Sampai lama anak itu berbisik-bisik mengajak kakaknya bercakap-cakap, kemudian
dia mengaruk mayat di dalam lubang itu sampai tanah yang digalinya itu semua
menimbun lubang, merupakan gundukan tanah yang cukup tinggi. Kemudian dia
berdiri, memandang
ke sekeliling untuk mengukir pemandangan tempat itu di dalam ingatannya agar dia tak akan melupakan tempat dia mengubur mayat kakaknya itu, kemudian
dengan tubuh lemah, lelah dan lapar, Sulastri meninggalkan tempat itu
menuju ke dusunnya,
yaitu dusun Gedangan.
Akan tetapi baru saja dia tiba di luar dusun itu, masih menyusuri Sungai
Tambakberas, dari jauh dia melihat empat orang laki-laki yang agaknya sedang
berselisih dan bicara keras. Ketika dia mengenal bahwa dua di antara mereka
adalah Reksosuro dan Darumuko, jantungnya berdebar keras dan timbul keinginannya
untuk mendekati tempat
itu. Dua orang itu adalah musuh-musuhnya, orang-orang
yang telah menghina
mayat kakaknya, maka dia harus tahu apa yang mereka lakukan
dan apa yang mereka
bicarakan dengan dua orang lain yang kelihatannya marah-marah
itu. Sulastri lalu menyusup-nyusup di antara semak-semak di sepanjang sungai,
maju mendekat sampai dia dapat mengintai dan mendengar apa yang mereka bicarakan.
Kini jelas bahwa dua orang itu benar adalah dua orang yang menghina mayat kakaknya,
dan mereka kini mengenakan pakaian perwira Mojopahit yang gagah dan mewah, dengan keris yang sarungnya
terhias emas dan gagang kerisnya terhias
beberapa buah mata intan gemerlapan. Namun keindahan pakaian mereka itu tidak mengurangi
kebencian hati Sulastri terhdap dua orang itu, yang wajahnya telah terukir
di dalam ingatannya, dua wajah yang baginya merupakan wajah yang seburuk-buruknya!
Dia memperhatikan dua orang yang berhadapan dengan dua orang perwira Mojopahit
itu. Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh
tahunan, berpakaian biasa seperti petani-petani miskin, namun dari kulit mereka
yang bersih dan sikap mereka mudah diduga bahwa petani-petani saja, bukan petani-petani
tulen.
“Heh, keparat,
tidak perlu kalian membohong lagi!“ bentak perwira kurus kecil
bermuka bundar berbibir
tebal yang sudah dikenal namanya oleh Sulastri, yang itu namanya Darumuko.
“aku sudah tahu bahwa kalian adalah orang-orang kepercayaan
mendiang Ronggo Lawe! Hanya katakan kepada kami di mana adanya bocah itu? Kalian memang sengaja
di utus oleh mendiang atasanmu itu untuk melindunginya, bukan?“
“Tidak, tidak….Kami tidak tahu!“ jawab seorang di antara kedua orang itu.
“Keparat!“ Kini Reksosuro
yang membentak dan menghampiri dengan sikap mengancam.
“Kalian ini pengecut-pengecut Tuban masih hendak berlagak keras kepala?“
Berkata demikian,
Reksosuro mengayun tangannya menempiling kepada seorang di antara
mereka yang berkumis pendek.
“Wuuuttt….Plakk!“ Orang itu menangkis
dengan gerakan yang cukup cepat dan tangkas.
“Aeh…aeh…pengecut-pengecut Tuban berani melawan perwira-perwira Mojopahit, ya?“
Reksosuro mendelik
marah.
Orang ke dua yang matanya
lebar, balas mendelik.
“Kalian ini hanya berpakaian perwira-perwira Mojopahit
akan tetapi kelakukan kalian tiada bedanya dengan
penjahat-penjahat tak mengenal aturan!“ bentaknya marah dan mengepal tinjunya.
