“Tidak, tidak…eyang, harap eyang suka menolong ibu dan mbakayuku…! Biar aku nanti saja, yang perlu adalah mereka…!“
Sutejo berteriak pula dan melepaskan
tangannya.
Kakek itu tersenyum
dan memandang dengan sinar matanya yang halus.
“Ibu dan kakakmu tak dapat ditolong lagi, kulup dan aku datang sengaja untuk menyelamatkanmu. Marilah…!“ Kakek itu memegang tangan Sutejo dan anak ini tidak
jadi membantah karena dia sudah terkejut dan ngeri ketika merasa betapa tubuhnya
meluncur dengan amat cepatnya menerjang api! Dia hanya merasakan hawa panas
menyambar, akan tetapi
tahu-tahu dia telah berada di luar rumah, kemudian dengan
cepat sekali tubuhnya terasa dibawa meluncur oleh kakek itu seperti terbang saja cepatnya
meninggalkan rumahnya yang masih terbakar dan menyala-nyala dengan
dahsyatnya.
“Eyang… lepaskan
aku… aku ingin menolong ibu dan mbakayu..!“ Suteko berteriak-teriak
dan meronta-ronta.
Mereka telah tiba di sebuah hutan. Rumah terbakar
itu sudah tidak tampak lagi dan kakek itu terhenti, lalu mengelus kepala Sutejo. Elusan ini demikian mesra,
demikian halus sehingga seolah mendatangkan kesejukan luar biasa ke dalam kepala
Sutejo, membuat anak itu menjadi tenang dan tidak meronta lagi.
“kehendak Hyang Widhi Wisesa tak mungkin dirobah oleh siapa pun juga, angger.
Ibumu telah tewas atas kehendak
Hyang Widhi melalui kekuasaan Hyang agni (Dewa
Api).“
“Ibuuuu…!!“ Sutejo menutupi mukanya, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis.
“Tidak perlu dan tidak ada gunanya
lagi ditangisi, kulup. Ibumu sudah sempurna
dan terbebas dari penderitaan.“
“Akan tetapi…bagaimana ibu bisa tewas dan… dan bagaimana pula rumah itu bisa terbakar,
eyang…!“ Sutejo bertanya dengan hati penasaran.
Kakek itu menarik napas panjang.
“Kelak akan tiba saatnya engkau mengetahui sendiri, angger,
sekarang bukan waktunya engkau mengetahui hal itu.“
“Akan tetapi…mbakayu Lestari…di mana dia dia eyang? Apakah dia juga ter… bakar…?
Kakek itu menggeleng kepala
“Hanya ibumu yang tewas, dan tentang kakakmu kelak
engkau dapat mencarinya sendiri. Sekarang sebaiknya engkau ikut bersamaku ke tempat pertapaanku, angger. Hanya inilah jalan satu-satunya yang kulihat agar engkau dapat menyelamatkan diri dari pengejaran panewu Progodigdoyo.“
“Si keparat itu! Si jahanam itu! Tentu dia yang telah membakar rumah kami!“ tiba-tiba
Sutejo bangkit
berdiri dan mengepal tinjunya, matanya mengeluarkan sinar seolah-olah
berapi-api.
“Eyang aku akan kembali ke sana, aku akan mencari panewu keparat itu, aku…“ Sutejo lalu mencabut
keris yangterselip di pinggangnya, kemudian hendak
lari pergi.
Kakek itu memegang lengannya dan berkata halus,
“Angger, apakah dayamu terhadap
seorang seperti
panewu itu? Engkau masih kecil dan dia adalah seorang panewu
yang selain digdaya, juga mempunyai banyak anak buah, dia adalah kepercayaan
Sang Adipati Ronggo
Lawe. Apakah kau hendak mengantar nyawa dan menentangnya?
Itu bukan perbuatan
gagah berani namanya, melainkan suatu kebodohan dan
kesombongan belaka,
berarti engkau akan membunuh diri.“
Ucapan yang halus ini menyadarkan anak yang baru berusia sepuluh tahun itu dan
tiba-tiba Sutejo menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis.
Kakek itu membiarkan saja Sutejo menangis, hanya mengangguk-angguk dan beberapa
kali menarik napas panjang.
