“Ha-ha-ha, mudah saja kaubicara. Sudah bangkitlah dan pergi!”
“Tidak, aku takkan mau pergi dan aku akan terus berlutut di sini sampai mati kalau eyang tidak mau menerimaku sebagai murid.”
“Keras kepala kau!”
“Eyang juga!”
“Celaka, bertemu
anak begini kurang ajar mau minta menjadi murid! Hendak kulihat
sampai kapan kau kuat berlutut
terus di sini.“ Kakek itu lalu meraih sebuah
bungkusan kain hitam dari balik batang pohon, kemudian
dia pergi dari situ tanpa menoleh
lagi.
Dapat dibayangkan betapa susah dan kecewannya hati Sulastri, akan tetapi anak ini maklum bahwa kalau kakek itu tidak mau membawanya, dia tentu akan jatuh ke tangan dua orang jahat tadi dan akan celaka.
Maka dia sudah nekad tidak mau pergi dari situ, dan biar pun kakek itu sudah pergi, dia tetap berlutut
di situ, hatinya
seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia tidak menangis. Udara malam makin dingin, dan tubuh Sulastri
yang tadinya mengalami siksaan masih sakit-sakit, perih dan panas rasanya
seluruh tubuh, kepalanya masih pening, namun dia bertekad
untuk berlutut di situ sampai mati. Kedua kakinya kesemutan, akan
tetapi dia tetap tidak bergerak
sampai akhirnya rasa kesemutan itu lenyap lagi. Dalam keadaan
kelelahan, kelaparan dan kedinginan anak itu terus mendekam di
situ sampai akhirnya,
menjelang dia berada dalam keadaan setengah pingsan.!
Matahari pagi mulai mengusir
embun dan hawa dingin. Sulastri masih berlutut di tempat semula,
menghadap pohon berdingin seolah-olah dia sedang memuja pohon raksasa itu. Tubuhnya
seperti beku, dan memang rasanya seperti hampir beku tubuhnya,
begitu dingin dan kaku, dan lelah, dan lapar, dan pening. Dia sudah tiga perempat
bagian pingsan ketika tiba-tiba terdegar orang tertawa di balik
pohon itu. Kiranya
kakek malam tadi tidak pernah pergi dari situ, hanya
menyelinap ke balik pohon besar dan tidur di sebelah
sana sehingga tidak kelihatan
oleh Sulastri!
Dalam keadaan
setengah pingsan itu, Sulastri mengangkat muka memandang. Kini cuaca sudah terang dan dia melihat kakek itu dengan hati terkejut.
Kakek itu memang
mirip setan! Tubuhnya kurus, tinggal tulang-tulang terbungkus kulit akan tetapi perutnya
agak gendut, dan tulang-tulangnya besar. Rambutnya gimbal, ruwet
dan kotor, panjang
sampai kepinggang, dibelah tengah, matanya tajam bersinar-sinar
dan bagian bawah mukanya tertutup brewok.
“Ha-ha-ha, kau ini bocah sungguh
hebat. Kau lebih keras kepala daripada aku ketika aku masih sebesar engkau. Baiklah,
aku kalah. Sulstri, kau boleh menjadi
muridku…“
“Terima kasih, eyang guru…!!“
Sulastri berseru girang, suaranya terhenti karena
lehernya tercekik keharuan.
“Akan tetapi tidak demikian mudah! Engkau harus selalu menurut perintahku!“
“Aku berjanji, eyang.“
“Nah, bangkitlah berdiri!“
Sukar sekali bagi Sulastri
untuk bangkit berdiri. Otot-ototnya berbunyi dan dia
berdiri dengan susah payah, beberapa
kali terjatuh lagi karena otot-ototnya
terasa kaku. Kakek itu hanya memandang saja acuh tak acuh, akan tetapi ketika
untuk kesekian kalinya Sulastri jatuh lagi, dia menggerakkan tangannya dengan
cepat, tahu-tahu Sulastri merasa ada tangan mengangkat di bawah kedua ketiaknya
dan ada hawa yang amat hangat menjalar memasuki tubuhnya, mengusir semua kelakuan
ototnya dan dia berdiri!