“Kami memang orang-orang Tuban dan kami sama sekali bukanlah pengecut-pengecut! Kami tahu pula bahwa para perwira
Mojopahit adalah orang-orang gagah, bukan seperti
kalian manusia-manusia sombong yang banyak tingkah!“
“Eitttt…! Berani menghina lagi, ya?“ Darumuko berteriak.
“Kakang Rekso, habisi
saja mereka ini, tunggu apa lagi?“
Reksosuro dan Darumuko lalu menerjang maju, menghantam kepalan tangan mereka
kepada si mata lebar dan si kumis pendek. Mereka itu memang benar adalah bekas-bekas
orang kepercayaan Ronggo
Lawe, tentu saja mereka pun bukan orang sembarangan dan dengan sigap mereka mengelak,
menangkis dan balas menyerang.
Siapakah adanya dua orang kepercayaan Ronggo Lawe yang menyamar sebagai petani
itu dan apakah maksud kedatangan
mereka menyamar sebagai petani ke dusun Gendangan? Dan apa pula kehendak Reksosuro dan Dharumuka berada di tempat itu?
Dua orang kepercayaan Ronggo Lawe itu sebetulnya diutus oleh Aryo Wirorojo untuk
memenuhi pesan terakhir
Ronggo Lawe. Di samping meninggalkan pesan kepada
ayahnya bahwa andaikata
dia gugur di medan yuda agar ayahnya itu suka merawat
dan mendidik Kuda Anjampiani, yaitu cucunya, juga Ronggo Lawe minta tolong
kepada ayahnya agar ayahnya suka mencari dua orang gadis yatim piatu bernama Sri Winarti dan Sulastri
yang tinggal di dusun Gendangan.
"Mereka itu sudah tidak mempunyai sanak keluarga, ayah,“ demikian pesan Ronggo
Lawe,
“Sri Winarti itu amat baik dan adiknya, Sulastri itu telah mengaku guru kepada
saya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau ayah manarik mereka ke Tuban
dan ayah mengatur kehidupan mereka agar mereka tidak terlantar.”
Demikian, dua orang itu lalu di utus oleh Aryo Wirorojo untuk mencari Sri Winarti
dan Sulastri di dusun Gendangan, dan karena di dusun itu mereka
mendengar bahwa sejak terjadi perang, dua orang anak perempuan itu tidak berada
di Gendangan, maka mereka lalu mencari di sepanjang Sungai Tambakberas.
Ada pun Reksosuro dan Darumuko yang telah melihat perbuatan Lembu Sora membunuh
Kebo Anabrang dan melaporkan hal itu kepada Resi Mahapati, menerima pujian dari sang resi dan menerima
banyak hadiah karena hal itu merupakan berita yang amat
dan amat baik bagi Sang Resi Mahapati
yang mempunyai cita-cita besar. Dengan
adanya berita itu, seorang di antara para senopati yang ditakuti dan berpengaruh,
yaitu Lembu Sora, telah berada di dalam genggaman tangannya. Akan tetapi ketika
dua orang pembantunya itu menceritakan tentang gadis
yang membela pati terhadap Ronggo Lawe, resi itu menjadi marah.
“Betapa bodohnya
kalian! Kenapa kalian tidak mengambil keris pusaka yang dipakai
membunuh diri gadis itu? Itulah konon adalah pusaka Ronggo Lawe yang ampuh sekali,
buatan Empu Supamandrangi. Hayo kalian cepat mencari mayat gadis itu dan mengambil
kerisnya !“
Demikian, dua orang pembantu Resi Mahapati itu bergegas pergi ke sungai
Tambakberas, akan tetapi
mereka tidak melihat mayat gadis cantik itu di sungai
dan tidak ada bekas-bekasnya. Mereka tidak tahu bahwa mayat itu telah dibawa ke tepi sungai
dan dikubur oleh Sulastri, maka mereka lalu berangkat ke dusun
Gendangan dan disitu atas penyelidikan mereka, mereka mengetahui bahwa gadis itu
bernama Sri Winarti
dan mempunyai seorang adik bernama Sulastri, bahwa mereka
dahulu pernah
ditolong oleh Ronggo Lawe! Giranglah hati mereka dan mereka lalu
berusaha mencari
Sulastri, namun tidak berhasil menemukan gadis cilik itu. Pada
waktu itu, kepala dusun Gendangan
yang menyambut dua orang perwira ini dengan
penuh kehormatan dan keramahan, yang ingin menjilat para pembesar dari Mojopahit
ini, diam-diam lalu melaporkan Ronggo Lawe yang juga mencari-cari dua orang wanita itu!
