Wednesday, April 1, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 08



“Ha-ha-ha, mudah saja kaubicara. Sudah bangkitlah dan pergi!”
“Tidak, aku takkan mau pergi dan aku akan terus berlutut di sini sampai mati kalau eyang tidak mau menerimaku sebagai murid.”
“Keras kepala kau!”
“Eyang juga!”
“Celaka, bertemu anak begini kurang ajar mau minta menjadi murid! Hendak kulihat sampai kapan kau kuat berlutut terus di sini. Kakek itu lalu meraih sebuah bungkusan kain hitam dari balik batang pohon, kemudian dia pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Dapat dibayangkan betapa susah dan kecewannya hati Sulastri, akan tetapi anak ini maklum bahwa kalau kakek itu tidak mau membawanya, dia tentu akan jatuh ke tangan dua orang jahat tadi dan akan celaka. Maka dia sudah nekad tidak mau pergi dari situ, dan biar pun kakek itu sudah pergi, dia tetap berlutut di situ, hatinya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia tidak menangis. Udara malam makin dingin, dan tubuh Sulastri yang tadinya mengalami siksaan masih sakit-sakit, perih dan panas rasanya seluruh tubuh, kepalanya masih pening, namun dia bertekad untuk berlutut di situ sampai mati. Kedua kakinya kesemutan, akan tetapi dia tetap tidak bergerak sampai akhirnya rasa kesemutan itu lenyap lagi. Dalam keadaan kelelahan, kelaparan dan kedinginan anak itu terus mendekam di situ sampai akhirnya, menjelang dia berada dalam keadaan setengah pingsan.!

Matahari pagi mulai mengusir embun dan hawa dingin. Sulastri masih berlutut di tempat semula, menghadap pohon berdingin seolah-olah dia sedang memuja pohon raksasa itu. Tubuhnya seperti beku, dan memang rasanya seperti hampir beku tubuhnya, begitu dingin dan kaku, dan lelah, dan lapar, dan pening. Dia sudah tiga perempat bagian pingsan ketika tiba-tiba terdegar orang tertawa di balik pohon itu. Kiranya kakek malam tadi tidak pernah pergi dari situ, hanya menyelinap ke balik pohon besar dan tidur di sebelah sana sehingga tidak kelihatan oleh Sulastri!
Dalam keadaan setengah pingsan itu, Sulastri mengangkat muka memandang. Kini cuaca sudah terang dan dia melihat kakek itu dengan hati terkejut. Kakek itu memang mirip setan! Tubuhnya kurus, tinggal tulang-tulang terbungkus kulit akan tetapi perutnya agak gendut, dan tulang-tulangnya besar. Rambutnya gimbal, ruwet dan kotor, panjang sampai kepinggang, dibelah tengah, matanya tajam bersinar-sinar dan bagian bawah mukanya tertutup brewok.
“Ha-ha-ha, kau ini bocah sungguh hebat. Kau lebih keras kepala daripada aku ketika aku masih sebesar engkau. Baiklah, aku kalah. Sulstri, kau boleh menjadi muridku…“
“Terima kasih, eyang guru…!! Sulastri berseru girang, suaranya terhenti karena lehernya tercekik keharuan.
“Akan tetapi tidak demikian mudah! Engkau harus selalu menurut perintahku!“
“Aku berjanji, eyang.“
“Nah, bangkitlah berdiri!“
Sukar sekali bagi Sulastri untuk bangkit berdiri. Otot-ototnya berbunyi dan dia berdiri dengan susah payah, beberapa kali terjatuh lagi karena otot-ototnya terasa kaku. Kakek itu hanya memandang saja acuh tak acuh, akan tetapi ketika untuk kesekian kalinya Sulastri jatuh lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat, tahu-tahu Sulastri merasa ada tangan mengangkat di bawah kedua ketiaknya dan ada hawa yang amat hangat menjalar memasuki tubuhnya, mengusir semua kelakuan ototnya dan dia berdiri!

