Thursday, April 2, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 09



“Tidak, tidak…eyang, harap eyang suka menolong ibu dan mbakayuku…! Biar aku nanti saja, yang perlu adalah mereka…! Sutejo berteriak pula dan melepaskan tangannya.
Kakek itu tersenyum dan memandang dengan sinar matanya yang halus.
“Ibu dan kakakmu tak dapat ditolong lagi, kulup dan aku datang sengaja untuk menyelamatkanmu. Marilah…! Kakek itu memegang tangan Sutejo dan anak ini tidak jadi membantah karena dia sudah terkejut dan ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meluncur dengan amat cepatnya menerjang api! Dia hanya merasakan hawa panas menyambar, akan tetapi tahu-tahu dia telah berada di luar rumah, kemudian dengan cepat sekali tubuhnya terasa dibawa meluncur oleh kakek itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan rumahnya yang masih terbakar dan menyala-nyala dengan dahsyatnya.
“Eyang lepaskan aku aku ingin menolong ibu dan mbakayu..! Suteko berteriak-teriak dan meronta-ronta.
Mereka telah tiba di sebuah hutan. Rumah terbakar itu sudah tidak tampak lagi dan  kakek itu terhenti, lalu mengelus kepala Sutejo. Elusan ini demikian mesra, demikian  halus sehingga seolah mendatangkan kesejukan luar biasa ke dalam kepala Sutejo,  membuat anak itu menjadi tenang dan tidak meronta lagi.
“kehendak Hyang Widhi Wisesa tak mungkin dirobah oleh siapa pun juga, angger. Ibumu telah tewas atas kehendak Hyang Widhi melalui kekuasaan Hyang agni (Dewa Api).“
“Ibuuuu…!! Sutejo menutupi mukanya, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis.
“Tidak perlu dan tidak ada gunanya lagi ditangisi, kulup. Ibumu sudah sempurna dan terbebas dari penderitaan.“
“Akan tetapi…bagaimana ibu bisa tewas dan dan bagaimana pula rumah itu bisa terbakar, eyang…! Sutejo bertanya dengan hati penasaran.
Kakek itu menarik napas panjang.
“Kelak akan tiba saatnya engkau mengetahui sendiri, angger, sekarang bukan waktunya engkau mengetahui hal itu.“
“Akan tetapi…mbakayu Lestari…di mana dia dia eyang? Apakah dia juga ter bakar…?
Kakek itu menggeleng kepala
“Hanya ibumu yang tewas, dan tentang kakakmu kelak engkau dapat mencarinya sendiri. Sekarang sebaiknya engkau ikut bersamaku ke tempat pertapaanku, angger. Hanya inilah jalan satu-satunya yang kulihat agar engkau dapat menyelamatkan diri dari pengejaran panewu Progodigdoyo.“
“Si keparat itu! Si jahanam itu! Tentu dia yang telah membakar rumah kami! tiba-tiba Sutejo bangkit berdiri dan mengepal tinjunya, matanya mengeluarkan sinar seolah-olah berapi-api.
“Eyang aku akan kembali ke sana, aku akan mencari panewu keparat itu, aku… Sutejo lalu mencabut keris yangterselip di pinggangnya, kemudian hendak lari pergi.
Kakek itu memegang lengannya dan berkata halus,
“Angger, apakah dayamu terhadap seorang seperti panewu itu? Engkau masih kecil dan dia adalah seorang panewu yang selain digdaya, juga mempunyai banyak anak buah, dia adalah kepercayaan Sang Adipati Ronggo Lawe. Apakah kau hendak mengantar nyawa dan menentangnya? Itu bukan perbuatan gagah berani namanya, melainkan suatu kebodohan dan kesombongan belaka, berarti engkau akan membunuh diri.“