Reksosuro dan Darumuko
cepat melakukan pengejaran dan mereka saling bertemu di luar dusun Gendangan, di tepi Sungai Tambakberas dan terjadilah pertengkaran itu. Mereka
sama sekali tidak tahu bahwa mereka jadikan bahan perebutan, si gadis
cilik Sulastri, berada di dalam semak-semak mengintai dan menonton perkelahian
mereka.
Sulastri yang menonton
perkelahian itu, tentu saja diam-diam berpihak kepada dua
orang Tuban itu. Melihat
betapa dua orang Tuban itu pun pandai bersilat dan memiliki
ketangkasan, hatinya menjadi gembira dan tanpa disadarinya lagi dia keluar
dari dalam semak-semak, bahkan lalu berteriak-teriak,
“Hantam anjing-anjing Mojopahit itu, paman! Jangan takut, culeg (tusuk) mata yang juling itu! Robek bibir yang tebal itu!“
Mendengar ini, empat orang itu terkejut
dan untuk sesaat mereka berloncatan
mundur dan memandang ke arah Sulastri. Melihat anak perempuan ini, seketika
timbul dugaan didalam
hati Reksosuro dan Darumuko. Darumuko yang bermata liar tajam itu cepat sekali bertanya,
“Apakah engkau yang bernama Sulastri
adik Sri Winarti?“
Dua orang pembantu Ronggo Lawe berkedip memberi isyarat agar Sulastri jangan
mengaku, akan tetapi gadis cilik ini adalah seorang anak yang memiliki bakat kekerasan
hati dan ketabahan luar biasa, maka sambil cemberut dia menjawab,
“Ya, kalian ingat baik-baik
yang kelak akan menghancurkan kepala kalian berdua!“
“Sulastri, larilah
dari sini! Cepat….!“ Tiba-tiba orang yang berkumis pendek itu berseru
dengan wajah penuh kekhawatiran. Dia dan temannya sudah melompat dan
menghadang di depan Reksosuro
dan Darumuko. Dua orang perwira Mojopahit ini terbelalak girang dan mereka menerjang seperti dua ekor harimau buas, kini dengan keris di tangan. Dua orang ponggawa Tuban itu mencoba untuk menghindar,
akan tetapi karena tingkat
kepandaian mereka memang kalah tinggi dan kini dua orang perwira
Mojopahit itu menggunakan keris dan menyerang untuk membunuh,
mereka terhuyung dan lengan mereka berdarah karena terpaksa mereka tadi menangkis.
“Ihhh….!“ Sulastri
berteriak kaget, lalu anak ini mengambil batu dan menyambit-nyambitkan
batu ke arah Reksosuro dan Darumuko! Akan tetapi tentu saja sambitan anak itu sama sekali tidak dihiraukan, karena selain banyak menyeleweng, juga kalau mengenai
tubuh mereka yang sudah kebal terlatih tentu tidak akan terasa. Mereka
kini menubruk lagi dan dalam beberapa
gebrakan saja mereka roboh mandi darah,
berkelonjotan dan tewas karena dada mereka tertembus keris lawan.
“Ha-ha-ha, tidak berapa
ketangguhan orang Tuban!“ Reksosuro bersumbar dengan
bangga dan sombongnya.
