Dengan marah sekali mulailah
dia menggerakkan ranting kemlandingan itu, diayun
sekuatnya dan bertubi-tubi ranting kemlandingan itu menimpa tubuh anak kecil itu.
“Siuuuuuttt….. prat!! Siuuuuttt…. pratt-pratt-pratt!!”
Dihajar bertubi-tubi oleh cambukan ranting itu, Sulastri menyeringai dan bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas. Hampir saja dia mengeluh,
maka cepat dia menggigit bibirnya kuat-kuat dan terus bergulingan, kedua
tangannya meraba sana-sini
di bagian tubuhnya yang terkena cambukan untuk mengusir
rasa panas dan perih yang menggerogoti kulit-kulit tubuhnya. Akan tetapi
sedikit pun dia tidak mengaduh, bahkan kelihatan darah dari kanan kiri mulutnya, yaitu darah dari bibir bawahnya yang robek tergigit ketika dia menahan
sakit.
“Cepratt-cepratt-pratt-pratt….!” Darumuko terus mencambuki tanpa pilih tempat
sehingga yang terkena cambuk adalah seluruh tubuh Sulastri dari kaki sampai
kepala. Cambuk ranting kemlandingan yang ulet dan lemas itu mengigiti kulitnya,
tidak sampai merobek kulit akan tetapi meninggalkan bekas merah kebiruan.
“Hayo mengaku kau, sundal kecil, hayo mengaku kau, keparat! Prat-prat-prat!”
Akan tetapi jangankan
mengaku, mengeluh satu kali pun tidak dan anak itu hanya terus bergulingan dan menggeliat-geliat, makin lama makin lemah sampai akhirnya
dia tidak berkutik lagi, rebah miring dan sama sekali tidak bergerak ketika cambuk ranting
kemlandingan itu masih terus menimpa tubuhnya.
“Setop! Setop! Adi Darumuko,
apa kau sudah gila? Apa kau hendak membunuhnya?”
Reksosuro berseru dan menahan lengan temannya yang masih terus mencambuki.
“Keparat…! Sedikit pun dia tidak minta ampun, tidak mengeluh. Menantang dia, keparat!
Biar kucambuk dia sampai mampus!” Darumuko terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
“Hussh, bodoh! Sekarang kau boleh mencambuki sampai dia mampus, akan tetapi
kelak kau yang akan dicambuki
oleh sang resi sampai robek-robek semua kulitmu!”
Mendengar ini, Darumuko terkejut dan baru sadar. Dia memandang cambuk ranting
itu, lalu membuangnya dan cepat dia menunduk dan berlutut.
“Wah, apa dia mampus?”
Reksosuro juga berlutut, memeriksa Sulastri.
“Tidak, dia masih bernapas, hanya
pingsan saja.”
“Dia keras kepala, anak luar biasa sekali dia, seperti setan. Bagaimana baiknya
sekarang, kakang Reksosuro?”
“Sebaiknya kita bawa saja dia pulang dan kita serahkan
kepada sang resi. Beliau
tentu mempunyai daya upaya untuk membuka mulut anak ini. Dan karena kau yang mencambukinya sampai dia tidak bisa berjalan dan pingsan, kau pula yang harus
memondongnya sampai
ke gedung sang resi, Adi Darumuko.”
“wah-wah sialan…!” Darumuko mengomel, akan tetapi karena merasa bersalah,
terpaksa dia memondong
anak itu, disampirkan di pundaknya dengan kaki di depan
dan kepala di belakang,
merangkul kedua paha anak itu dan berangkatlah dua orang ini melanjutkan perjalanan mereka ke Mojopahit.
Hari telah menjelang
senja ketika mereka harus melewati sebuah hutan yang cukup
lebat.
“Wah, kakang
Reksosuro, kita akan melewati hutan ini dan malam sudah
hampir tiba.” Darumuko mengomel dan memandang khawatir juga.
“Uwaahh, masa kau takut? Malam ini terang bulan.”
“Tapi hutan ini terkenal banyak orang jahat dan setannya…”
“Huh, siapa berani merampok setelah baru saja terjadi perang itu? Kita kan
perwira-perwira Mojopahit?