Kakek itu memeriksa tubuh Sulastri dengan teliti, melihat kulit yang bilur-bilur bekas siksaan cambuk ranting kemlandingan.
“Wah, kau telah mendapat latihan yang baik sekali!“
“Latihan? Sulastri bertanya tidak mengerti, meniru kakek itu memandangi tubuhnya yang penuh jalur-jalur merah menghitam.
“Pecut ranting kemlandingan, ya ?“
Barulah Sulastri mengerti dan dia mengangguk.
“Si bibir tebal itulah yang mencambuki tubuhnya dengan pecut ranting kemlandingan, eyang.“
“Bagus!! Kau harus berterima kasih kepadanya!!“
Sulastri melirik ke arah kakek itu. Celaka, pikirnya, mendapatkan guru seperti ini! Memang benar sakti, akan tetapi di samping sakti juga agaknya miring otaknya! Akan tetapi seorang bocah yang memiliki kecerdasan luar biasa, maka dia tidak memperlihatkan rasa mendongkolnya, bahkan dia lalu menjawab lancar,
Memang, eyang guru. Saya amat berterima kasih kepadanya dan kelak akan saya perlihatkan terima kasih itu dengan balasan yang sama berikut bunga-bunganya.
Saya akan membalas kebaikan si bibir tebal itu!“
Kakek itu tertawa, kemudian melemparkan bantalan hitam itu ke dekat kaki Sulastri.
“Kau lapar, ya?” Sulstri mengangguk.
“Nah, tunggu apa lagi? Kau anak perempuan tentu bisa masak, kan?“
“Bisa, eyang.“
“Bagus, lekas kau membuat api, masak air dan nasi. Semua perabot dan berasnya air terdapat di dalam bantalan itu. Lekas kau masak nasi, perutku sudah lapar, aku mau tidur dulu karena semalam engkau membuatku tidak bisa tidur. Awas, setelah aku bangun nanti, nasi dan wedang teh harus sudah tersedia!“

Setelah berkata demikian, kakek itu merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin itu dan sebentar kemudian dia sudah tidur mendengkur. Sulastri membuka buntalan itu dan ternyata di dalam buntalan kain hitam itu terdapat perabot masak lengkap. Juga terdapat beras, bumbu masak, garam, teh, minyak kelapa dan lain-lain!
Sulastri yang melihat kakek itu sudah tidur mendengkur, lalu membawa kwali dan pergi mencari air. Untung bahwa tak jauh dari pohon itu terdapat sebuah belik yang airnya jernih. Dia memenuhi kwali dengan air, kemudian menggodok air setelah membuat api unggun di bawah pohon itu. Mudah saja baginya untuk membuat api karena di dalam buntalan itu terdapat batu api berikut alat pengoreknya dan banyak pula di tempat itu daun-daun kering dan ranting-ranting kering.
Sulastri adalah seorang anak yang sudah ditinggalkan orang tuanya dan hidup berdua  dengan kakaknya, maka biar pun usianya belum genap sepuluh tahun, dia sudah biasa  menggodok air dan menanak nasi. Dengan cekatan dia membuat air teh, kemudian  menanak beras di dalam kwali. Hanya dia merasa binggung harus memasak apa? di  dalam hutan itu tidak terdapat sayur-mayur dan di dalam buntalan itu tidak terdapat ikan asin atau bahan masakan lain, kecuali hanya garam dan bumbu-bumbu. Maka setelah dia menanak nasi, dia lalu mendekati kakek itu dan dengan suara lirih dia memanggil,
Eyang…,eyang guru…,eyang…,bangunlah sebentar, eyang.“
Kakek itu menggulet dan menggerutu,
Bocah bodoh. Nasi belum matang sudah membangunkan orang.“
“Yang, wedang teh sudah kubikin, nasi pun sudah hampir matang. Akan tetapi apa yang harus kumasak untuk teman nasi?“
“Heh, bodoh. Kau lihat lubang-lubang cacing di sebelah kiri pohon. Hayo kau cari cacing sebanyaknya. Cari yang besar-besar saja, yang kecil jangan! Lalu kakek itu tidur lagi mendengkur.
Sulastri bengong. Mau membangunkan lagi tidak berani, akan tetapi untuk apa dia harus mencari cacing? Dia lalu teringat. Ah, untuk apa kalau bukan untuk mancing ikan? Agaknya di dekat hutan itu ada sungainya atau telinganya, dan nanti kakek itu akan mancing ikan, maka suruh mencarikan cacing sebanyaknya. Akan tetapi kalau hanya untuk mancing saja mengapa banyak-banyak? Betapa pun juga, dia teringat bahwa kakek itu telah memesan bahwa dia mau menerimanya sebagai murid kalau semua perintahnya ditaati. Baik, dia akan mentaatinya. Sambil menanti liwetannya masak, dia akan mencari cacing sebanyaknya. Apa sih sukarnya mencari cacing?
Sulsatri lalu mencari cacing di sebelah kiri pohon. Biar pun dia seorang anak perempuan, akan tetapi karena dusun Gendangan di mana dia tinggal adalah dusun dekat kali dan dia biasa pula memancing ikan, maka dia pun tidak asing mancing ikan. Dia tidak merasa jijik ketika menggali dan mengumpulkan banyak sekali cacing-cacing besar yang panjangnya ada satu kilan (sejengkal) dan gemuk-gemuk, berkulit bersih hitam kemerahan. Cacing kalung yang besar-besar. Dia tahu bahwa untuk memancing ikan, sebaiknya kalau mendapatkan cacing ungker, yaitu sejenis cacing yang suka melingkar. Akan tetapi, di tempat itu yang ada hanya cacing kalung yang panjang dan gemuk kemerahan.