“Heh-heh, manis juga bocah ini, sayang masih mentah!“ Darumuko yang bermata liar dan tajam itu menghampiri Sulastri. Anak itu berdiri tegak, matanya terbelalak
memandang ke arah dua orang ponggawa
Tuban yang telah tewas itu, kemudian dia memandang
kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kebencian.
“Kalian manusia-manusia jahat seperti iblis!“ dia memaki.
“Ha-ha-ha, coba lebih tua empat tahun lagi saya….Hemm, tentu lebih mulus daripada
kakaknya dahulu!“ Reksosuro juga berkelakar dan sekali meloncat dia sudah berdiri
di belakang Sulastri. Akan tetapi gadis ini makin marah dan memandang
kepada dua orang itu yang telah mengurungnya.
“Pergi! Pergi kalian! Aku benci kepada kalian!“ teriaknya marah.
“Ha-ha-ha, bocah ayu! Engkau tentu tahu di mana adanya mayat mbakayumu….“
“Dan keris itu….“ Darumuko menyambung.
“Ssssttt….!“ Reksosuro
menegur temannya yang dianggapnya lancang bicara tentang
keris.
Dan memang benarlah dia, temannya itu terlalu lancang mulut. Andaikata dia tidak menyebut-nyebut tentang keris, agaknya Sulastri yang jujur itu akan mengaku
bahwa dia telah mengubur
jenazah mbakayunya. Akan tetapi, begitu Darumuko
menyebut keris itu teringatlah Sulsatri akan keris yang menancap di ulu hati mbakayunya. Keris pusaka milik Ronggo Lawe. Anak ini memiliki
kecerdikan luar biasa, maka mengertilah dia bahwa dua orang ini tentu mencari keris itu, maka
dia
lalu menegakkan kepalanya.
“Aku tidak tahu!!“
Akan tetapi Reksosuro
dan Darumuko juga bukan orang-orang bodoh. Sama sekali
tidak. Biar pun mereka itu kasar dan kejam, namun sebagai pembantu-pembantu yang dipercaya
oleh Resi Mahapati yang bercita-cita besar, mereka selain memiliki ilmu silat yang kuat, juga memiliki kecerdikan. Melihat sikap sulastri ketika menjawab,
begitu ketus dan keras, mereka menduga bahwa anak ini tentu tahu lebih banyak.
“Hemm, hayo katakan,
di mana mayat mbakayumu?“ Reksosuro sudah mengancam dan melangkah
maju mendekati.
“Tidak tahu!“
“Plakkk!“ Pipi Sulastri
ditampar oleh Reksosuro sehingga anak itu terpelanting.
Pipi yang halus itu menjadi bengkak kemerahan, rasa nyeri menggigit-gigit,
kepalanya terasa pening, akan tetapi, Sulastri bangkit berdiri dan memandang
dengan mata melotot kepada Reksosuro,
sama sekali tidak menangis, tidak mengaduh,
dan sedikit pun tidak takut.
Dua orang itu saling pandang dan merasa kaget dan heran juga. Selama hidup belum pernah mereka berhadapan
dengan seorang anak kecil, perempuan lagi, yang sedemikian keras dan tabah sikapnya, sungguh amat luar biasa.
“Eh, manis, katakanlah baik-baik, di mana mayat mbakayumu. Nanti kami beri hadiah uang perak. Kalau tidak, engkau akan kami siksa sampai mati!“
“Persetan! Aku tidak tahu dan tidak takut!“
“Anak setan!“ Darumuko
marah sekali dan kaki kirinya bergerak.
“Desss….!!“ tendangannya mengenai pinggul anak itu, membuat tubuh anak itu terlempar sampai
tiga tombak dan terbanting
ke atas tanah, terguling-guling sampai jauh akhirnya
terhenti karena menabrak batang pohon.