Kalau ada perampok berani muncul, aku malah akan
merampas semua miliknya,
huh, aku Reksosuro adalah sahabat-sahabat setan!”
“Hushh! Bicaramu kok begitu?” Darumuko menegur, merasa serem.
“Ha-ha, mengapa tidak? Apakah percuma saja setiap Selasa dan malam Jumat biniku membakar kemenyan sekepal besarnya dan menghidangkan kembang setaman?
Percayalah, setan-setan tidak akan mengganggu kita, malah akan melindungi.
Mereka semua sudah jinak kepadaku.”
Biar pun ucapan Reksosuro itu sungguh-sungguh dan kelihatan meyakinkan, namun tetap saja meremang
bulu tengkuk Darumuko ketika mereka memasuki hutan yang
gelap itu. Si muka bulat bibir tebal ini memang seorang
pemberani dan kejam,
tidak pernah takut bertempur
melawan siapa pun juga. Hanya dia mempunyai satu
kelemahan yaitu amat takut terhadap
setan yang belum pernah dilihatnya, takut dan ngeri sehingga
setiap malam Jumat di rumahnya, kalau dia pada waktu malam terpaksa
oleh kebutuhan badan harus ke kamar mandi untuk buang air kecil atau besar, dia selalu menggugah
bininya untuk minta diantar! Andaikata ada lima orang maling mengganggu rumahnya, Darumuko tentu akan meloncat dan membawa
tombaknya, siap menghadapi
lima orang maling itu. Akan tetapi begitu mendengar
tentang setan, atau diingatkan akan setan, dia menggigil dan cepat
berkerudung selimut minta didekap
bininya seperti anak kecil minta dilindungi!
Malam itu cuaca memang terang karena bulan purnama
tidak terhalang mendung. Hawa udara dingin menyusup
tulang, apa lagi di tengah-tengah hutan itu, karena banyaknya
pohon-pohon yang lebat daunnya menambah dinginnya hawa, seolah-olah di sekeliling
tempat itu, di kanan kiri depan belakang dan atas, terdapat air dingin yang mengurung.
“Ihhh, dinginnya…! Apa kita tidak berhenti dulu, kakang?” Darumuko menggigil dan suaranya
gemetar, entah oleh dingin saja atau juga oleh hal lain, karena jelas
mukanya membayangkan ketakutan dan kengerian.
“Nanti kita berhenti di dekat belik (sumber air) sana sambil minum,” jawab Reksosuro.
“Ihhhh… “ Terdengar
suara dari mulut Darumuko, seperti orang kedinginan.
“Kau kenapa, adi?”
“Di… dingin…!”
“Sikapmu seperti orang takut! Hati-hati, anak itu agaknya sudah siuman.”
“Ti… tidak takut…. hanya dingin…. hhiiii!”
“Ada apa?”
“Ssssttt, kakang….” Darumuko memegang lengan temannya. Matanya terbelalak
memandang ke depan.
“Kau lihat tadi…?”
“Uhh, melihat
apa?” Reksosuro membelalakkan mata, mencari-cari akan tetapi tidak melihat sesuatu yang aneh.
“Aku melihat bayangan orang…”
“Hemm, kalau bayangan
orang saja mengapa takut? Orang pun kita tidak takut! Pula, siapa ada orang di malam-malam begini dan tempat seperti ini? Mungkin bayangan
setan yang kau lihat.” Reksosuro berkelakar, akan tetapi kelakar ini malah membuat Darumuko makin menggigil seperti orang terkena penyakit demam.
“Huh, penakut. Hayo!” Reksosuro menarik tangan temannya dan melanjutkan
perjalanan.
“Nguuuuukkk…!”
Darumuko melonjak kaget.
“Ihhh…!”
“Hemm, itu hanya suara lutung.”
Reksosuro mencela temannya yang penakut itu. Mereka berjalan
terus, suasana sunyi sekali, membuat Darumuko merasa tengkuknya
tebal.
“Huuuuukkkk-huk-hukkk!”