Ucapan yang halus ini menyadarkan anak yang baru berusia sepuluh tahun itu dan tiba-tiba Sutejo menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis.
Kakek itu membiarkan saja Sutejo menangis, hanya mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang.
“Eyang…kumohon kepada eyang…sukalah eyang membantunya untuk membalaskan kematian ibu, untuk membalas kepada Progodigdoyo!“
“Oho, bocah bagus…permintaanmu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku dapat membunuh seorang manusia lain, biar pun manusia itu sejahat Progodigdoyo sekalipun? Tidak, angger, seorang seperti aku tidak mungkin mau membunuh…!“
Sutejo sudah sering kali mendengar dongeng ibunya tentang orang-orang sakti dan orang-orang yang hidupnya mengasingkan diri, bertapa dan tidak mau mencampuri urusan perang dan bunuh membunuh. Kata ibunya, mendiang ayahnya dahulupun seorang murid dari pertapa sakti seperti itu. Maka dia teringat akan cerita ibunya dan dia lalu menyembah.
“Kalau begitu, eyang, saya mohon sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang…“
“Ho-ho, bocah bagus, tanpa kau minta sekali pun engkau memang telah menjadi cucu muridku, angger.“
Sutejo terkejut dan cepat dia menengadah, memandang wajah yang sudah amat tua dan yang tersenyum ramah dan mata itu memandang mesra.
“Kalau begitu…akahan eyang ini…eyang Penembahan Ciptaning seperti yang sering diceritakan oleh ibu…?“
Kakek itu mengangguk ramah.
“benar, cucuku. Aku telah mendengar akan kematian ayahmu…“
“Keparat Progodigdoyo…“
“Sttt…, tidak bijaksana menanam kebencian cucuku.“
“Akan tetapi dia manusia jahat, eyang! membunuh ayah dengan curang, kemudian dia menghina ibu dan…tentu dia pula yang menyebabkan kematian ibu, dan mbakayuku…“
“Seorang ksatria bertindak bukan untuk kepentingan diri pribadi, angger! Kalau engkau kelak menghadapi Progodigdoyo karena kebencianmu kepadanya disebabkan dendam pribadi, maka engkau berbeda banyak dari Progodigdoyo sendiri! Akan tetapi seorang kstaria akan menghadapi dan menentang bulu, dan tanpa membedakan apakah dia itu Pegodigdoyo ataukah keluargamu sendiri sekali pun. Yang jahat haruslah ditentang itu diingatkan, angger.“
Sutejo tidak berani membantah. Dia maklum bahwa eyang gurunya ini adalah seorang yang guntur tapa, seorang yang memiliki kesaktian hebat disamping juga seorang yang berbudi dan tidak mau mencampuri urusan duniawi yang serba ruwet oleh tingkah laku manusia. Maka dia yang merasa bodoh tidak berani lancang membantah, melainkan dengan masih berlutut dia berkata,
“Eyang, saya mohon petunjuk.“

Tanpa disadari oleh Sutejo, fajar telah menyingsing dan sinar matahari pagi kemerahan membakar langit di ufuk timur. Sang panembahan memandang ke angkasa di sebelah timur dan dia sejenak takjub akan keindahan pemandangan itu. Langit yang terbakar merah itu menciptakan penglihatan yang sukar dituturkan dengan kata-kata, awan-awan yang beraneka warna, ada warna merah tang bermacam-macam, warna biru yang bermacam-macam bercampur warna kuning yang bermacam-macam pula, diselang-seling sinar keemasan, semua itu begitu indah, membuat setiap kelompok awan menciptakan bentuk-bentuk yang amat laur biasa, keindahan yang hening, keindahan yang baru, keindahan yang merepesap kedalam jiwa dan pada saat itu sang begawan sudah kehilangan dirinya, si aku yang menjadi sumber segala macam kemaksiatan dan kesengsaraan serta permusuhan. Dia seolah-olah merasa menjadi satu dengan semua keindahan itu, dari keindahan sinar lembayung dan keemasan di angkasa, sampai keindahan ujung rumput yang terhias mutiara embun berkilauan tersenyum cantiknya.
Kemudian kembali dia menarik napas-napas kelegaan yang memasukkan hawa murni di dalam tubuhnya, dan dia menunduk, memandang kepala cucu muridnya sambil berkata lirih,
“tengoklah ke angkasa timur, cucuku. Lihat, setiap pagi matahari muncul dan mulai hidup baru. Engkaupun harus demikian, cucuku. Tinggalkan semua kenangan lalu, semua itu telah mati dan tiada gunanya mempertahankan yang mati. yang kemarin sudah mati. sekarang inilah hidup.“

Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja tidak dapat menangkap arti dari wejangan yang sederhana namun mengandung arti amat mendalam itu. Sang panembahan lalu berkata lagi,
“Bangkitlah, mari kita duduk di atas batu itu, mengaso dulu karena keindahan seperti ini jarang kita temui angger, maka sudah selayaknya jika kita menikmatinya,“
Sutejo bangkit dan bersama kakek gurunya dia lalu duduk diatas sebongkah batu, berhadapan dengan kakek itu.
“Kesempatan ini akan kupergunakan untuk mendongeng kepadamu, angger, tentang
Sang Prabu Yudistira, atau yang juga biasa disebut dengan nama Samiaji, raja dari Ngamarta, dan yang sulung diantara lima saudara Pendawa Lima.“ Pertapa tua itu lalu mendongengkan tokoh pewayangan yang amat terkenal itu, didengarkan oleh Sutejo dengan penuh perhatian. Beginilah dongeng yang mengandung arti amat baik itu.

