Wednesday, April 1, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 07

Dengan marah sekali mulailah dia menggerakkan ranting kemlandingan itu, diayun sekuatnya dan bertubi-tubi ranting kemlandingan itu menimpa tubuh anak kecil itu.
“Siuuuuuttt….. prat!! Siuuuuttt…. pratt-pratt-pratt!!”
Dihajar bertubi-tubi oleh cambukan ranting itu, Sulastri menyeringai dan bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas. Hampir saja dia mengeluh, maka cepat dia menggigit bibirnya kuat-kuat dan terus bergulingan, kedua tangannya meraba sana-sini di bagian tubuhnya yang terkena cambukan untuk mengusir rasa panas dan perih yang menggerogoti kulit-kulit tubuhnya. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mengaduh, bahkan kelihatan darah dari kanan kiri mulutnya, yaitu darah dari bibir bawahnya yang robek tergigit ketika dia menahan sakit.
“Cepratt-cepratt-pratt-pratt….! Darumuko terus mencambuki tanpa pilih tempat sehingga yang terkena cambuk adalah seluruh tubuh Sulastri dari kaki sampai kepala. Cambuk ranting kemlandingan yang ulet dan lemas itu mengigiti kulitnya,
tidak sampai merobek kulit akan tetapi meninggalkan bekas merah kebiruan.
“Hayo mengaku kau, sundal kecil, hayo mengaku kau, keparat! Prat-prat-prat!”
Akan tetapi jangankan mengaku, mengeluh satu kali pun tidak dan anak itu hanya terus bergulingan dan menggeliat-geliat, makin lama makin lemah sampai akhirnya dia tidak berkutik lagi, rebah miring dan sama sekali tidak bergerak ketika cambuk ranting kemlandingan itu masih terus menimpa tubuhnya.
“Setop! Setop! Adi Darumuko, apa kau sudah gila? Apa kau hendak membunuhnya?” Reksosuro berseru dan menahan lengan temannya yang masih terus mencambuki.
“Keparat…! Sedikit pun dia tidak minta ampun, tidak mengeluh. Menantang dia, keparat! Biar kucambuk dia sampai mampus! Darumuko terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
“Hussh, bodoh! Sekarang kau boleh mencambuki sampai dia mampus, akan tetapi kelak kau yang akan dicambuki oleh sang resi sampai robek-robek semua kulitmu!”
Mendengar ini, Darumuko terkejut dan baru sadar. Dia memandang cambuk ranting
itu, lalu membuangnya dan cepat dia menunduk dan berlutut.
“Wah, apa dia mampus?”
Reksosuro juga berlutut, memeriksa Sulastri.
“Tidak, dia masih bernapas, hanya pingsan saja.”
“Dia keras kepala, anak luar biasa sekali dia, seperti setan. Bagaimana baiknya sekarang, kakang Reksosuro?”
“Sebaiknya kita bawa saja dia pulang dan kita serahkan kepada sang resi. Beliau tentu mempunyai daya upaya untuk membuka mulut anak ini. Dan karena kau yang mencambukinya sampai dia tidak bisa berjalan dan pingsan, kau pula yang harus memondongnya sampai ke gedung sang resi, Adi Darumuko.”
“wah-wah sialan…! Darumuko mengomel, akan tetapi karena merasa bersalah, terpaksa dia memondong anak itu, disampirkan di pundaknya dengan kaki di depan dan kepala di belakang, merangkul kedua paha anak itu dan berangkatlah dua orang ini melanjutkan perjalanan mereka ke Mojopahit.