Kakek itu memeriksa tubuh Sulastri dengan teliti, melihat kulit yang bilur-bilur
bekas siksaan cambuk ranting kemlandingan.
“Wah, kau telah mendapat latihan yang
baik sekali!“
“Latihan?“ Sulastri
bertanya tidak mengerti, meniru kakek itu memandangi
tubuhnya yang penuh jalur-jalur merah menghitam.
“Pecut ranting kemlandingan, ya ?“
Barulah Sulastri mengerti dan dia mengangguk.
“Si bibir tebal itulah yang mencambuki
tubuhnya dengan pecut ranting kemlandingan, eyang.“
“Bagus!! Kau harus berterima kasih kepadanya!!“
Sulastri melirik ke arah kakek itu. Celaka, pikirnya, mendapatkan guru seperti
ini! Memang benar sakti, akan tetapi di samping sakti juga agaknya miring
otaknya! Akan tetapi seorang bocah yang memiliki kecerdasan luar biasa, maka dia tidak memperlihatkan rasa mendongkolnya, bahkan dia lalu menjawab lancar,
“Memang, eyang guru. Saya amat berterima
kasih kepadanya dan kelak akan saya perlihatkan terima kasih itu dengan balasan yang sama berikut bunga-bunganya.
Saya akan membalas kebaikan si bibir tebal itu!“
Kakek itu tertawa, kemudian melemparkan bantalan hitam itu ke dekat kaki Sulastri.
“Kau lapar, ya?” Sulstri
mengangguk.
“Nah, tunggu apa lagi? Kau anak perempuan tentu bisa masak, kan?“
“Bisa, eyang.“
“Bagus, lekas kau membuat api, masak air dan nasi. Semua perabot dan berasnya
air terdapat di dalam bantalan itu. Lekas kau masak nasi, perutku sudah lapar,
aku mau tidur dulu
karena semalam engkau membuatku tidak bisa tidur. Awas,
setelah aku bangun
nanti, nasi dan wedang teh harus sudah tersedia!“
Setelah berkata
demikian, kakek itu merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin
itu dan sebentar kemudian dia sudah tidur mendengkur. Sulastri membuka buntalan
itu dan ternyata di dalam buntalan kain hitam itu terdapat perabot masak lengkap.
Juga terdapat beras, bumbu masak, garam, teh, minyak kelapa dan lain-lain!
Sulastri yang melihat
kakek itu sudah tidur mendengkur, lalu membawa kwali dan pergi mencari air. Untung bahwa tak jauh dari pohon itu terdapat
sebuah belik yang airnya jernih.
Dia memenuhi kwali dengan air, kemudian menggodok air setelah
membuat api unggun di bawah pohon itu. Mudah saja baginya untuk membuat
api karena di dalam buntalan itu terdapat batu api berikut alat pengoreknya dan banyak pula di tempat itu daun-daun
kering dan ranting-ranting kering.
Sulastri adalah seorang anak yang sudah ditinggalkan orang tuanya dan hidup
berdua dengan kakaknya, maka biar pun usianya belum genap sepuluh tahun, dia sudah biasa menggodok air dan menanak nasi. Dengan cekatan dia membuat air teh, kemudian menanak beras di dalam kwali. Hanya dia merasa binggung harus memasak
apa? di dalam hutan itu tidak terdapat sayur-mayur dan di dalam buntalan itu tidak terdapat
ikan asin atau bahan masakan lain, kecuali hanya garam dan bumbu-bumbu.
Maka setelah dia menanak nasi, dia lalu mendekati
kakek itu dan dengan suara lirih dia memanggil,
“Eyang…,eyang guru…,eyang…,bangunlah sebentar, eyang.“
Kakek itu menggulet
dan menggerutu,
“Bocah bodoh. Nasi belum matang sudah membangunkan orang.“
“Yang, wedang
teh sudah kubikin, nasi pun sudah hampir matang. Akan tetapi apa yang harus kumasak
untuk teman nasi?“
“Heh, bodoh.
Kau lihat lubang-lubang cacing di sebelah kiri pohon. Hayo kau cari cacing sebanyaknya. Cari yang besar-besar saja, yang kecil jangan!“ Lalu kakek itu tidur lagi mendengkur.
Sulastri bengong.