Pada suatu hari Yudistira melihat empat orang adik-adiknya telah tewas di tepi sebuah sumber air, mati setelah minum air beracum itu. Tentu saja Yudistira berduka sekali, dan tiba-tiba dia mendengar suara tanpa rupa, yaitu suara setan penjaga mata air atau sumber air itu.
“Heh, Yudistira, aku akan menghidupkan lagi seorang di antara saudara-saudaramu ini jika engkau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan tepat.“
Yudistira dengan tenang menjawab,
“Ajukanlah pertanyaanmu, Yakso (sebutan untuk bangsa raksasa atau setan), aku akan mencoba untuk menjawabnya.“
“Apakah yang lebih berat daripada bumi? Apakah yang lebih tinggi daripada langit? Apakah yang lebih cepat daripada angin? Apakah yang lebih baik daripada binatang?“
“Ibu lebih berat daripada bumi. Ayah lebih tinggi daripada langit. Jiwa lebih cepat daripada angin. Pikiran lebih baik daripada binatang. “Jawab Yudistira tanpa berpikir lagi karena jawaban-jawabannya bukanlah berdasarkan hasil pemikiran, melainkan merupakan jawaban langsung karena melihat kenyataan.
“Siapakah teman terbaik dalam perjalanan? Siapakah teman terbaik di dalam rumah? Siapakah teman terbaik di waktu sakit? Siapakah teman terbaik di waktu mati?“
“Kafilah adalah teman terbaik dalam perjalanan. Isteri adalah teman terbaik di dalam rumah. Tabib adalah teman terbaik di waktu sakit, dan kedermawaan adalah teman terbaik di waktu mati.“
“Musuh apa yang paling sukar dikalahkan? Penyakit apa yang sukar disembuhkan? Orang apakah yang disebut baik? Orang apa pula yang disebut tidak baik?“
“Wahai, raja yang arif bijaksana! Apakah yang dinamakan buta? Apakah yang artinya sombong? Apakah yang dimaksudkan dengan terlambat? Dan apa pula penderitaan itu?“
“Yang sesungguhnya bisa adalah buta akhlak. Kecongkaan merasa diri pandai adalah yang dinamakan orang sombong. Tidak mengenal diri saat ini juga adalah suatu keterlambatan, dan kebodohan adalah penderitaan yang paling besar.“
“Apakah yang disebut ketetapan hati? Apakah keberanian itu? Apakah kedermawaan itu? Dan apakah sebenarnya yang dinamakan seorang Brahmana sejati?“
“Pelaksanaan kebenaran dalam hidup adalah ketetapan hati. Menyadari keburukan diri pribadi lahir batin adalah kedermawaan sesungguhnya. Dan pertanyaanmu yang terakhir itu memerlukan jawaban yang agak panjang, Yakso.“
“Duhai, sang raja yang budiman, jawablah dan hamba akan mendengarkan! Suara yang tanpa rupa itu terdengar menggetar.
“Brahmana yang sejati bukan terletak dalam keturunan atau asal usulnya, bukan pula karena dia pandai membaca kitab-kitab Weda, bukan pula karena kepandaiannya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya. Brahmana sejati adalah yang mengutamakan hidup hidup dalam kebenaran, yaitu kebaiakan. Selama hidupnya belum bercacat, dan dia tidak akan bercacat pula. Orang yang tidak dapat melenyapkan hawa nafsu sendiri, biar pun dia mengaku seorang yang cerdik pandai, sesungguhnya dia hanyalah seorang gila dan sama sekali tidak patut disebut seorang Brahmana sejati. Dia tidak pantas disebut Brahmana biar pun dia hafal akan isi semua kitab Weda utama yang empat jumlahnya, hafal diluar kepala, apabila munafik dan bertindak durjana di dalam hidupnya, dan orang begini derajatnya tidak lebih tinggi daripada seorang sudra! Dia yang bersih lahir batinnya, batinnya selalu hening dan lahirnya selalu mengatasi nafsu-nafsunya, dialah Brahmana sejati, Yakso!“