“Hiii…!!” Darumuko
hampir saja melepaskan tubuh kecil yang dipondongnya saking kagetnya
dan dia memegang lengan Reksosuro dengan jari-jari menggigil.
“Apa… apa itu.. kakang?”
“Aah, penakut
benar kau, adi. Itu hanya suara burung hantu! Kulu-kulu-hu-hu-huuukk!”
Reksosuro menirukan
suara burung hantu itu sambil tertawa.
Darumuko menjadi
malu pada diri sendiri, akan tetapi dia membela diri.
“Ah, tentu saja kau lebih tabah, kakang. Dahulu engkau sudah biasa berkeliaran di dalam hutan sebagai perampok.”
“Hushh! Jangan gali-gali riwayat lama, kawan. Kini aku perwira Mojopahit, tahu?”
“Maaf, kakang Reksosuro.”
Mereka berjalan
lagi dan Darumuko memandang cemas ke depan. Dari jauh sudah nampak sebatang
pohon beringin yang besar sekali sehingga keadaan di sekeliling
pohon raksasa itu menyeramkan karena bawahnya gelap dan mereka agaknya akan lewat di bawah pohon beringin
itu.
Reksosuro agaknya
mengerti akan keseraman hati temannya. Temannya yang selalu
ketakutan itu membuat hatinya menjadi tidak enak juga, maka dia berkata,
“Adi Darumuko, jangan
takut. Takut akan setan sesungguhnya hanyalah permainan pikiran
sendiri yang membayangkan hal yang bukan-bukan.”
“Baik, kakang aku akan berusaha agar tidak takut.”
Mereka kini tiba di bawah pohon.
“Lepaskan aku…! Kalian manusia-manusia jahat dan keji! Lepaskan aku!” Tiba-tiba
Sulastri yang kini sudah siuman betiul itu meronta lemah dalam pondongan
Darumuko.
“Diam kau, bocah setan. Atau…. kucekik kau nanti!” Darumuko membentak.
“Heh-heh, diamlah, manis. Nanti kau akan diberi hadiah yang enak-enak oleh sang resi.” Reksosuro
juga membujuk dengan suara mengejek.
Mereka kini tiba di bawah pohon beringin yang agak gelap, suram muram. Tiba-tiba
tubuh Darumuko terhuyung
roboh, Sulastri yang tadinya dipondong terlepas dari
pondongannya.
“Aduhh… kakang….
tolong….. ssseee… ssseeetan….!” Darumuko merintih dan telunjuknya menuding kearah batang pohon beringin.
“Apa…? Heii… aduhhhh….!” Kini Reksosuro
juga terhuyung ke depan dan
terjelengup. Kedua tangannya dapat menahan tanah sehingga mukanya tidak sampai bertemu dengan
tanah seperti halnya Darumuko. Akan tetapi dia kaget sekali karena tahu bahwa jatuhnya
bukan sembarangan, melainkan dijegal orang! Cepat dia meloncat berdiri
dan membalikkan tubuh ke arah batang pohon beringin
yang amat besar itu.
“Tolong kakang….
ada setan…!” Kembali Darumuko merintih dan berusaha untuk
bangkit akan tetapi dia mendekam
kembali sambil menendang dengan tubuh gemetar
ke arah bayangan
hitam yang bersandar pohon beringin itu.
“Huh, adi, bangunlah! Setan apa? Dia seorang manusia yang sudah bosan hidup,
berani mengganggu kita!” kata Reksosuro.
Mendengar ucapan ini, seketika
timbul semangat Darumuko dan lenyaplah rasa takut dan ngerinya
tadi. Sungguh tadi dia menyangka bahwa bayangan hitam yang bersandar
pada batang pohon beringin itu adalah setan yang mengganggunya. Akan
tetapi kini mendengar
ucapan temannya, dia menjadi marah sekali.
“Apa? Manusia…?” Dia lalu meloncat berdiri dan mendekati temannya yang sudah
melangkah maju.
Setelah rasa takutnya hilang, kini Darumuko dapat melihat bahwa memang bayangan
hitam yang bersandar di batang pohon beringin itu adalah seorang manusia.