Mau membangunkan lagi tidak berani, akan tetapi untuk apa dia harus mencari
cacing? Dia lalu teringat. Ah, untuk apa kalau bukan untuk mancing
ikan? Agaknya di dekat hutan itu ada sungainya atau telinganya, dan nanti kakek
itu akan mancing
ikan, maka suruh mencarikan cacing sebanyaknya. Akan tetapi
kalau hanya untuk mancing saja mengapa banyak-banyak? Betapa pun juga, dia teringat
bahwa kakek itu telah memesan bahwa dia mau menerimanya sebagai murid kalau semua perintahnya ditaati. Baik, dia akan mentaatinya. Sambil menanti
liwetannya masak, dia akan mencari cacing sebanyaknya. Apa sih sukarnya mencari
cacing?
Sulsatri lalu mencari
cacing di sebelah kiri pohon. Biar pun dia seorang anak
perempuan, akan tetapi
karena dusun Gendangan di mana dia tinggal adalah dusun
dekat kali dan dia biasa pula memancing
ikan, maka dia pun tidak asing mancing
ikan. Dia tidak merasa jijik ketika menggali dan mengumpulkan banyak sekali
cacing-cacing besar yang panjangnya ada satu kilan (sejengkal) dan gemuk-gemuk,
berkulit bersih
hitam kemerahan. Cacing kalung yang besar-besar. Dia tahu bahwa
untuk memancing ikan, sebaiknya
kalau mendapatkan cacing ungker, yaitu sejenis
cacing yang suka melingkar. Akan tetapi, di tempat itu yang ada hanya cacing
kalung yang panjang
dan gemuk kemerahan.
Akhirnya nasi sudah matang. Ketika dia membuka tutup wajah kwalinya, bau nasi
masak yang sedap agaknya
cukup untuk menggugah kakek itu yang segera mengulet
dan menguap.
“Aahhhh…bau nasi sedap. Akan tetapi mana lauknya?“
“Lauk apa, eyang? Belum ada lauk apa-apa
karena eyang keenakan tidur dan belum mancing
ikan.“
Jawaban ini membuat
kakek itu seketika meloncat bangun.
“Memancing ikan? Siapa yang mau memancing ikan? Bodoh! Kau kusuruh mencari cacing tadi…mana?“
“Itu di sana, eyang, sudah dapat banyak. Tinggal membawa alat pancing dan pergi
ke kali…“
Kakek itu membanting-banting kakinya, kelihatan gemas sekali.
“Wah, celaka tiga
belas, dapat murid begini
tolol! hayo lekas bersihkan cacing-cacing itu dan siapkan wajan dan minyak kelapa“
Sulastri melongo.
“Dicuci maksud eyang? Untuk memancing
ikan mengapa cacing itu
harus dicuci?“
“Wah-wah, benar-benar goblok! Lihat nih, begini kalau membersihkan lauk cacing!“
Mendengar kakek itu mengatakan
“lauk cacing“ , Sulastri
bengong dan beberapa
kali menelan ludah menahan kemuakan yang naik dari perutnya. Lauk cacing? Apa maksudnya?
Dia memandang kakek itu mengeluarkan beberapa ekor cacing gemuk.
“Wah, kau pandai juga. Cacing-cacing ini gemuk sekali…hemm, tentu lezat!“
Sulastri terbelalak memandang kakek itu menggunakan kuku-kuku jarinya untuk
memotong sedikit
bagian kepala dan ekor cacing-cacing itu, kemudian dari satu ujung dia memijit
tubuh cacing itu, dipelurutnya sampai ke ujung yang lain dan keluarlah
benda kehitam-hitaman seperti tanah dari dalam tubuh cacing itu.
“Nah, begini,
pijit dan pelurutlah yang kuat akan tetapi jangan terlalu kuat agar tidak putus, keluarkan
tanah dari dalamnya.“
Sulastri mengangguk dan dengan perasaan jijik juga dia meniru perbuatan gurunya
itu, memotong kepala dan ekor setiap cacing, memijit dan mengeluarkan isi
tubuhnya yang seperti
tanah dan ada sedikit darahnya. Cacing-cacing itu mati dan tinggal seperti kulit panjang yang sudah tidak ada isinya lagi.