Mendengar semua jawaban ini, sang Yakso menjadi kagum dan tunduk, maka diberilah kesempatan kepada Yudistra untuk memilih siapa di antara saudaranya yang harus dihidupkan kembali.
Saudara kandung Yudistra adalah Bima dan Arjuna. Sedangkan yang dua lagi, Nakula dan sadewa adalah saudara tiri, satu ayah lain ibu. Kalau menurutkan kepentingan diri aku pribadi, sudah tentu dia akan memilih seorang di antara adik kandungnya. Akan tetapi Yudistira adalah seorang manusia yang sudah tipis atau bersih dari cengkaraman keaku-annya. Dia lebih mementingkan keadilan daripada kesenangan pribadi, maka yang dipilihnya adalah seorang di antara dua orang adik tirinya!
Sang Yakso mengerti akan isi hati Yudistira, maka dia menjadi makin kagum dan tunduk, dan dihidupkan keempat adiknya yang telah mati keracunan itu!
“Demikianlah, Sutejo, cucuku. Kebijaksanaan selalu akan menghasilkan kembang dan buah yang baik. Sang panembahan mengakhiri ceritanya.
“Oleh karena itu, didalam kehidupanmu, jangan engkau dibuai oleh cita-cita, oleh harapan-harapan, oleh tujuan-tujuan. Semua itu adalah kosong, hampa dan khayali belaka. Yang lebih penting adalah cara hidup, sepak terjangmu dalam hidup, pada saat ini, pada hari ini, pada setiap detik. Kalau caranya benar, maka akhirnya pun tentu benar! Sebaliknya, kalau engkau selalu mementingkan tujuan, banyak kemungkinan engkau akan tersesat mengambil jalan yang keliru, mengambil cara yang sesat, angger. Tujuan atau cita-cita dapat membutakan matamu sehingga engkau tidak melihat lagi bahwa cara yang kau tempuh adalah jahat dan sesat, matamu akan buta dan silau oleh cita-cita yang kelihatannya amat menarik dan indah.“

Sutejo mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat semua itu di dalam benaknya. Dia masih terlalu kecil untuk menangkap semua inti sari wajangan itu, namun nalurinya membisikkan dia sehingga membuka kesadarannya, menambah kewaspadaannya.
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan lapat-lapat terdengar suara orang berkata,
“Agaknya dia lari ke sini. Kawan-kawan hayo kita kejar dan cari sampai dapat, kalau tidak gusti panewu tentu akan marah.“
“Heran sekali, rumah itu terbakar habis, mengapa anak itu dapat menghilang? Jangan-jangan dia sudah menjadi abu!“
“Mana mungkin! Tulang-tulang ibunya yang hangus masih dapat dikenal, tak mungkin dia habis sama sekali. Tentu dia dapat melarikan diri, atau ada orang yang menolongnya!“
Mendengar ini, Sutejo terkejut dan cepat dia meloncat turun dari atas batu, kedua  tangan dikepal. Dia sama sekali tidak takut, hanya mengkhawatirkan keselamatan….  Kakek gurunya!
Eyang, harap eyang bersembunyi…, kalau ketahuan eyang  menolong  saya, tentu eyang akan celaka. Mereka itu orang-orangnya Panewu Progodigdoyo!“
Kakek itu tersenyum dan menggandeng tangan Sutejo.
“Tenanglah, angger. Tenanglah dan mari kau ikut denganku pergi dari sini.“
Sutejo menurut dan sekarang barulah ia teringat bahwa kakek gurunya adalah seorang sakti! Kakek gurunya itu membawa berjalan menuju ke arah suara orang-orang itu! Jantung di dalam dada Sutejo tergetar dan berdebar keras saking tegangnya. Dia hanya mendengar eyangnya itu berkemak-kemik dan terengar suara bisikannya berulang kali,
“Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam….!!“