Hari telah menjelang senja ketika mereka harus melewati sebuah hutan yang cukup lebat.
“Wah, kakang Reksosuro, kita akan melewati hutan ini dan malam sudah hampir tiba. Darumuko mengomel dan memandang khawatir juga.
“Uwaahh, masa kau takut? Malam ini terang bulan.”
“Tapi hutan ini terkenal banyak orang jahat dan setannya…”
“Huh, siapa berani merampok setelah baru saja terjadi perang itu? Kita kan perwira-perwira Mojopahit? Kalau ada perampok berani muncul, aku malah akan merampas semua miliknya, huh, aku Reksosuro adalah sahabat-sahabat setan!”
“Hushh! Bicaramu kok begitu? Darumuko menegur, merasa serem.
“Ha-ha, mengapa tidak? Apakah percuma saja setiap Selasa dan malam Jumat biniku membakar kemenyan sekepal besarnya dan menghidangkan kembang setaman? Percayalah, setan-setan tidak akan mengganggu kita, malah akan melindungi. Mereka semua sudah jinak kepadaku.”
Biar pun ucapan Reksosuro itu sungguh-sungguh dan kelihatan meyakinkan, namun tetap saja meremang bulu tengkuk Darumuko ketika mereka memasuki hutan yang gelap itu. Si muka bulat bibir tebal ini memang seorang pemberani dan kejam, tidak pernah takut bertempur melawan siapa pun juga. Hanya dia mempunyai satu kelemahan yaitu amat takut terhadap setan yang belum pernah dilihatnya, takut dan ngeri sehingga setiap malam Jumat di rumahnya, kalau dia pada waktu malam terpaksa oleh kebutuhan badan harus ke kamar mandi untuk buang air kecil atau besar, dia selalu menggugah bininya untuk minta diantar! Andaikata ada lima orang maling mengganggu rumahnya, Darumuko tentu akan meloncat dan membawa tombaknya, siap menghadapi lima orang maling itu. Akan tetapi begitu mendengar tentang setan, atau diingatkan akan setan, dia menggigil dan cepat berkerudung selimut minta didekap bininya seperti anak kecil minta dilindungi!

Malam itu cuaca memang terang karena bulan purnama tidak terhalang mendung. Hawa udara dingin menyusup tulang, apa lagi di tengah-tengah hutan itu, karena banyaknya pohon-pohon yang lebat daunnya menambah dinginnya hawa, seolah-olah di sekeliling tempat itu, di kanan kiri depan belakang dan atas, terdapat air dingin yang mengurung.
“Ihhh, dinginnya…! Apa kita tidak berhenti dulu, kakang? Darumuko menggigil dan suaranya gemetar, entah oleh dingin saja atau juga oleh hal lain, karena jelas mukanya membayangkan ketakutan dan kengerian.
“Nanti kita berhenti di dekat belik (sumber air) sana sambil minum, jawab Reksosuro.
“Ihhhh Terdengar suara dari mulut Darumuko, seperti orang kedinginan.
“Kau kenapa, adi?”
“Di dingin…!”
“Sikapmu seperti orang takut! Hati-hati, anak itu agaknya sudah siuman.”
“Ti tidak takut…. hanya dingin…. hhiiii!”
“Ada apa?”
“Ssssttt, kakang…. Darumuko memegang lengan temannya. Matanya terbelalak memandang ke depan.
“Kau lihat tadi…?”
“Uhh, melihat apa? Reksosuro membelalakkan mata, mencari-cari akan tetapi tidak melihat sesuatu yang aneh.
“Aku melihat bayangan orang…”
“Hemm, kalau bayangan orang saja mengapa takut? Orang pun kita tidak takut! Pula, siapa ada orang di malam-malam begini dan tempat seperti ini? Mungkin bayangan setan yang kau lihat. Reksosuro berkelakar, akan tetapi kelakar ini malah membuat Darumuko makin menggigil seperti orang terkena penyakit demam.
“Huh, penakut. Hayo! Reksosuro menarik tangan temannya dan melanjutkan perjalanan.
“Nguuuuukkk…!” Darumuko melonjak kaget.
“Ihhh…!”
“Hemm, itu hanya suara lutung. Reksosuro mencela temannya yang penakut itu. Mereka berjalan terus, suasana sunyi sekali, membuat Darumuko merasa tengkuknya tebal.
“Huuuuukkkk-huk-hukkk!”
“Hiii…!! Darumuko hampir saja melepaskan tubuh kecil yang dipondongnya saking kagetnya dan dia memegang lengan Reksosuro dengan jari-jari menggigil.
“Apa apa itu.. kakang?”
“Aah, penakut benar kau, adi. Itu hanya suara burung hantu! Kulu-kulu-hu-hu-huuukk!” Reksosuro menirukan suara burung hantu itu sambil tertawa.
Darumuko menjadi malu pada diri sendiri, akan tetapi dia membela diri.
“Ah, tentu saja kau lebih tabah, kakang. Dahulu engkau sudah biasa berkeliaran di dalam hutan sebagai perampok.”
“Hushh! Jangan gali-gali riwayat lama, kawan. Kini aku perwira Mojopahit, tahu?”
“Maaf, kakang Reksosuro.”