“Wah, jangan-jangan kau membunuhnya!“ Reksosuro menegur temannya dan cepat
mereka berdua lari mengampiri anak itu.
Kembali mereka
tertegun. Anak itu sama sekali tidak mati, bahkan pingsan pun tidak.
Tubuhnya babak-bundas, barut-barut dan berdarah, akan tetapi sama sekali
anak itu tidak mengeluh, bahkan kini bangkit duduk, memegangi kepalanya yang berdarah
dengan tangan kiri kanannya yang lecet dan matanya mendelik dengan
penuh kebencian kepada dua orang itu. Akan tetapi sama sekali tidak menangis,
dan tidak takut!
Dua orang perwira Majapahit itu merasa serem.
“Eh, kakang Reksosuro, manusia
atau ibliskah anak ini?“
Reksosuro juga penasaran.
“Manusia atau iblis, kita harus memaksakan
membuka mulut!“
Dan dia sudah mencabut kerisnya sambil menghampiri Sulastri.
“Bocah setan, kau masih juga membandel? Apa kau tidak takut melihat keris
pusakaku ini? Ini adalah
Kyai Bandot, mengandung bisa ular, sekali kerat saja
kulitmu akan melepuh
dan bengkak-bengkak!“
Sulastri berjebi,
bahkan meludah ke arah muka bermata juling yang didekatkan
kepadanya.
“Cuhhhh!! Crottt…..
!“ Air ludah itu tepat mengenal tengah di antara
matanya yang juling sehingga mata itu makin menjuling memandang air ludah yang menempel
di atas hidung. Lalu dia membanting kaki.
“Setan alas, kau minta disiksa!“ Reksosuro menubruk, kerisnya digerakkan untuk meyayat lengan anak itu dan untuk menyiksa dan memaksanya mengaku.
“Plak!“ Reksosuro terhuyung ke belakang memandang kepada seorang kakek yang
pakaiannya serba hitam, juga ikat kepalanya
hitam, mukanya tertutup brewok dan
cambang bauk yang lebat, menyeramkan sekali apa lagi matanya besar dan ketika itu memandang
penuh kemarahan. Kakek itu muncul dari balik batang pohon dan tadi
menggunakan kakinya
menendang sehingga Reksosuro terhuyung ke belakang dan
sayatan kerisnya
ke arah lengan Sulastri luput.
“Manusia-manusia tak bermalu, mengganggu seorang kanak-kanak!“ Kakek itu
membentak dengan suara yang dalam.
Reksosuro dan Darumuko
mengenal kakek ini dan mereka saling pandang, akan tetapi mengingat
bahwa kakek ini adalah anggota keluarga Tuban yang telah baru saja
dikalahkan, dan mengingat bahwa mereka adalah abdi-abdi terkasih dari Resi Mahapati,
Reksosuro mengangkat dada dan berkata,
“ah, kiranya
paman Ki Ageng
Palandongan yang datang!“
Ki Ageng Palandongan, kakek itu, adalah ayah dari mendiang Mertaraga, isteri
pertama dari mendiang
Ronggo Lawe. Dia seorang yang sederhana dan tidak suka
pangkat, hidup seperti
petani di pedusunan setengah pertapa, maka dia tidak mengenal
dua orang ini.
“Andika adalah
dua orang perwira Mojopahit yang diutus oleh sang prabu untuk
menangkap anak ini!“ Darumuko yang cerdik itu mendahului temannya.
Ki ageng Palandongan mengerutkan alisnya yang tebal.
“Mustahil kiranya kalau sang
prabu mengutus
kalian menangkap seorang anak kecil. Aku lihat tadi kalian
hendak menganiaya dia dan pergilah andika berdua dari sini, jangan membuat ribut di sini.“
Reksosuro bertolak
pinggang dan membetak,
“Paman Ki Ageng Palandongan! Ucapan apakah ini? Kami melakukan
tugas kali, dan paman berani menghalagi kami?“
“Persetan dengan kalian!“ kakek itu membentak marah.