Kini mereka berpapasan dengan sepasukan perajurit Tuban yang terdiri dari dua losin orang. Mereka itu mencari ke sana-sini, menengok ke kanan kiri, akan tetapi sungguh aneh, mereka itu membiarkan kakek itu dan Sutejo lewat di depan mereka seolah-olah mereka tidak melihat kakek itu, atau andai kata melihat juga, seolah-olah mereka itu menganggap sudah semestinya kakek dan bocah itu lewat di situ, tanpa mereka ganggu sedikit pun.
Tentu saja Sutejo menjadi terheran-heran dan makin kagum kepada kakek itu, karena dia mengerti bahwa eyangnya itu telah mempergunakan aji kesaktiannya sehingga para perajurit Tuban itu tidak dapat melihat dia dan eyangnya yang lewat begitu dekat dengan mereka.
Setelah jauh Sutejo bertanya,
“Eyang, apakah artinya ucapan eyang tadi? Saya sudah hafal eyang! Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam!“
“Itu hanyalah mantera sebagai doa untuk mohon keselamatan, angger. Akan tetapi jangan mengira bahwa setiap orang akan dapat memanfaatkan mantera ini, karena mantera apa pun juga di dunia ini hanya berguna dan menjadi sakti bagi orang-orang yang telah menghayati kebenaran di dalam hidupnya. Kalau setiap saat, setiap kata-kata ucapan, setiap pikiran, dan setiap perbuatan selalu berlandaskan kebenaran, maka kesaktian telah berada di dalam dirinya angger.“
Demikianlah, mulai hari ini, Sutejo diajak oleh eyang gurunya, yaitu Panembahan Ciptaning, pergi ke lereng Gunung Kawi, selain untuk menghindarkan pengejaran Panewu Progodigdoyo, juga untuk mempelajari ilmu kesaktian dan hidup sebagai seorang petani di lereng pegunungan yang hawanya dingin sejuk dan udaranya bersih itu.

Dara itu menangis sesenggukan dengan hati pilu di dalam kamar yang indah itu. Cuping hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang bening sampai menjadi merah karena banyak menangis. Dia menelungkup di atas pembaringan, tidak menghiraukan dan bujukan dua orang emban (pelayan) yang berlutut di depan pebaringan.
“Sudahlah, den roro tiada gunanya lagi menangis setiap hari berduka saja sampai tubuh paduka menjadi kurus…. kata emban yang hidungnya pesek.
“Diamlah, gusti, diamlah, nanti hanya akan membikin marah gusti panewu saja. Beliau amat mencintai paduka…, lihat ini, hamba disuruh memberikan pakaian yang serba indah dan baru… kata emban ke dua yang mulutnya lebar.
dan ini hamba sudah menyediakan makanan dan buah-buahan untuk paduk, sela si hidung pesek.
Akan tetapi dara remaja itu menggeleng-geleng kepala, bahkan ketika pakaian baru itu ditumpuk di dekatnya, dia lalu mengibaskan tangan sehingga tumpukan pakaian itu berantakan ke atas lantai.
“Eihh-eihhm bagaimana ini? Sayang, den roro, pakaian mahal dan bagus…! Si hidung pesek mengambil pakaian itu.

Dara itu bengkit duduk. Mukanya pucat dan agak kurus, akan tetapi tidak menyembunyikan wajahnya yang cantik jelita. Bahkan tambutnya dan pakaiannya yang kusut itu membuat kecantikannya makin aseli dan menonjol. Hidungnya yang kecil mancung menjadi merah ujungnya, matanya yang bening dan bersinar tajam itu sampai agak membengkak karena terlalu banyak menangis, kulitnya putih kuning dan kedua lengannya padat dan mulus. Seorang perawan yang cantik. Dia ini bukan lain adalah Lestari, puteri janda Galuhsari yang dilarikan oleh Panewu Progosigdoyo dan dikeram di dalam sebuah kamar di gedungnya. Kamar itu dijaga ketat oleh sepasukan pengawalnya dan selain dara remaja itu tidak diperkenankan keluar dan seperti orang hukuman dikurung di dalam keputren itu, juga tidak ada seorang pun boleh memasuki tempat ini kecuali dua orang emban itu yang memang ditugaskan untuk membujuk perawan itu.
Namun Lestari tetap menolak cinta kasih Panewu Progodigdoyo yang amat dibencinya. Biar pun dia belum diganggu oleh panewu itu yang sibuk menghadapi perang dengan Mojopahit, dan biar pun dia dilayani dengan penuh keramahan oleh para emban, tetap saja lestrai merasa berduka dan setiap hari hanya menangis. Betapa hatinya akan hancur kalau dia mengingat ibunya dan adiknya? Mereka mati terbakar! Dan bukan itu saja! yang membuat dara ini kadang-kadang seperti ingin menjerit-jerit ketakutan adalah kalau di mengenangkan betapa sebelum kebakaran rumah ibunya, dia diharuskan melihat ibunya digagahi oleh panewu itu, digumuli dan diperkosa di atas pembaringan, di depan matanya! Betapa dia melihat ibunya bercucuran air mata, menggigit-gigit bibir menahan penghinaan itu demi untuk mempertahankan kehormatan puterinya! Teringat dan membayangkan ini semua, Lestari mengalami guncangan batin yang hebat dan ketika dia menutupi mulutnya untuk menahan mulutnya menjerit-jerit, dia mengangguk, kemudian duduk termenung seperti orang kehilangan semangat.