Akhirnya nasi sudah matang. Ketika dia membuka tutup wajah kwalinya, bau nasi masak yang sedap agaknya cukup untuk menggugah kakek itu yang segera mengulet dan menguap.
“Aahhhh…bau nasi sedap. Akan tetapi mana lauknya?“
“Lauk apa, eyang? Belum ada lauk apa-apa karena eyang keenakan tidur dan belum mancing ikan.“
Jawaban ini membuat kakek itu seketika meloncat bangun.
“Memancing ikan? Siapa yang mau memancing ikan? Bodoh! Kau kusuruh mencari cacing tadi…mana?“
“Itu di sana, eyang, sudah dapat banyak. Tinggal membawa alat pancing dan pergi ke kali…“
Kakek itu membanting-banting kakinya, kelihatan gemas sekali.
“Wah, celaka tiga belas, dapat murid begini tolol! hayo lekas bersihkan cacing-cacing itu dan siapkan  wajan dan minyak kelapa“
Sulastri melongo.
“Dicuci maksud eyang? Untuk memancing ikan mengapa cacing itu harus dicuci?“
“Wah-wah, benar-benar goblok! Lihat nih, begini kalau membersihkan lauk cacing!“
Mendengar kakek itu mengatakan “lauk cacing , Sulastri bengong dan beberapa kali menelan ludah menahan kemuakan yang naik dari perutnya. Lauk cacing? Apa maksudnya? Dia memandang kakek itu mengeluarkan beberapa ekor cacing gemuk.
“Wah, kau pandai juga. Cacing-cacing ini gemuk sekali…hemm, tentu lezat!“
Sulastri terbelalak memandang kakek itu menggunakan kuku-kuku jarinya untuk memotong sedikit bagian kepala dan ekor cacing-cacing itu, kemudian dari satu ujung dia memijit tubuh cacing itu, dipelurutnya sampai ke ujung yang lain dan keluarlah benda kehitam-hitaman seperti tanah dari dalam tubuh cacing itu.
“Nah, begini, pijit dan pelurutlah yang kuat akan tetapi jangan terlalu kuat agar tidak putus, keluarkan tanah dari dalamnya.“
Sulastri mengangguk dan dengan perasaan jijik juga dia meniru perbuatan gurunya itu, memotong kepala dan ekor setiap cacing, memijit dan mengeluarkan isi tubuhnya yang seperti tanah dan ada sedikit darahnya. Cacing-cacing itu mati dan tinggal seperti kulit panjang yang sudah tidak ada isinya lagi.
“Sekarang sediakan bumbunya, bawang, garam dan merica yang agak banyak!“ kakek itu memerintah. Sulastri menurut dan menyediakan apa yang diminta gurunya.
“Nah, sekarang goreng! Jangan sampai gosong, akan tetapi juga yang kering agar kemripik!“
Kembali Sulstri menelan ludah. Gurunya ini benar-benar seorang gila. Masa cacing digoreng dan dimakan?
Tapi eyang…cacing bukan makanan…menjijikan…!
“Hush! Kakek itu mendelik dan matanya amat menakutkan, sebesar jengkol dan seperti mau meloncat keluar dari rongga mata, akan tetapi pandangnya tajam bukan main.
“Siapa bilang menjijikkan? Bangkai tetap bangkai, biar bangkai sapi, bangkai ayam atau bangkai cacing! Yang enak kan bumbunya! Bodoh, kau kira tidak enak goreng cacing? Kau belum pernah memakannya?“
Sulastri menggeleng kepala.
“Bodoh, kau masih harus banyak belajar. Hayo goreng, aku akan mencari lauk lainnya lagi!“  terdengarlah bunyi srang-sreng-srang-sreng ketika Sulstri menggoreng cacing-cacing yang sudah diredam bumbu itu. Dia memandang jijik melihat cacing-cacing itu agak mekar ketika terkena minyak panas, akan tetapi sungguh aneh, cacing-cacing yang digoreng itu mengeluarkan bau yang gurih!
Akan tetapi dia hampir berteriak saking jijik dan ngerinya ketika kakek itu datang dan kedua tangannya menggengam banyak sekali binatang kelabang dan luwing! Sulastri agak takut melihat kelabang karena maklum bahwa binatang-binatang ini berbisa, dan sejak dulu dia memang jijik melihat luwing karena binatang ini memang menjijikan, kakinya banyak sekali dan selalu melingkar kalau disentuh!
“Itu itu kelabang dan luwing juga di dimakan eyang?“
“Wooohhh, ini paling enak, bodoh! kakek itu berkata, membunuhi binatang-binatang itu dengan meremukkan kepalanya sekali tekan dengan kukunya, kemudian dia menggunakan air panas merendam bangkai-bangkai kelabang dan luwing itu. Tak lama kemudian, dia menguliti bangkai binatang-binatang itu dan setelah terkena air panas, ternyata kulit kelabang dan luwing itu dapat dikupas dengan mudah dan tinggal hanyalah dagingnya yang putih kemerahan seperti daging udang.
“Nah, goreng juga ini! katanya kepada Sulastri. Anak itu menelan ludah menahan muak, lalu digorengnya daging kelabang dan luwing itu. Dan kembali dia terheran-heran ketika mencium bau yang gurih lagi, seperti bau udang digoreng!
“Wah, hayo makan, Sulastri. Mumpung masih panas-panas. Hemm, itu di dalam bungkusan daun jati, masih ada beberapa butir lombok rawit, bawa sini!“
Kakek itu makan di layani oleh Sulastri. Akan tetapi anak itu hanya mengambil nasi saja, lalu mengambul sejumut garam untuk makan dengan garam saja.
“Eih, ini gorengannya, hayo dimakan!“
Sulastri menggeleng kepala.
“Ushhh, bodoh, hayo makan. Enak sekali ini! kakek tidak mendesak.
“Aku aku tidak doyan…, eyang biarlah aku makan dengan garam saja, dan itu…untuk eyang saja.
“Mana bisa begitu? Kau yang sudah payah menggoreng, masa aku saja yang makan? Dan kau makan dengan garam saja, mana enak? Hayo cobalah, engkau belum pernah makan ini, kan? Lihat, betapa lezatnya! Kakek itu mengambil seekor cacing goreng dan memakannya. Terdengar suara keremus-keremus seperti orang makan goreng usus ayam dan kakek itu kelihan menikmati makanan ini.
“Bukan main! Gorenganmu ternyata amat sedap! Bumbunya pas, gorengannya juga sedang. Kalau aku yang menggoreng, selalu gosong dan terlalu asin! Ha-ha, kata orang kalau masak terlalu asin tandanya kepingin kawin. Ha-ha! Nah, ini daging kelabang, menguatkan badan dan membuat kita tahan racun. Enak sekali dan ini… daging luwing banyak gajihnya. Hemm, sedap! Kakek itu kini makan dengan daging kelabang dan daging luwing, memang kelihatan enak daging kedua binatang ini,
seperti daging udang yang sudah dibuang kulitnya, putih kemerahan dan baunya gurih bukan main.
Sulastri tidak berani menolak, takut kalau-kalau gurunya marah dan tersinggung. Dengan hati ngeri dia lalu mengambil seekor cacing goreng yang bengkak-bengkok itu, lalu dengan mata terpejam dia memasukkan ke mulutnya bersama nasi.
“Kriakkk..kriak… Dan Sulastri membuka lebar matanya. Ternyata enak! Gurih sekali, seperti…hampir seperti kulit ayam goreng. Gurih dan baunya pun sedap! terus saja dimakannya cacing itu dan mendengar gurunya tertawa, dia memandang gurunya ikut pula tertawa.
“Nah, enak, kan?“
“Enak, eyang. Tak kusangka seenak ini goreng cacing! Sulastri mengambil seekor lagi dan mulai makan nasi dengan goreng cacing.
“Ah, coba kau makan goreng kelabang dan terutama goreng luwing itu, cobalah dan kau akan lebih terheran-heran lagi!“
Dengan agak memaksa diri Sulastri mengambil sepotong kelabang goreng dan memakannya. Benar, saja! Tiada ubahnya udang goreng! Tanpa ragu-ragu lagi kini dia memakan sepotong luwing goreng dan mulutnya mengecap-ngecap. Bukan main! Seperti udang goreng tetapi lebih berminyak dan manis!