“Sekarang sediakan
bumbunya, bawang, garam dan merica yang agak banyak!“ kakek itu memerintah. Sulastri menurut dan menyediakan apa yang diminta gurunya.
“Nah, sekarang
goreng! Jangan sampai gosong, akan tetapi juga yang kering agar kemripik!“
Kembali Sulstri menelan ludah. Gurunya ini benar-benar seorang gila. Masa cacing
digoreng dan dimakan?
“ Tapi eyang…cacing bukan makanan…menjijikan…!
“Hush!“ Kakek itu mendelik
dan matanya amat menakutkan, sebesar jengkol dan
seperti mau meloncat
keluar dari rongga mata, akan tetapi pandangnya tajam bukan main.
“Siapa bilang menjijikkan? Bangkai tetap bangkai, biar bangkai sapi, bangkai ayam atau bangkai cacing! Yang enak kan bumbunya!
Bodoh, kau kira tidak enak goreng cacing?
Kau belum pernah memakannya?“
Sulastri menggeleng kepala.
“Bodoh, kau masih harus banyak belajar.
Hayo goreng, aku akan mencari lauk lainnya
lagi!“ terdengarlah bunyi srang-sreng-srang-sreng ketika Sulstri menggoreng cacing-cacing
yang sudah diredam bumbu itu. Dia memandang jijik melihat cacing-cacing itu agak mekar ketika
terkena minyak panas, akan tetapi sungguh aneh, cacing-cacing yang digoreng
itu mengeluarkan bau yang gurih!
Akan tetapi dia hampir berteriak saking jijik dan ngerinya ketika kakek itu datang dan kedua tangannya
menggengam banyak sekali binatang kelabang dan luwing!
Sulastri agak takut melihat
kelabang karena maklum bahwa binatang-binatang ini berbisa, dan sejak dulu dia memang jijik melihat luwing karena binatang ini
memang menjijikan, kakinya banyak sekali dan selalu melingkar
kalau disentuh!
“Itu… itu kelabang dan luwing juga di… dimakan eyang?“
“Wooohhh, ini paling enak, bodoh!“ kakek itu berkata, membunuhi binatang-binatang
itu dengan meremukkan kepalanya sekali tekan dengan kukunya, kemudian dia
menggunakan air panas merendam
bangkai-bangkai kelabang dan luwing itu. Tak lama kemudian, dia menguliti
bangkai binatang-binatang itu dan setelah terkena air panas, ternyata
kulit kelabang dan luwing itu dapat dikupas dengan mudah dan tinggal
hanyalah dagingnya yang putih kemerahan seperti daging udang.
“Nah, goreng
juga ini!“ katanya kepada Sulastri. Anak itu menelan ludah menahan
muak, lalu digorengnya daging kelabang dan luwing itu. Dan kembali dia terheran-heran
ketika mencium bau yang gurih lagi, seperti bau udang digoreng!
“Wah, hayo makan, Sulastri.
Mumpung masih panas-panas. Hemm, itu di dalam bungkusan
daun jati, masih ada beberapa butir lombok rawit, bawa sini!“
Kakek itu makan di layani oleh Sulastri. Akan tetapi anak itu hanya mengambil
nasi saja, lalu mengambul sejumut garam untuk makan dengan garam saja.
“Eih, ini gorengannya, hayo dimakan!“
Sulastri menggeleng kepala.
“Ushhh, bodoh, hayo makan. Enak sekali ini!“ kakek tidak mendesak.
“Aku… aku tidak doyan…, eyang… biarlah aku makan dengan garam saja, dan itu…untuk eyang saja. “
“Mana bisa begitu? Kau yang sudah payah menggoreng, masa aku saja yang makan?
Dan kau makan dengan garam saja, mana enak? Hayo cobalah,
engkau belum pernah makan ini, kan? Lihat, betapa lezatnya!“ Kakek itu mengambil seekor cacing
goreng dan memakannya. Terdengar suara keremus-keremus seperti orang makan goreng usus ayam dan kakek itu kelihan menikmati
makanan ini.