Keadaanya tidaklah segelap ketika dia ketakutan tadi. Sinar bulan purnama masih menerangi
tempat itu. Kini dia melihat jelas seorang kakek yang pakaiannya serba
hitam duduk bersandar
batang pohon sambil melenggut, kakinya yang panjang
dilonjorkan di depan tubuhnya.
Sulastri yang tadi terlepas dari pondongannya,
kini sudah lari ke dekat orang tua yang tertidur itu, agaknya minta perlindungan
kakek itu.
Sejenak dua orang perwira Mojopahit
pembantu Resi Mahapati itu mengira bahwa lagi-lagi
Ki Ageng Palandongan yang menghadang mereka, karena orang itu pun sudah tua dan di dalam cuaca yang suram muram itu pakaiannya seperti hitam. Akan tetapi setelah mereka memandang
penuh perhatian, mereka terkejut, terheran dan marah bukan main. Orang itu hanyalah
jembel! Seorang pengemis tua! Seorang
jembel pengemis
yang pakaiannya hanya merupakan gombal-gombalan saking kotornya
sehingga kelihatan hitam, rambutnya gimbal panjang terurai dan tak pernah dicuci sehingga
ruwet dan kotor, kumis dan jenggotnya menutupi bagian bawah mukanya.
Pakaiannya yang kotor itu hanya merupakan
sebuah baju yang tidak ada kancingnya
lagi, terbuka memperlihatkan dadanya yang penuh rambut, dan sebuah celana
komprang (besar) sampai ke lutut, kemudian di pinggangnya dilibat kain yang kumal. Dari tempat mereka berdiri pun, dalam jarak dua meter, sudah tercium bau apak, bau pakaian yang sering terkena keringat dan tak pernah dicuci. Seorang
jembel!
“Sialan! Jembel busuk!” Darumuko yang tadi ketakutan setengah mati, menjadi
marah dan mendongkol sekali bahwa yang membuatnya ketakutan sampai celananya
basah sedikit karena tadi dalam takutnya
tanpa disadarinya lagi dia “ngompol”,
kini menjadi “berani”
luar biasa dan ia menyepak paha orang tua itu!
“Jembel tua bangka busuk! Berani kau menjegal kakiku?” Kakinya menyepak.
“Plak!”dan tubuh orang itu terguncang, akan tetapi tetap saja dia masih tidur.
“He, kere tua mau mampus! Bangunlah!” Reksosuro juga membentak, kakinya
mencongkel sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu melayang ke arah dahi kakek itu.
“Tukkk!” batu mengenai dahi dan menggelinding ke bawah. Akan tetapi
tetap saja kakek itu tidak bangun!
Melihat ini, Sulastri lalu mengguncang pundak orang tua itu dan berbisik di
telinganya,
“Kakek, bangunlah. Dua orang jahat ini akan mencelakakan engkau dan
aku. Bangunlah, kek!”
Kakek jembel itu membuka
mata sedikit, dikejap-kejapkan dan menggeliat, kedua tangannya
direntangkan ke depan dan terdengar suara berkerotokan pada punggungnya seolah-olah semua tulang punggungnya patah-patah. Sulastri terkejut
bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa,
lalu membuka matanya dan memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya,
lalu menoleh kearah Sulastri, mulutnya yang tertutup kumis itu bergerak-gerak
yang dapat diduga bahwa dia tersenyum! Sejenak matanya memandangi tiga orang itu bergantian, kemudian terdengar ada suara keluar dari balik kumis brewok itu,
“Ela-dhalah.. demi segala setan demit iblis bekasakan yang menjaga hutan ini! Dari mana datangnya
dua ekor serigala dan seekor anak harimau ini?”
Jelas bahwa kakek jembel itu menganggap
dua orang perwira Mojopahit itu dua ekor serigala,
dan Sulastri disebutnya anak harimau. Itu merupakan hinaan yang amat hebat bagi Reksosuro
dan Darumuko!