Maka lenyaplah rasa ragu dan muaknya dan anak itu makan dengan lahapnya dan durunya juga kelihatan girang, tertawa-tawa dan sebentar saja nasi dan semua gorengnya habis sama sekali!
Kakek itu mengelus perutnya yang agak gendut dan minum air teh panas.
“Cruupp! Ahhh, air tehnya pun sedap kalau kau yang membuat. Waduh untung sekali aku mempunyai murid seperti engkau, Sulastri. Sekarang kita ngomong-omong, akan tetapi harus mencari kutu. Kepalaku gatal bukan main!“
Sulastri berlutut di belakang gurunya yang kembali merebahkan dirinya, dan mulailah  anak itu mencari kutu rambut di kepala kakek itu.
“Pantas saja kepalamu gatal-gatal, eyang. Habis kutunya banyak benar! Sebentar saja Sulastri sudah mendapatkan kutu rambut yang cukup besar.
“Ke sinikan! kata kakek itu dan setelah muridnya meletakkan kutu itu ke atas
telapak tangannya, dia lalu menggunakan lidahnya menjilat dan terdengar suara “Tess!“ ketika kutu itu digigitnya!“
“Ihh, kau apakan kutu itu, eyang?“
“Aku balas gigit dia! kurang ajar, habis-habis kulit kepalaku digigitnya!“
Sulastri geli hatinya. Gurunya ini orang aneh sekali. Akan tetapi kalau sampai kutu rambut digigit dan ditelan seperti itu, dia tidak akan menirunya.
“Sekarang kau ceritakan riwayatmu, Sulastri.“