“Kalau begitu paman hendak memberontak pula!“ Reksosuro membentak.
“Keparat bermulut lancang!“ Ki Ageng Palandongan marah, kakinya terayun dan untuk kedua kalinya Reksosuro terhuyung. Dia dan temannya cepat mencabut keris
dan menyerang kakek itu. Akan tetapi,
Ki Ageng Palandongan yang usianya sudah
enam puluh tahun lebih itu adalah bekas jagoan yang berilmu tinggi, maka biar pun dua orang lawannya
memegang keris dan dia sendiri bertangan kosong, akan
tetapi dengan mudah dia menghindarkan diri dari semua serangan, kemudian secepat
kilat dia membagi-bagi tamparan sehingga Reksosuro dan Darumuko gelayaran. Kakek itu menyusulkan dua kali tendangan dengan kakinya yang besar dan kuat seperti
mengaduh-aduh, terlempar dan jatuh terguling.
“Tahan, paman Palandongan….!!“ Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah
Panewu Progodigdoyo!
“Eh, eh, saya lihat dua orang ini adalah
pamong Mojopahit! Betulkah
kalian ini….“
“Maaf sang panewu yang mulia, memang kami berdua adalah perwira-perwira Mojopahit yang mengemban
tugas gusti sinuwun untuk menangkap anak perempuan ini. Akan tetapi
paman Ki Ageng Palandongan menentang kami.“
Panewu Progodigdoyo yang kini untuk sementara menjabat kepala di Tuban itu,
menoleh ke arah Sulastri,
kemudian memandang Ki Ageng Palandongan dan bertanya
dengan sikap hormat
namun penuh teguran,
“Benarkah, paman? benarkah paman
Palandongan menentang
utusan Sang Prabu Mojopahit?“
Karena kini bekas pembantu utama mantunya itu telah menjadi kepala, maka Ki
Ageng Palandongan menyabarkan hatinya, lalu dia berdehem dan menjawab, suaranya
dalam dan lantang,
“Benar, akan tetapi sebetulnya paman tidak menentang siapapun juga, nak panewu.
Karena melihat mereka berdua ini bersikap kasar dan menganiayanya seorang bocah, maka paman turun tangan melarang mereka.“
“Ah, paman. Mengapa paman tidak bersabar? Baru saja Tuban diberi pengampunan
oleh gusti sinuwun, bagaimana paman sekarang berani menentang dua orang utusan
beliau? Bukankah hal itu akan mendatangkan kesan buruk sekali? Eh…., kisanak,
saudara-saudara perwira
yang gagah. Harap kalian maafkan atas kesalah pahaman
ini, ya? Dan lupakan urusan ini, jangan terdengar oleh sang prabu.“
Reksosuro dan Darumuko yang sebetulnya sudah mengenal baik Progodigdoyo itu mengangguk
dan Reksosuro berkata,
"Tidak mengapalah. Kami akan kembali ke Mojopahit, membawa bocah ini!" Reksosuro menggerakkan tangannya dan sebelum
Sulastri dapat lari, anak itu telah dipegang
kedua lengannya dengan satu tangan.
Sulastri meronta-ronta, menendang-nendang.
"Lepaskan! Monyet juling!
Lepaskan aku! Dan dia hendak menggunakan giginya untuk
mengigit tangan yang memegangi
kedua lengannya, akan tetapi Reksosuro menutir
lengan itu dan kini memegangi
kedua lengan anak yang ditarik ke belakang
tubuhnya sehingga
anak kecil iti tidak mampu berkutik lagi.
"Nanti dulu…." Ki Ageng Palandongan berkata marah menyaksikan peristiwa ini. "Mau
diapakan anak itu? Mustahil
kalau gusti sinuwun mengutus kalian menangkap
seorang bocah….."
