosaan dengan memaksa senyum di bibir. Kelak akulah yang akan tertawa dan kalian, menusia jahanam di Mojopahit, kalian yang akan menangis! Lalu terdengar isak tangis wanita muda itu. Akan tetapi hanya sebentar saja dia menangis  karena begitu dia mendengar Sang Resi Mahapati menggeliat di atas pembaringan,  dia  lalu menghampiri dan mengambung pipi sang resi dengan hidungnya yang  mancung, bibirnya tersenyum menyeringai dan mata yang basah itu berkilat.

Lembu Sora mengelus jenggotnya yang seperti jenggot Sang harya Werkudara itu, kemudian dia tenang kembali seperti memang telah menjadi sifatnya, lalu dengan suara halus, dia berkata,
"Dimas tumenggung, coba kau ulangi kembali desas-desus yang kau dengar itu."
Dengan lebih hati-hati tumenggung itu menjawab.
"Desas-desus terbawa angin yang saya dengar itu adalah bahwa kematian Kebo Anabrang bukanlah karena smpayuh (mati bersama) dengan Ronggo Lawe, melainkan ada yang membunuhnya, ada yang menusukkan kerisnya dari belakang pada saat Kebo Anabrang membentur-benturkan kepala Ronggo Lawe yang sudah kepayahan itu di tengah Sungai Tambakberas."
"Hemmm..., dan sudah jelas siapa yang membunuh Kebo Anabrang dengan tusukan keris itu?" kini lembu Sora menatap tajam sehingga sang tumenggung menunduk, tidak kuat menahan sinar mata tajam penuh selidik itu.
Singosardulo mengangguk.
"Manurut bunyi desas-desus itu, andaikanlah kakangmas Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang."
"hemmm..." Lembu Sora sama sekali tidak kelihatan kaget.
"Karena khawatir akan desas-desus berbahaya itu, maka saya lalu cepat-cepat menjumpai andika untuk bertanya, kakangmas demang. Kalau berita itu hanya fitnah belaka, maka andika harus bertindak untuk memberantasnya. Kalau sampai berita ini terdengar oleh sang prabu, tentu tidak akan baik jadinya!" Dia berhenti sebentar, lalu bertanya hati-hati,
"Sungguh pun saya sendiri tidak percaya akan isi desas-desus itu, akan tetapi belum lega hati saya kalau tidak mendengar sendiri jawaban andika, kakangmas demang. Benarkah desas-desus itu bahwa andika membunuh Kebo Anabrang?" Kini Singodardulo yang memandang penuh selidik karena untuk itulah sesungguhnya dia datang menghadap demang yang sakti ini.
"Sebelum aku menjawab, katalanlah apakah desas-desus itu menyatakan bahwa perbuatan Kebo Anabrang itu ada yang melihatnya?"
"Ada. Kabarnya ada dua orang ponggawa yang ketika itu sedang berperang, yang melihat sendiri perbuatan itu. Kakangmas demang, jawablah bahwa berita itu bohong, bahwa andika tidak melakukan hal itu."
Lembu Sora menunduk dan menarik napas panjang, lalu berkata,
"aku tahu bahwa kenyataan tidak mungkin ditutup-tutupi. Seorang ksatria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ya benar, adimas tumenggung. Akulah yang membunuh kebo Abarang!"
"Ahh...!" Tumenggung Singosardulo benar-benar terkejut sekali mendengar pengakuan yang tidak disangka-sangka ini dan dia memandang dengan mata terbelalak.
"akan tetapi mengapa...? Bukankah andika sendiri yang memimpin pasukan menghadapi barisan Tuban? Bukankah andika sendiri yang membela Mojopahit dan menentang Ronggo Lawe?"

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 12

No comments:

Post a Comment