Mereka berjalan lagi dan Darumuko memandang cemas ke depan. Dari jauh sudah nampak sebatang pohon beringin yang besar sekali sehingga keadaan di sekeliling pohon raksasa itu menyeramkan karena bawahnya gelap dan mereka agaknya akan lewat di bawah pohon beringin itu.
Reksosuro agaknya mengerti akan keseraman hati temannya. Temannya yang selalu ketakutan itu membuat hatinya menjadi tidak enak juga, maka dia berkata,
“Adi Darumuko, jangan takut. Takut akan setan sesungguhnya hanyalah permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal yang bukan-bukan.”
“Baik, kakang aku akan berusaha agar tidak takut.”
Mereka kini tiba di bawah pohon.
“Lepaskan aku…! Kalian manusia-manusia jahat dan keji! Lepaskan aku! Tiba-tiba Sulastri yang kini sudah siuman betiul itu meronta lemah dalam pondongan Darumuko.
“Diam kau, bocah setan. Atau…. kucekik kau nanti! Darumuko membentak.
“Heh-heh, diamlah, manis. Nanti kau akan diberi hadiah yang enak-enak oleh sang resi. Reksosuro juga membujuk dengan suara mengejek.
Mereka kini tiba di bawah pohon beringin yang agak gelap, suram muram. Tiba-tiba tubuh Darumuko terhuyung roboh, Sulastri yang tadinya dipondong terlepas dari pondongannya.
“Aduhh kakang…. tolong….. ssseee ssseeetan….! Darumuko merintih dan telunjuknya menuding kearah batang pohon beringin.
“Apa…? Heiiaduhhhh….!Kini Reksosuro juga terhuyung ke depan dan terjelengup. Kedua tangannya dapat menahan tanah sehingga mukanya tidak sampai bertemu dengan tanah seperti halnya Darumuko. Akan tetapi dia kaget sekali karena tahu bahwa jatuhnya bukan sembarangan, melainkan dijegal orang! Cepat dia meloncat berdiri dan membalikkan tubuh ke arah batang pohon beringin yang amat besar itu.
“Tolong kakang…. ada setan…! Kembali Darumuko merintih dan berusaha untuk bangkit akan tetapi dia mendekam kembali sambil menendang dengan tubuh gemetar ke arah bayangan hitam yang bersandar pohon beringin itu.
“Huh, adi, bangunlah! Setan apa? Dia seorang manusia yang sudah bosan hidup, berani mengganggu kita! kata Reksosuro.