“Eyang…kumohon kepada eyang…sukalah eyang membantunya untuk membalaskan kematian
ibu, untuk membalas kepada Progodigdoyo!“
“Oho, bocah bagus…permintaanmu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku dapat membunuh
seorang manusia lain, biar pun manusia itu sejahat Progodigdoyo
sekalipun? Tidak, angger, seorang seperti aku tidak mungkin mau membunuh…!“
Sutejo sudah sering kali mendengar
dongeng ibunya tentang orang-orang sakti dan
orang-orang yang hidupnya
mengasingkan diri, bertapa dan tidak mau mencampuri
urusan perang dan bunuh membunuh. Kata ibunya, mendiang ayahnya dahulupun
seorang murid dari pertapa sakti seperti itu. Maka dia teringat akan cerita
ibunya dan dia lalu menyembah.
“Kalau begitu, eyang, saya mohon sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang…“
“Ho-ho, bocah bagus,
tanpa kau minta sekali pun engkau memang telah menjadi cucu muridku,
angger.“
Sutejo terkejut
dan cepat dia menengadah, memandang wajah yang sudah amat tua dan yang tersenyum
ramah dan mata itu memandang mesra.
“Kalau begitu…akahan eyang ini…eyang
Penembahan Ciptaning seperti yang sering diceritakan oleh ibu…?“
Kakek itu mengangguk ramah.
“benar, cucuku.
Aku telah mendengar akan kematian
ayahmu…“
“Keparat Progodigdoyo…“
“Sttt…, tidak bijaksana menanam kebencian cucuku.“
“Akan tetapi dia manusia jahat, eyang! membunuh ayah dengan curang, kemudian dia menghina
ibu dan…tentu dia pula yang menyebabkan kematian ibu, dan mbakayuku…“
“Seorang ksatria
bertindak bukan untuk kepentingan diri pribadi, angger! Kalau
engkau kelak menghadapi Progodigdoyo karena kebencianmu kepadanya disebabkan
dendam pribadi, maka engkau berbeda banyak dari Progodigdoyo sendiri! Akan tetapi seorang kstaria akan menghadapi
dan menentang bulu, dan tanpa membedakan
apakah dia itu Pegodigdoyo ataukah keluargamu sendiri sekali pun. Yang jahat
haruslah ditentang itu diingatkan, angger.“
Sutejo tidak berani membantah. Dia maklum bahwa eyang gurunya ini adalah seorang
yang guntur tapa, seorang yang memiliki kesaktian hebat disamping juga seorang
yang berbudi dan tidak mau mencampuri urusan duniawi yang serba ruwet oleh tingkah laku manusia. Maka dia yang merasa bodoh tidak berani lancang membantah,
melainkan dengan
masih berlutut dia berkata,
“Eyang, saya mohon petunjuk.“
Tanpa disadari oleh Sutejo, fajar telah menyingsing dan sinar matahari pagi kemerahan membakar langit di ufuk timur. Sang panembahan memandang ke angkasa
di sebelah timur dan dia sejenak
takjub akan keindahan pemandangan itu. Langit
yang terbakar merah itu menciptakan penglihatan yang sukar dituturkan dengan
kata-kata, awan-awan yang beraneka warna, ada warna merah tang bermacam-macam,
warna biru yang bermacam-macam bercampur warna kuning yang bermacam-macam pula,
diselang-seling sinar keemasan,
semua itu begitu indah, membuat setiap kelompok
awan menciptakan bentuk-bentuk yang amat laur biasa, keindahan yang hening,
keindahan yang baru, keindahan yang merepesap kedalam jiwa dan pada saat itu sang begawan
sudah kehilangan dirinya, si aku yang menjadi sumber segala macam kemaksiatan dan kesengsaraan serta permusuhan. Dia seolah-olah merasa menjadi
satu dengan semua keindahan itu, dari keindahan sinar lembayung dan keemasan di angkasa,
sampai keindahan ujung rumput yang terhias mutiara embun berkilauan
tersenyum cantiknya.
Kemudian kembali
dia menarik napas-napas kelegaan yang memasukkan hawa murni di
dalam tubuhnya, dan dia menunduk,
memandang kepala cucu muridnya sambil berkata
lirih,
“tengoklah ke angkasa timur, cucuku. Lihat, setiap pagi matahari
muncul dan mulai hidup baru. Engkaupun harus demikian, cucuku. Tinggalkan semua
kenangan lalu, semua itu telah mati dan tiada gunanya mempertahankan yang mati.
yang kemarin sudah mati. sekarang
inilah hidup.“
Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja tidak dapat menangkap arti dari wejangan
yang sederhana namun mengandung arti amat mendalam itu. Sang panembahan
lalu berkata lagi,
“Bangkitlah, mari kita duduk di atas batu itu, mengaso dulu karena keindahan seperti ini jarang kita temui angger, maka sudah selayaknya
jika kita menikmatinya,“
Sutejo bangkit
dan bersama kakek gurunya dia lalu duduk diatas sebongkah batu, berhadapan dengan kakek itu.