“Bukan main! Gorenganmu ternyata amat sedap! Bumbunya pas, gorengannya juga
sedang. Kalau aku yang menggoreng, selalu gosong dan terlalu asin! Ha-ha, kata
orang kalau masak terlalu
asin tandanya kepingin kawin. Ha-ha! Nah, ini daging
kelabang, menguatkan badan dan membuat kita tahan racun. Enak sekali dan ini… daging luwing banyak gajihnya.
Hemm, sedap!“ Kakek itu kini makan dengan daging
kelabang dan daging luwing,
memang kelihatan enak daging kedua binatang ini,
seperti daging udang yang sudah dibuang
kulitnya, putih kemerahan dan baunya
gurih bukan main.
Sulastri tidak berani menolak, takut kalau-kalau gurunya marah dan tersinggung.
Dengan hati ngeri dia lalu mengambil
seekor cacing goreng yang bengkak-bengkok
itu, lalu dengan mata terpejam
dia memasukkan ke mulutnya bersama nasi.
“Kriakkk..kriak…“ Dan Sulastri
membuka lebar matanya. Ternyata enak! Gurih sekali,
seperti…hampir seperti kulit ayam goreng. Gurih dan baunya pun sedap!
terus saja dimakannya cacing itu dan mendengar gurunya tertawa, dia memandang
gurunya ikut pula tertawa.
“Nah, enak, kan?“
“Enak, eyang. Tak kusangka
seenak ini goreng cacing!“ Sulastri mengambil seekor
lagi dan mulai makan nasi dengan goreng
cacing.
“Ah, coba kau makan goreng kelabang dan terutama goreng luwing itu, cobalah dan
kau akan lebih terheran-heran lagi!“
Dengan agak memaksa diri Sulastri mengambil sepotong kelabang goreng dan
memakannya. Benar, saja! Tiada ubahnya
udang goreng! Tanpa ragu-ragu lagi kini dia memakan
sepotong luwing goreng dan mulutnya mengecap-ngecap. Bukan main! Seperti
udang goreng tetapi lebih berminyak dan manis!
Maka lenyaplah rasa ragu dan muaknya dan anak itu makan dengan lahapnya dan
durunya juga kelihatan
girang, tertawa-tawa dan sebentar saja nasi dan semua gorengnya
habis sama sekali!
Kakek itu mengelus perutnya yang agak gendut dan minum air teh panas.
“Cruupp!
Ahhh, air tehnya pun sedap kalau kau yang membuat. Waduh untung sekali aku
mempunyai murid seperti
engkau, Sulastri. Sekarang kita ngomong-omong, akan tetapi harus mencari kutu. Kepalaku gatal bukan main!“
Sulastri berlutut
di belakang gurunya yang kembali merebahkan dirinya, dan mulailah anak itu mencari kutu rambut di kepala kakek itu.
“Pantas saja kepalamu gatal-gatal, eyang. Habis kutunya banyak benar!“ Sebentar saja Sulastri sudah
mendapatkan kutu rambut yang cukup besar.
“Ke sinikan!“ kata kakek itu dan setelah muridnya meletakkan kutu itu ke atas
telapak tangannya, dia lalu menggunakan lidahnya menjilat dan terdengar suara “Tess!“
ketika kutu itu digigitnya!“
“Ihh, kau apakan kutu itu, eyang?“
“Aku balas gigit dia! kurang ajar, habis-habis kulit kepalaku digigitnya!“
Sulastri geli hatinya. Gurunya ini orang aneh sekali. Akan tetapi kalau sampai
kutu rambut digigit
dan ditelan seperti itu, dia tidak akan menirunya.
“Sekarang kau ceritakan riwayatmu, Sulastri.“
Anak itu lalu menceritakan riwayatnya dengan sejelasnya, bagaimana dia hidup berdua saja dengan kakaknya, kemudian betapa dia pernah ditolong oleh Adipati
Ronggo Lawe kemudian
betapa kakaknya membunuh diri membela pati karena cintanya
kepada Ronggo Lawe. Betapa dia ditangkap oleh dua orang perwira Mojopahit itu karena dipaksa untuk mengaku di mana dia menyembunyikan mayat kakaknya.
“Dan kau memang menyembunyikan mayatnya?“ tanya kakek itu.