Mendengar ucapan ini, seketika timbul semangat Darumuko dan lenyaplah rasa takut dan ngerinya tadi. Sungguh tadi dia menyangka bahwa bayangan hitam yang bersandar pada batang pohon beringin itu adalah setan yang mengganggunya. Akan tetapi kini mendengar ucapan temannya, dia menjadi marah sekali.
“Apa? Manusia…? Dia lalu meloncat berdiri dan mendekati temannya yang sudah melangkah maju.
Setelah rasa takutnya hilang, kini Darumuko dapat melihat bahwa memang bayangan hitam yang bersandar di batang pohon beringin itu adalah seorang manusia. Keadaanya tidaklah segelap ketika dia ketakutan tadi. Sinar bulan purnama masih menerangi tempat itu. Kini dia melihat jelas seorang kakek yang pakaiannya serba hitam duduk bersandar batang pohon sambil melenggut, kakinya yang panjang dilonjorkan di depan tubuhnya. Sulastri yang tadi terlepas dari pondongannya, kini sudah lari ke dekat orang tua yang tertidur itu, agaknya minta perlindungan kakek itu.
Sejenak dua orang perwira Mojopahit pembantu Resi Mahapati itu mengira bahwa lagi-lagi Ki Ageng Palandongan yang menghadang mereka, karena orang itu pun sudah tua dan di dalam cuaca yang suram muram itu pakaiannya seperti hitam. Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka terkejut, terheran dan marah bukan main. Orang itu hanyalah jembel! Seorang pengemis tua! Seorang jembel pengemis yang pakaiannya hanya merupakan gombal-gombalan saking kotornya sehingga kelihatan hitam, rambutnya gimbal panjang terurai dan tak pernah dicuci sehingga ruwet dan kotor, kumis dan jenggotnya menutupi bagian bawah mukanya. Pakaiannya yang kotor itu hanya merupakan sebuah baju yang tidak ada kancingnya lagi, terbuka memperlihatkan dadanya yang penuh rambut, dan sebuah celana komprang (besar) sampai ke lutut, kemudian di pinggangnya dilibat kain yang kumal. Dari tempat mereka berdiri pun, dalam jarak dua meter, sudah tercium bau apak, bau pakaian yang sering terkena keringat dan tak pernah dicuci. Seorang jembel!
“Sialan! Jembel busuk! Darumuko yang tadi ketakutan setengah mati, menjadi marah dan mendongkol sekali bahwa yang membuatnya ketakutan sampai celananya basah sedikit karena tadi dalam takutnya tanpa disadarinya lagi dia “ngompol”, kini menjadi “berani luar biasa dan ia menyepak paha orang tua itu!
“Jembel tua bangka busuk! Berani kau menjegal kakiku? Kakinya menyepak.
“Plak!”dan tubuh orang itu terguncang, akan tetapi tetap saja dia masih tidur.
“He, kere tua mau mampus! Bangunlah! Reksosuro juga membentak, kakinya mencongkel sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu melayang ke arah dahi kakek itu.
“Tukkk! batu mengenai dahi dan menggelinding ke bawah. Akan tetapi tetap saja kakek itu tidak bangun!
Melihat ini, Sulastri lalu mengguncang pundak orang tua itu dan berbisik di
telinganya,
“Kakek, bangunlah. Dua orang jahat ini akan mencelakakan engkau dan aku. Bangunlah, kek!”