"Paman Palandongan, bukanlah semua rakyat adalah kawula (hamba sahaya dari Mojopahit) Lebih baik kita sebagai pamong yang setia tidak mencampuri urusan ini dan menyerahkannya kepada kebijaksanaan gusti sinuwun. Eh, kisanak, kalian
pergilah dan bawa anak itu, hanya kuminta agar kalian tidak berlaku kasar terhadap
anak itu di sini!"
Ucapan Progodigdoyo ini membuat Ki Ageng Palandongan tak dapat membantah lagi,
dan dua orang itupun
mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh mereka itu, maka Reksosuro
lalu mengangkat dan memondong Sulastri, biar pun masih memegangi kedua lengannya, dan dengan sikap halus berkata,
"Marilah, anak manis,
jangan takut dan jangan melawan.
Gusti sinuwun memanggil, manis." Maka pergilah mereka,
diikuti oleh pandang mata kedua orang itu, Progodigdoyo tersenyum akan tetapi Ki Ageng Palandongan mendelik menahan kemarahan.
Reksosuro dan Darumuko melanjutkan perjalanan dan reksosuro masih terus memondong
Sulastri sampai mereka menyeberangi Sungai Tambakberas. Setelah mereka
tiba di daerah sendiri, yaitu daerah Mojopahit, Reksosuro melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah.
"Bruukkkk!!" Sulastri
yang setengah dibanting itu menyeringai kesakitan, akan tetapi
tidak mengaduh.
"Sialan! Hayo kau sekarang mengaku di mana kau sembunyikan mayat mbakayumu itu!"
bentaknya sambil menuding
telunjuknya ke arah muka Sulastri.
Sulastri kini tidak mau menjawab
lagi, malah membuang muka dengan sikap amat menghina sekali.
"Heh-heh, kakang Rekso, bagaimana kalau dia kutelanjangi dan kupermainkan dulu?
Biar pun masih kecil setelah kutundukkan agaknya dia baru akan mau jinak! Ha-ha-ha!"
"Hah, kau rakus sekali, adi Darumuko! Masa anak sekecil ini, dia tentu akan
mampus tak kuat menahan,
dan kita akan mendapat marah sang resi!" tukas Reksosuro.
"Kalau begitu, biar kucambuki dia agar mengaku!" Darumuko lalu mematahkan
sebatang ranting pohon kemlandingan di tepi jalan. Ranting kemlandingan adalah
ranting yang ulet dan lemas Sambil terkekeh
si bibir tebal ini merantasi daun-daun
kemlandingan yang kecil-kecil itu sehingga berhamburan ke bawah.
“Ha-ha, bocah bandel. Apakah engkau masih juga tidak mau mengaku?
Ataukah harus kupaksa dengan ini?” Dia menamang-amangkan cambuk ranting mlandingan itu. Akan tetapi Sulastri
bukanlah seorang anak kecil biasa. Jangankan baru diancam ranting kemlandingan, biar diancam tombak atau keris sekali pun, dia tidak akan
merasa gentar.
Sudah terlalu banyak orang-orang yang dicintanya mati di depan
matanya, maka kematian bukanlah apa-apa bagi anak ini, bahkan berarti dia menyusul
orang-orang yang dicintanya. Juga dia sudah mengalami banyak hal-hal
ngeri. Sudah melampaui
batas puncak kengerian sehingga dia kini tidak mengenal
kengerian lagi, bahkan tidak takut apa-apa lagi! Maka ancaman Darumuko itu malah
membuatnya tersenyum mengejek.
“Anjing bibir tebal, engkau pantasnya memang memegang cambuk menggembala kerbau!”
makinya.
Muka Darumuko menjadi merah padam matanya yang liar tajam itu melotot dan
bibirnya yang tebal karena cemberut,
cuping hidungnya kembang kempis seperti
hidung kerbau
mencium bahaya.
“Bangsat, anak setan, kau pingin mampus, ya?”
No comments:
Post a Comment