Anak itu lalu menceritakan riwayatnya dengan sejelasnya, bagaimana dia hidup berdua  saja dengan kakaknya, kemudian betapa dia pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe  kemudian betapa kakaknya membunuh diri membela pati karena cintanya kepada  Ronggo  Lawe. Betapa dia ditangkap oleh dua orang perwira Mojopahit itu karena  dipaksa untuk mengaku di mana dia menyembunyikan mayat kakaknya.
Dan kau memang menyembunyikan mayatnya? tanya kakek itu.
“Sudah kukuburkan mayat mbakayuku, eyang.“
“Kenapa kau tidak memberi tahu mereka?“
“Mereka itu jahat. Aku khawatir mereka akan membongkar kuburan itu, maka aku tidak mau mengaku.“
“Hemm, kau anak luar biasa. “ Kakek itu mengangguk dan tidak mau bertanya lebih lanjut lagi sehingga anak itu pun tidak mau bercerita tentang kundolo mirah yang tergantung di lehernya dan tetang keris pusaka yang sama-sama terkubur jenazah kakaknya.
“Dan siapakah nama eyang? Masa mempunyai guru tidak tahu namanya!“
“Aku? Ha-ha-ha, aku adalah Ki Jembros dan orang bahkan menyebutku Setan Jembros, ha-ha-ha!“
“Di manakah rumah eyang?“
“Rumahku? Rumahku di mana-mana, langit itu atapku, gunung-gunung itu dindingku, dan bumi ini lantaiku, ha-ha-ha ! Kau mau ikut aku terlantar dan berkeliaran tak tentu tujuan?“
“Tentu saja bukankah aku murid eyang? Asal eyang jangan lupa mengajarkan kesaktian kepadaku!“
Demikianlah, anak kecil itu semenjak saat itu ikut bersama kakek aneh itu, hidup penuh dengan kesukaran dan kekurangan, hidup seperti jembel yang tidak pernah mengemis, tidur di sembarang tempat, makan seadanya, akan tetapi penuh dengan kebiasaan yang aneh.