Kakek jembel itu membuka mata sedikit, dikejap-kejapkan dan menggeliat, kedua tangannya direntangkan ke depan dan terdengar suara berkerotokan pada punggungnya seolah-olah semua tulang punggungnya patah-patah. Sulastri terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, lalu membuka matanya dan memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya, lalu menoleh kearah Sulastri, mulutnya yang tertutup kumis itu bergerak-gerak yang dapat diduga bahwa dia tersenyum! Sejenak matanya memandangi tiga orang itu bergantian, kemudian terdengar ada suara keluar dari balik kumis brewok itu,
“Ela-dhalah.. demi segala setan demit iblis bekasakan yang menjaga hutan ini! Dari mana datangnya dua ekor serigala dan seekor anak harimau ini?”
Jelas bahwa kakek jembel itu menganggap dua orang perwira Mojopahit itu dua ekor serigala, dan Sulastri disebutnya anak harimau. Itu merupakan hinaan yang amat hebat bagi Reksosuro dan Darumuko!
“Tua bangka bau busuk! Kami adalah dua orang perwira Mojopahit, tahu? Dan kau berani menganggap kamu serigala? Berapa rangkap sih nyawamu maka kau berani berlancang mulut seperti ini? bentak Reksosuro.
“Gebuk mampus saja sudah, kakang! kata Darumuko.
Kakek itu memandang kedua orang itu dan terkekeh dalam.
“Heh-heh, aku melihat orang bukan dari pakaian atau pangkatnya, melainkan dari sifat-sifatnya. Lihat anak perempuan ini, biar pun masih kecil dan perempuan, dia mempunyai sifat seperti seekor harimau, calon harimau betina yang ganas dan tangkas! Dan kalian.. hemm kalian seperti serigala, licik dan hanya berani kalau sudah yakin menang, sebetulnya di dalamnya penakut. Srigala hanya akan menyerang binatang lain yang lebih lemah, atau kalau menyerang yang kuat tentu dengan keroyokan. Nah, itulah sifat kalian.”
Tentu saja Reksosuro dan Darumuko menjadi marah bukan main. Jembel tua itu terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, telah menghina mereka! Seorang kere tua berani menghina mereka, dua orang perwira Mojopahit? Sungguh sialan!
“Dan engkau adalah calon bangkai yang sudah membusuk! Darumuko memaki.
“Hayo katakan, apa perlumu menghadang kami dan menjegal kaki kami?”
“Wah, wah, siapa yang menjegal siapa? Tidak ada jegal-jegalan disini seperti  yang terjadi di Mojopahit! Di sini hanya ada aku yang tidak membutuhkan apa-apa, perlu apa menjegal orang?”
“Kakek hina! Jelas kau tadi menjegal kami! Reksosuro juga membentak, agak hati-hati karena dia dapat menduga bahwa mendengar bicaranya, kakek jembel itu tentulah bukan sembarangan orang.
“Nah, nah fitnah-memfitnah sudah menjadi watak semua orang di Mojopahit! Jangan dibawa-bawa ke sini, kisanak! Tadi aku sedang tidur di sini, enak-enak mimpi bercengkerama dengan para iblis bekasakan yang berpesta pora di hutan ini, eh, tahu-tahu kalian menginjak-injak kakiku dan bilang bahwa aku menjegal kalian. Mojopahit sekarangkah ini?”
Mendengar ucapan yang makin tidak karuan itu, Darumuko berkata,
“Kakang, dia tentu orang gila!”
Kakek itu cepat membantah,
“Nah, sudah biasa orang gila memaki orang lain gila!”
“Apa? Darmuko melotot.
“Kau memaki aku gila?”
“Bukan aku yang memaki, orang muda, melainkan engkau sendiri!”
“Kakek, dia itu memang orang ceriwis, suka memaki orang, lihat bibirnya sampai menjadi tebal karena terlalu sering memaki orang! Tiba-tiba Sulastri berkata, terbawa gembira oleh sikap kakek itu yang tabah dan seolah-olah menggoda dua orang itu.
“Ha-ha-ha-ha! Kau benar ha-ha-ha! Bibirnya…. ahhh, sampai menggandul begitu panjang. Aduh lucunya…! Kakek itu terbahak-bahak dan memegangi perutnya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Darumuko. Selama hidupnya, belum pernah dia dihina orang seperti ini.
“Kere busuk, kuhancurkan isi perutmu! Sambil membentak demikian, dia menerjang maju dan mengayun kaki kanannya, menendang dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah perut kakek itu yang masih tertawa dan perutnya kelihatan karena bajunya terbuka. Perut yang agak gendut biar pun tubuhnya kurus itu tak terhindarkan lagi menerima tendangan kilat yang amat kuat.
“Bukkk!” Sungguh aneh sekali. Sulastri yang melihat dengan mata terbelalak mengkhawatirkan keselamatan kakek itu melihat betapa wajah Darumuko berobah, sedangkan kakek itu tetap saja masih tertawa. Darumuko menyeringai, kemudian roboh terpelanting ke atas tanah dan menjerit-jerit, mengaduh-aduh memegangi
perutnya.
“Aughh waduh perutku aduhhh, mulas sekali aih, tak kuat aku... Dia menekan perutnya dengan kedua tangan, menggeliat-geliat seperti dalam sekarat, dan segera terdengar suara memberobot dan Darumuko cepat-cepat membuka tali kolor celananya dan melepaskan celana itu. Tercium bau yang amat tidak sedap dan begitu dia mengerti apa yang terjadi dengan orang yang dibencinya itu, Sulastri membuang muka dan mengomel,
“Huh, manusia tak tahu malu! Kiranya Darumuko yang diserang perut mulas dan sakit tak tertahankan itu, tanpa dapat dicegahnya lagi telah terberak-berak disitu!