“Tua bangka bau busuk! Kami adalah dua orang perwira Mojopahit, tahu? Dan kau berani menganggap kamu serigala? Berapa rangkap sih nyawamu maka kau berani
berlancang mulut seperti
ini?” bentak Reksosuro.
“Gebuk mampus saja sudah, kakang!” kata Darumuko.
Kakek itu memandang
kedua orang itu dan terkekeh dalam.
“Heh-heh, aku melihat orang bukan dari pakaian atau pangkatnya, melainkan dari sifat-sifatnya. Lihat anak perempuan
ini, biar pun masih kecil dan perempuan, dia mempunyai sifat seperti
seekor harimau, calon harimau betina yang ganas dan tangkas! Dan kalian..
hemm… kalian seperti serigala, licik dan hanya berani kalau sudah yakin menang,
sebetulnya di dalamnya
penakut. Srigala hanya akan menyerang binatang lain yang lebih lemah, atau kalau menyerang
yang kuat tentu dengan keroyokan. Nah, itulah
sifat kalian.”
Tentu saja Reksosuro dan Darumuko menjadi marah bukan main. Jembel tua itu
terang-terangan, tanpa tedeng
aling-aling, telah menghina mereka! Seorang kere
tua berani menghina
mereka, dua orang perwira Mojopahit? Sungguh sialan!
“Dan engkau adalah calon bangkai yang sudah membusuk!” Darumuko memaki.
“Hayo
katakan, apa perlumu menghadang kami dan menjegal kaki kami?”
“Wah, wah, siapa yang menjegal siapa? Tidak ada jegal-jegalan disini seperti yang terjadi di Mojopahit! Di sini hanya ada aku yang tidak membutuhkan apa-apa,
perlu apa menjegal orang?”
“Kakek hina! Jelas kau tadi menjegal kami!” Reksosuro juga membentak, agak hati-hati
karena dia dapat menduga bahwa mendengar
bicaranya, kakek jembel itu tentulah
bukan sembarangan orang.
“Nah, nah fitnah-memfitnah sudah menjadi watak semua orang di Mojopahit! Jangan
dibawa-bawa ke sini, kisanak! Tadi aku sedang tidur di sini, enak-enak mimpi bercengkerama dengan para iblis bekasakan yang berpesta pora di hutan ini, eh, tahu-tahu
kalian menginjak-injak kakiku dan bilang bahwa aku menjegal kalian.
Mojopahit sekarangkah ini?”
Mendengar ucapan yang makin tidak karuan itu, Darumuko
berkata,
“Kakang, dia tentu orang gila!”
Kakek itu cepat membantah,
“Nah, sudah biasa orang gila memaki orang lain gila!”
“Apa?” Darmuko melotot.
“Kau memaki aku gila?”
“Bukan aku yang memaki, orang muda, melainkan engkau sendiri!”
“Kakek, dia itu memang orang ceriwis, suka memaki orang, lihat bibirnya sampai
menjadi tebal karena
terlalu sering memaki orang!” Tiba-tiba Sulastri berkata,
terbawa gembira oleh sikap kakek itu yang tabah dan seolah-olah menggoda dua orang itu.
“Ha-ha-ha-ha! Kau benar… ha-ha-ha! Bibirnya…. ahhh, sampai menggandul begitu
panjang. Aduh lucunya…!”
Kakek itu terbahak-bahak dan memegangi perutnya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Darumuko. Selama hidupnya, belum pernah
dia dihina orang seperti ini.
“Kere busuk, kuhancurkan isi perutmu!” Sambil membentak demikian, dia menerjang
maju dan mengayun
kaki kanannya, menendang dengan pengerahan tenaga sepenuhnya
ke arah perut kakek itu yang masih tertawa dan perutnya kelihatan karena bajunya
terbuka. Perut yang agak gendut biar pun tubuhnya
kurus itu tak terhindarkan
lagi menerima tendangan kilat yang amat kuat.
“Bukkk!”