“Sudah kukuburkan mayat mbakayuku, eyang.“
“Kenapa kau tidak memberi tahu mereka?“
“Mereka itu jahat. Aku khawatir
mereka akan membongkar kuburan itu, maka aku tidak mau mengaku.“
“Hemm, kau anak luar biasa. “ Kakek
itu mengangguk dan tidak mau bertanya lebih
lanjut lagi sehingga anak itu pun tidak mau bercerita tentang kundolo mirah yang tergantung
di lehernya dan tetang keris pusaka yang sama-sama terkubur jenazah
kakaknya.
“Dan siapakah nama eyang? Masa mempunyai guru tidak tahu namanya!“
“Aku? Ha-ha-ha, aku adalah Ki Jembros dan orang bahkan menyebutku Setan Jembros,
ha-ha-ha!“
“Di manakah rumah eyang?“
“Rumahku? Rumahku
di mana-mana, langit itu atapku, gunung-gunung itu dindingku,
dan bumi ini lantaiku, ha-ha-ha ! Kau mau ikut aku terlantar
dan berkeliaran tak tentu tujuan?“
“Tentu saja bukankah
aku murid eyang? Asal eyang jangan lupa mengajarkan
kesaktian kepadaku!“
Demikianlah, anak kecil itu semenjak saat itu ikut bersama kakek aneh itu, hidup penuh dengan
kesukaran dan kekurangan, hidup seperti
jembel yang tidak pernah mengemis, tidur di sembarang tempat,
makan seadanya, akan tetapi penuh
dengan kebiasaan yang aneh.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan keluarga janda Galuhsari yang kita kenal di dalam permulaan
cerita ini. Seperti telah dituturkan di bagian terdepan dan cerita ini, nyi Galuhsari,
janda cantik isteri mendiang panglima Mojopahit Lembu Tirta,
setelah mengalami penghinaan digagahi secara keji di depan anaknya oleh Panewu Progodigdoyo, mengalami nasib yang mengeraikan. Rumahnya terbakar dan dia
terbakar hidup-hidup di dalam rumahnya di mana terjadi kemaksiatan yang dilakukan oleh Progodigdoyo itu.
Seperti kita ketahui,
Lestari, perawan remaja yang cantik itu setelah hampir
pingsan saking ngerinya menyaksikan ibunya diperkosa oleh Progodigdoyo, lalu
diculik dan dilarikan
oleh Panewu yang telah gila oleh nafsu berahi itu. Ada pun anak ke dua janda itu, Sutejo,
sejak tadi sudah rebah pingsan karena pukulan
Panewu Progodigdoyo.
Ketika rumah itu terbakar,
yang terancam maut adalah dua orang, yaitu Sutejo yang masih pingsan dan ibunya, janda Galuhsari. Justru karena pingsan, Sutejo
belum dimakan api, tidak seperti
ibunya yang berusaha mengejar Panewu Progodigdoyo,
malah kesambar api, kejatuhan atap yang ambruk dan lebih dahulu dimakan api, terbakar hidup-hidup.
Namun, kiranya
hanya tinggal menanti saatnya saja bagi kematian Sutejo karena
diapun sudah terkurung api dalam keadaan pingsan. Pada saat yang amat berbahaya
bagi keselamatan anak itu, tiba-tiba
ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu
seorang kakek berpakaian
putih, dengan rambut, kumis dan jenggotnya juga sudah
putih, tahu-tahu
telah berada di dalam rumah yang terbakar itu.
Pada saat itu Sutejo
siuman dari pingsannya.
“Ibuuuu…!“ Dia berteriak
dan bangkit dengan binggung.
“Mbakayuuu…!“ Dia berteriak
lagi ketika melihat api berkobar
mengurung dirinya. Teringatlah dia akan segala peristiwa yang
dialaminya, maka hatinya
menjadi gelisah. Tiba-tiba dia melihat kakek berpakaian
putih itu dan dia berteriak, “Eyanggggg…tolonglah…tolonglah ibu dan mbakayu…“
Dengan satu gerakan
saja kakek itu telah berada di dekatnya, dan memegang
tangannya.
“ Berpeganglah padaku, angger. Kita harus cepat keluar dari tempat ini!“
No comments:
Post a Comment