Diam-diam Sulastri kagum sekali dan anak yang cerdas ini mengerti bahwa kakek jembel itu adalah ternyata adalah seorang manusia sakti. Dia duduk dekat kakek itu dan tadi dia melihat betapa ketika kakek itu ditendang perutnya, kakek itu tidak mengelak akan tetapi dia melihat tangan kiri kakek itu bergerak naik ke arah perut orang yang menendangnya. Tendangan yang amat hebat itu mengenai perut si kakek, akan tetapi kakek itu tetap tertawa dan sebaliknya Darumuko yang kena “diraba perutnya itu sampai terberak-berak!
Melihat hal kawannya ini, tentu saja Reksosuro menjadi malu dan marah sekali.
Dia makin yakin bahwa kakek jembel ini tentu bukan orang sembarangan, maka dia lalu cepat mencabut kerisnya, keris pusaka yang dibangga-banggakan, yang dinamakan Kyai Bandot karena selalu dilumuri bisa ular Bandotan.
“Kere busuk, rasakan pusakaku Kyai Bandot ini!”
Reksosuro menerjang ke depan, menghunjamkan kerisnya yang panjang berluk sembilan itu kearah dada kakek yang telanjang.
Kakek itu tertawa geli.
“Kyai Bandot? Ha-ha-ha memang bandot tua tak tahu malu…!”
“Cuss…! Keris itu tepat mengenai dadanya, akan tetapi Reksosuro memekik kesakitan, kerisnya terlepas dan dia terhuyung mundur memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Tangan kanannya itu nyeri sekali dan sudah membengkak, agaknya salah urat, kiut-miut rasanya membuat Reksosuro menggigil dan peluhnya memenuhi mukanya, sebesar-besar jagung! Dia menusukkan kerisnya ke dada orang, dan orang itu tidak mengelak tidak menangkis, akan tetapi tangannya sendiri malah keseleo (salah urat) dan bengkak-bengkak!
“Ha-ha-ha, Kyai Bandot tua ha-ha…! Kakek jembel itu mengambil keris Kyai Bandot yang tadi terlepas dari pegangan pemiliknya. Dadanya tidak luka sedikitpun juga, dan kini dengan jari-jari tangannya yang kurus kecil, dia menekuk-nekuk keris itu seolah-olah keris itu terbuat daripada tembaga atau timah lemas saja! Pemiliknya yang masih mengaduh-aduh itu terbelalak melihat kerisnya yang terbuat daripada baja tulen itu ditekuk-tekuk seperti itu, kemudian dilemparkan ke atas tanah.