Sungguh aneh sekali. Sulastri yang melihat dengan mata terbelalak
mengkhawatirkan keselamatan kakek itu melihat betapa wajah Darumuko berobah,
sedangkan kakek itu tetap saja masih tertawa. Darumuko menyeringai, kemudian
roboh terpelanting ke atas tanah dan menjerit-jerit, mengaduh-aduh memegangi
perutnya.
“Aughh… waduh perutku… aduhhh, mulas sekali… aih, tak kuat aku...” Dia
menekan perutnya
dengan kedua tangan, menggeliat-geliat seperti dalam sekarat,
dan segera terdengar suara memberobot dan Darumuko cepat-cepat membuka tali kolor celananya
dan melepaskan celana itu. Tercium bau yang amat tidak sedap dan begitu dia mengerti
apa yang terjadi dengan orang yang dibencinya itu, Sulastri
membuang muka dan mengomel,
“Huh, manusia
tak tahu malu!” Kiranya Darumuko yang diserang
perut mulas dan sakit tak tertahankan itu, tanpa dapat dicegahnya lagi telah terberak-berak disitu!
Diam-diam Sulastri kagum sekali dan anak yang cerdas ini mengerti bahwa kakek jembel itu adalah ternyata
adalah seorang manusia sakti. Dia duduk dekat kakek
itu dan tadi dia melihat betapa ketika kakek itu ditendang
perutnya, kakek itu tidak mengelak
akan tetapi dia melihat tangan kiri kakek itu bergerak naik
ke arah perut orang yang menendangnya. Tendangan yang amat hebat itu mengenai
perut si kakek, akan tetapi kakek itu tetap tertawa dan sebaliknya Darumuko yang
kena “diraba” perutnya itu sampai terberak-berak!
Melihat hal kawannya ini, tentu saja Reksosuro menjadi malu dan marah sekali.
Dia makin yakin bahwa kakek jembel ini tentu bukan orang sembarangan, maka dia lalu cepat mencabut
kerisnya, keris pusaka yang dibangga-banggakan, yang dinamakan
Kyai Bandot karena selalu dilumuri bisa ular Bandotan.
“Kere busuk, rasakan pusakaku Kyai Bandot ini!”
Reksosuro menerjang
ke depan, menghunjamkan kerisnya yang panjang berluk
sembilan itu kearah dada kakek yang telanjang.
Kakek itu tertawa geli.
“Kyai Bandot? Ha-ha-ha… memang bandot tua tak tahu malu…!”
“Cuss…!” Keris itu tepat mengenai
dadanya, akan tetapi Reksosuro memekik
kesakitan, kerisnya terlepas dan dia terhuyung mundur memegangi tangan kanan
dengan tangan kirinya. Tangan kanannya itu nyeri sekali dan sudah membengkak,
agaknya salah urat, kiut-miut
rasanya membuat Reksosuro menggigil dan peluhnya
memenuhi mukanya, sebesar-besar jagung! Dia menusukkan kerisnya ke dada orang,
dan orang itu tidak mengelak tidak menangkis, akan tetapi tangannya sendiri
malah keseleo (salah urat) dan bengkak-bengkak!
“Ha-ha-ha, Kyai Bandot tua… ha-ha…!” Kakek jembel itu mengambil keris Kyai Bandot
yang tadi terlepas dari pegangan pemiliknya. Dadanya tidak luka sedikitpun juga, dan kini dengan jari-jari tangannya yang kurus kecil, dia menekuk-nekuk keris itu seolah-olah keris itu terbuat daripada tembaga atau timah lemas saja! Pemiliknya
yang masih mengaduh-aduh itu terbelalak melihat kerisnya yang terbuat
daripada baja tulen itu ditekuk-tekuk seperti itu, kemudian dilemparkan ke atas
tanah.
Sulastri tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil keris yang sudah ditekuk-tekuk itu dan menghampiri dua orang yang masih merintih-rintih kesakitan.
“Sekarang kalian mampus…”
anak itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
“Heiii… pengecut….!” Kakek itu berseru tangannya bergerak ke depan dan Sulastri
terjungkal! Anak itu bangkit lagi, meraih keris, akan tetapi untuk ke dua kalinya dia terjungkal dan kini dia memandang ke arah kakek itu.