“Kesempatan ini akan kupergunakan untuk mendongeng kepadamu, angger, tentang
Sang Prabu Yudistira, atau yang juga biasa disebut dengan nama Samiaji, raja dari Ngamarta, dan yang sulung diantara lima saudara Pendawa Lima.“ Pertapa tua itu lalu mendongengkan tokoh pewayangan yang amat terkenal itu, didengarkan
oleh Sutejo dengan penuh perhatian. Beginilah dongeng yang mengandung arti amat baik itu.
Pada suatu hari Yudistira
melihat empat orang adik-adiknya telah tewas di tepi sebuah sumber air, mati setelah
minum air beracum itu. Tentu saja Yudistira
berduka sekali, dan tiba-tiba dia mendengar suara tanpa rupa, yaitu suara setan
penjaga mata air atau sumber air itu.
“Heh, Yudistira,
aku akan menghidupkan lagi seorang di antara saudara-saudaramu
ini jika engkau dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaanku dengan tepat.“
Yudistira dengan tenang menjawab,
“Ajukanlah pertanyaanmu, Yakso (sebutan untuk bangsa raksasa
atau setan), aku akan mencoba untuk menjawabnya.“
“Apakah yang lebih berat daripada
bumi? Apakah yang lebih tinggi daripada langit?
Apakah yang lebih cepat daripada angin? Apakah yang lebih baik daripada binatang?“
“Ibu lebih berat daripada bumi. Ayah lebih tinggi daripada langit. Jiwa lebih cepat daripada
angin. Pikiran lebih baik daripada
binatang. “Jawab Yudistira tanpa berpikir lagi karena jawaban-jawabannya bukanlah berdasarkan hasil pemikiran,
melainkan merupakan jawaban langsung karena melihat kenyataan.
“Siapakah teman terbaik dalam perjalanan? Siapakah teman terbaik di dalam rumah?
Siapakah teman terbaik di waktu sakit? Siapakah
teman terbaik di waktu mati?“
“Kafilah adalah teman terbaik dalam perjalanan. Isteri adalah teman terbaik di dalam rumah. Tabib adalah teman terbaik di waktu sakit, dan kedermawaan adalah teman terbaik
di waktu mati.“
“Musuh apa yang paling
sukar dikalahkan? Penyakit apa yang sukar disembuhkan?
Orang apakah yang disebut baik? Orang apa pula yang disebut tidak baik?“
“Wahai, raja yang arif
bijaksana! Apakah yang dinamakan buta?
Apakah yang artinya sombong? Apakah yang
dimaksudkan dengan terlambat? Dan
apa pula
penderitaan itu?“
“Yang sesungguhnya bisa adalah buta akhlak. Kecongkaan merasa diri pandai adalah
yang dinamakan orang sombong. Tidak mengenal diri saat ini juga adalah suatu keterlambatan, dan kebodohan adalah penderitaan yang paling besar.“
“Apakah yang disebut
ketetapan hati? Apakah keberanian itu? Apakah kedermawaan
itu? Dan apakah sebenarnya yang dinamakan seorang Brahmana sejati?“
“Pelaksanaan kebenaran
dalam hidup adalah ketetapan hati. Menyadari keburukan
diri pribadi lahir batin adalah kedermawaan sesungguhnya. Dan pertanyaanmu yang terakhir
itu memerlukan jawaban yang agak panjang, Yakso.“
“Duhai, sang raja yang budiman, jawablah dan hamba akan mendengarkan!“ Suara yang tanpa rupa itu terdengar
menggetar.
“Brahmana yang sejati bukan terletak dalam keturunan atau asal usulnya, bukan pula karena dia pandai membaca
kitab-kitab Weda, bukan pula karena kepandaiannya,
bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya.
Brahmana sejati adalah yang mengutamakan hidup
hidup dalam kebenaran, yaitu kebaiakan.