Sudah terlalu lama kita meninggalkan keluarga janda Galuhsari yang kita kenal di dalam permulaan cerita ini. Seperti telah dituturkan di bagian terdepan dan cerita ini, nyi Galuhsari, janda cantik isteri mendiang panglima Mojopahit Lembu Tirta, setelah mengalami penghinaan digagahi secara keji di depan anaknya oleh Panewu Progodigdoyo, mengalami nasib yang mengeraikan. Rumahnya terbakar dan dia terbakar hidup-hidup di dalam rumahnya di mana terjadi kemaksiatan yang dilakukan oleh Progodigdoyo itu.
Seperti kita ketahui, Lestari, perawan remaja yang cantik itu setelah hampir pingsan saking ngerinya menyaksikan ibunya diperkosa oleh Progodigdoyo, lalu diculik dan dilarikan oleh Panewu yang telah gila oleh nafsu berahi itu. Ada pun anak ke dua janda itu, Sutejo, sejak tadi sudah rebah pingsan karena pukulan Panewu Progodigdoyo.
Ketika rumah itu terbakar, yang terancam maut adalah dua orang, yaitu Sutejo yang  masih pingsan dan ibunya, janda Galuhsari. Justru karena pingsan, Sutejo belum  dimakan api, tidak seperti ibunya yang berusaha mengejar Panewu Progodigdoyo, malah  kesambar api, kejatuhan atap yang ambruk dan lebih dahulu dimakan api, terbakar  hidup-hidup.
Namun, kiranya hanya tinggal menanti saatnya saja bagi kematian Sutejo karena diapun sudah terkurung api dalam keadaan pingsan. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan anak itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek berpakaian putih, dengan rambut, kumis dan jenggotnya juga sudah putih, tahu-tahu telah berada di dalam rumah yang terbakar itu.
Pada saat itu Sutejo siuman dari pingsannya.
“Ibuuuu…! Dia berteriak dan bangkit dengan binggung.
“Mbakayuuu…! Dia berteriak lagi ketika melihat api berkobar mengurung dirinya. Teringatlah dia akan segala peristiwa yang dialaminya, maka hatinya menjadi gelisah. Tiba-tiba dia melihat kakek berpakaian putih itu dan dia berteriak, “Eyanggggg…tolonglah…tolonglah ibu dan mbakayu…“
Dengan satu gerakan saja kakek itu telah berada di dekatnya, dan memegang tangannya.
Berpeganglah padaku, angger. Kita harus cepat keluar dari tempat ini!“

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 09

No comments:

Post a Comment