“Kau mau apa? Mau jadi pengecut? Huh, aku yang mengalahkan mereka, bukan kau,
tahu? Kalau kau yang mengalahkan mereka, boleh saja kau mau melakukan apa yang kau suka!”
Sulastri menjadi
merah mukanya. Dia dapat mengerti dan dia lalu mengangguk.
“Maaf, eyang!”
Sementara itu, Reksosuro
mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti
sekali. Cepat dia menyambar
kerisnya dengan tangan kiri, kemudian dia berkata
kepada temannya, “Adi Darumuko… cepat… lari…!” Dan dia mendahului sambil
memegangi tangan kananya
yang ketika dipakai lari dan bergerak, nyerinya bukan
alang kepalang.
“Kakang… tungguuu…!” Darumuko cepat meloncat dan tergopoh-gopoh lari. “Kakooang..
tungguuuu...!”
Kakek itu melihat tahi kotoran yang ditinggalkan Darumuko, mengendus jijik, lalu
menggunakan sehelai daun mengambil
kotoran itu dengan tangan kirinya dan dia
berteriak kepada Darumuko,
“Heii… bibir tebal… ini milikmu ketinggalan!”
“Ehh? Milik apa…?” Otomatis
Darumuko menengok ke arah kakek itu dan pada saat itu sebuah benda menyambar
ke arah mukanya. Dia berusaha mengelak namun kurang
cepat.
“Plokk..!!” Kotorannya sendiri mengenai muka, memasuki mulut dan hidungnya.
“Uaakkk…huekkk…kakooaanngg…hueekkk, tunggu…” Darumuko lari pontang-panting
seperti dikejar
setan, kadang-kadang muntah-muntah, mengejar kawannya, diikuti
suara ketawa, kini terdengar dua suara ketawa, yaitu suara ketawa yang parau dan dalam dari kakek jembel
dan suara ketawa nyaring tinggi dari Sulastri. Baru sekarang
terdengar suara ketawa anak itu.
Tak lama kemudian, tiba-tiba suara ketawa kakek itu berhenti. Sulastri juga
berhenti tertawa.
Anak itu masih duduk di atas tanah, dan kakek itu masih duduk
bersandar batang pohon beringin
seperti tadi. Keduanya saling pandang sampai
lama sekali, sinar mereka menembus
kesuraman dan akhirnya kakek itu berkata,
“Matamu
seperti mata harimau!”
“Dan matamu seperti mata setan!”
“Uhh!” Kakek itu senang. “Benarkah?”
“Benar, eyang menyeramkan, tajam berpengaruh dan aneh!”
“Hemm, eh siapa namamu?”
“Sulastri.”
“Bagus! Nah, Sulastri, lekas kau angkat kaki dan pergi dari sini!”
Anak itu mengangkat muka, memandang kakek itu dan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab,
suaranya tegas,
“Tidak, aku tidak mau pergi, eyang.”
“Heh, kenapa?”
“Karena aku mau turut eyang saja.”
“Aku bukan eyangmu.”
“Akan tetapi aku menganggapmu eyang guruku.”
“Wah, eyang guru? Kau mengangkat aku menjadi guru?”
Sulastri mengangguk.
“Gila! Aku orang miskin dan bodoh, kau mau belajar apa dari orang macam aku?”
“Belajar ilmu kesaktian, eyang.”
“Ilmu kesaktian? Ha-ha-ha, kau kira mudah?”
“Kesukaran apa pun akan kutempuh, dan semua perintah eyang akan kulakukan.”
Kakek itu memandang
dengan alis berkerut.
“Anak luar biasa kau ini. Siapa sih orang tuamu dan kenapa kau tadi dibawa mereka?”
“Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda, sudah tidak mempunyai sanak keluarga. Aku seorang yatim piatu yang sebatangkara, eyang. Keluargaku menjadi korban orang-orang
jahat itu. Untung ada eyang yang menolongku, dan aku ingin belajar kesaktian
dari eyang agar kelak aku dapat membasmi orang-orang macam mereka tadi.”
No comments:
Post a Comment