Sulastri tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil keris yang sudah ditekuk-tekuk itu dan menghampiri dua orang yang masih merintih-rintih kesakitan.
“Sekarang kalian mampus… anak itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
“Heiii pengecut….! Kakek itu berseru tangannya bergerak ke depan dan Sulastri terjungkal! Anak itu bangkit lagi, meraih keris, akan tetapi untuk ke dua kalinya dia terjungkal dan kini dia memandang ke arah kakek itu.
“Kau mau apa? Mau jadi pengecut? Huh, aku yang mengalahkan mereka, bukan kau, tahu? Kalau kau yang mengalahkan mereka, boleh saja kau mau melakukan apa yang kau suka!”
Sulastri menjadi merah mukanya. Dia dapat mengerti dan dia lalu mengangguk.
“Maaf, eyang!”
Sementara itu, Reksosuro mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti sekali. Cepat dia menyambar kerisnya dengan tangan kiri, kemudian dia berkata kepada temannya, “Adi Darumuko cepat lari…! Dan dia mendahului sambil memegangi tangan kananya yang ketika dipakai lari dan bergerak, nyerinya bukan alang kepalang.
“Kakang tungguuu…! Darumuko cepat meloncat dan tergopoh-gopoh lari. “Kakooang.. tungguuuu...!”
Kakek itu melihat tahi kotoran yang ditinggalkan Darumuko, mengendus jijik, lalu menggunakan sehelai daun mengambil kotoran itu dengan tangan kirinya dan dia berteriak kepada Darumuko,
“Heii bibir tebal ini milikmu ketinggalan!”
“Ehh? Milik apa…? Otomatis Darumuko menengok ke arah kakek itu dan pada saat itu sebuah benda menyambar ke arah mukanya. Dia berusaha mengelak namun kurang cepat.
“Plokk..!! Kotorannya sendiri mengenai muka, memasuki mulut dan hidungnya.
“Uaakkk…huekkk…kakooaanngg…hueekkk, tunggu… Darumuko lari pontang-panting seperti dikejar setan, kadang-kadang muntah-muntah, mengejar kawannya, diikuti suara ketawa, kini terdengar dua suara ketawa, yaitu suara ketawa yang parau dan dalam dari kakek jembel dan suara ketawa nyaring tinggi dari Sulastri. Baru sekarang terdengar suara ketawa anak itu.

Tak lama kemudian, tiba-tiba suara ketawa kakek itu berhenti. Sulastri juga berhenti tertawa. Anak itu masih duduk di atas tanah, dan kakek itu masih duduk bersandar batang pohon beringin seperti tadi. Keduanya saling pandang sampai lama sekali, sinar mereka menembus kesuraman dan akhirnya kakek itu berkata,
“Matamu seperti mata harimau!”
“Dan matamu seperti mata setan!”
“Uhh! Kakek itu senang. “Benarkah?”
“Benar, eyang menyeramkan, tajam berpengaruh dan aneh!”
“Hemm, eh siapa namamu?”
“Sulastri.”
“Bagus! Nah, Sulastri, lekas kau angkat kaki dan pergi dari sini!”
Anak itu mengangkat muka, memandang kakek itu dan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, suaranya tegas,
“Tidak, aku tidak mau pergi, eyang.”
“Heh, kenapa?”
“Karena aku mau turut eyang saja.”
“Aku bukan eyangmu.”
“Akan tetapi aku menganggapmu eyang guruku.”
“Wah, eyang guru? Kau mengangkat aku menjadi guru?”
Sulastri mengangguk.
“Gila! Aku orang miskin dan bodoh, kau mau belajar apa dari orang macam aku?”
“Belajar ilmu kesaktian, eyang.”
“Ilmu kesaktian? Ha-ha-ha, kau kira mudah?”
“Kesukaran apa pun akan kutempuh, dan semua perintah eyang akan kulakukan.”

Kakek itu memandang dengan alis berkerut.
“Anak luar biasa kau ini. Siapa sih orang tuamu dan kenapa kau tadi dibawa mereka?”
“Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda, sudah tidak mempunyai sanak keluarga. Aku seorang yatim piatu yang sebatangkara, eyang. Keluargaku menjadi korban orang-orang jahat itu. Untung ada eyang yang menolongku, dan aku ingin belajar kesaktian dari eyang agar kelak aku dapat membasmi orang-orang macam mereka tadi.”

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 08

No comments:

Post a Comment