Setelah perang terjadi dan Tuban dikalahkan oleh Mojopahit, seperti telah diceritakan di bagian depan, Panewu Progodigdoyo yang pandai bermuka-muka dan pandai menjilat-jilat itu melaporkan kepada para pembesar di Mojopahit betapa dialah orangnya yang selalu berusaha untuk mencengah pemberontakan Ronggo Lawe. Kemudian dia pulalah yang memerintahkan semua pasukan Tuban untuk tunduk dan takluk, agar tidak melanjutkan perlawanannya terhadap Mojopahit.
Dalam usahanya mencari muka dan menjilat ini, dia memperoleh bantuan banyak dari Sang Resi Mahapati! Mengapa demikian? Hal itu tidaklah aneh karena sesungguhnya Sang Resi Mahapati yang menjadi seorang pembesar di istana Mojopahit itu masih terhitung paman gurunya sendiri. Panewu Progodigdoyo adalah murid Empu Tanjungpetak, seorang empu yang digdaya di pertapaan atau pesanggrahan Tanjungpetak di pantai Laut Jawa, tak jauh dari Tuban. Ada pun Empu Tanjungpetak ini adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati.
Progodigdoyo juga maklum akan cita-cita sang resi di istana Mojopahit itu, maka di  antara keponakan dan paman guru ini terjalinlah kerja sama yang baik, maka tidaklah mengherankan kalau Resi Mahapati membantu murid keponakannya ini sehingga di dalam penumpasan pemberontakan Ronggo Lawe, Progodigdoyo dianggap “berjasa“, bahkan dia lalu memperoleh kepercaaan untuk sementara menjabat “adipati di Tuban, menggantikan kedudukan Ronggo Lawe sementara Tuban kosong dari seorang pejabat.
Dapat dibayangkan betapa besar kepala bekas panewu ini! Dia masih bersikap hormat kepada keluarga Ronggo Lawe, apa lagi kepada Aryo Wirorojo yang dia tahu merupakan seorang terhormat dan berpengaruh di lingkungan istana Mojopahit. Terhadap mereka ini dia masih bersiap hormat sebagai seorang bekas pembantu Ronggo Lawe yang “setia“.

Memang demikianlah sifat-sifat manusia yang terlalu tebal sifat akunya. Demi kepentingan pribadi yang selalu haus mengejar kesenangan, dia tidak malu-malu untuk melakukan apa saja! Demi mencapai cita-citanya, cara apa pun akan ditempuhnya. Dan seperti yang sudah menjadi anggapan umum yang biar pun hampa dan salah namun sejak dahulu sampai kini manjadi semacam pegangan mutlak adalah bahwa kesenangan ialah kedudukan, kemuliaan, kehormatan atau nama, dan harta benda! Demi untuk mencapai tiga macam “kesenangan ini, seringkali manusia menjadi lebih kejam dan lebih ganas daripada binatang! Apa pun akan dilakukannya, dan semua cara ini, betapa pun kejamnya, dianggapnya benar karena semua itu dilakukan untuk mencapai cita-citanya ! Pemujaan cita-cita itu lalu hanya mementingkan si cita-cita, tanpa menghiraukan lagi cara yang ditempuhnya, karena cara itu hanya dianggap sebagai penyeberangan belaka. Padahal, bukan cita-citalah yang penting, melainkan cara itu sendiri! Cara inilah yang menentukan baik-buruknya, benar dan sesatnya. Cara ini pula yang menentukan akibat dan akhirnya. Di dalam benih yang ditanam itulah tercakup nilai buahnya kelak! Cara inilah yang penting, yang nyata yang harus kita perhatikan setiap saat agar tidak sampai menyeleweng!

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 10)

No comments:

Post a Comment