Selama hidupnya belum bercacat, dan
dia tidak
akan bercacat pula. Orang yang tidak dapat melenyapkan hawa nafsu sendiri, biar pun dia mengaku
seorang yang cerdik pandai, sesungguhnya dia hanyalah seorang gila dan sama sekali tidak patut disebut
seorang Brahmana sejati. Dia tidak pantas
disebut Brahmana biar pun dia hafal akan isi semua kitab Weda utama yang empat
jumlahnya, hafal diluar
kepala, apabila munafik dan bertindak durjana di dalam
hidupnya, dan orang begini derajatnya tidak lebih tinggi daripada seorang sudra!
Dia yang bersih lahir batinnya, batinnya selalu hening dan lahirnya selalu
mengatasi nafsu-nafsunya, dialah Brahmana sejati, Yakso!“
Mendengar semua jawaban
ini, sang Yakso menjadi kagum dan tunduk, maka diberilah
kesempatan kepada
Yudistra untuk memilih siapa di antara saudaranya yang harus
dihidupkan kembali.
Saudara kandung Yudistra adalah Bima dan Arjuna. Sedangkan yang dua lagi, Nakula
dan sadewa adalah saudara tiri, satu ayah lain ibu. Kalau menurutkan kepentingan
diri aku pribadi,
sudah tentu dia akan memilih seorang di antara adik kandungnya.
Akan tetapi Yudistira adalah seorang manusia yang sudah tipis atau bersih dari
cengkaraman keaku-annya. Dia lebih mementingkan keadilan daripada kesenangan
pribadi, maka yang dipilihnya adalah seorang di antara dua orang adik tirinya!
Sang Yakso mengerti akan isi hati Yudistira, maka dia menjadi makin kagum dan
tunduk, dan dihidupkan keempat adiknya yang telah mati keracunan itu!
“Demikianlah, Sutejo, cucuku. Kebijaksanaan selalu akan menghasilkan kembang dan
buah yang baik.“ Sang panembahan mengakhiri ceritanya.
“Oleh karena itu, didalam kehidupanmu, jangan engkau dibuai oleh cita-cita, oleh harapan-harapan,
oleh tujuan-tujuan. Semua itu adalah kosong,
hampa dan khayali belaka. Yang lebih penting adalah cara hidup, sepak terjangmu
dalam hidup, pada saat ini, pada hari
ini, pada setiap detik. Kalau caranya
benar, maka akhirnya pun tentu benar!
Sebaliknya, kalau engkau selalu mementingkan tujuan, banyak kemungkinan engkau akan tersesat
mengambil jalan yang keliru, mengambil cara yang sesat, angger.
Tujuan atau cita-cita dapat membutakan matamu sehingga engkau tidak melihat lagi bahwa cara yang kau tempuh adalah jahat dan sesat, matamu akan buta dan silau oleh cita-cita yang kelihatannya amat menarik dan indah.“
Sutejo mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat semua itu di dalam benaknya.
Dia masih terlalu kecil untuk menangkap semua inti sari wajangan itu, namun
nalurinya membisikkan dia sehingga membuka kesadarannya, menambah kewaspadaannya.
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan lapat-lapat terdengar suara orang berkata,
“Agaknya dia lari ke sini. Kawan-kawan hayo kita kejar dan cari sampai
dapat, kalau tidak gusti panewu tentu akan marah.“
“Heran sekali, rumah itu terbakar habis, mengapa anak itu dapat menghilang?
Jangan-jangan dia sudah menjadi
abu!“
“Mana mungkin!
Tulang-tulang ibunya yang hangus masih dapat dikenal, tak mungkin
dia habis sama sekali. Tentu dia dapat melarikan diri, atau ada orang yang menolongnya!“
Mendengar ini, Sutejo terkejut
dan cepat dia meloncat turun dari atas batu,
kedua tangan dikepal. Dia sama sekali tidak takut, hanya mengkhawatirkan
keselamatan…. Kakek gurunya!
“Eyang, harap eyang bersembunyi…, kalau ketahuan
eyang menolong
saya, tentu eyang akan celaka. Mereka itu orang-orangnya Panewu Progodigdoyo!“
Kakek itu tersenyum dan menggandeng tangan Sutejo.
“Tenanglah, angger. Tenanglah
dan mari kau ikut denganku pergi dari sini.“
Sutejo menurut dan sekarang barulah ia teringat bahwa kakek gurunya adalah
seorang sakti! Kakek gurunya itu membawa berjalan
menuju ke arah suara orang-orang
itu! Jantung di dalam dada Sutejo tergetar
dan berdebar keras saking tegangnya.
Dia hanya mendengar eyangnya itu berkemak-kemik dan terengar suara bisikannya
berulang kali,
“Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam….!!“
Kini mereka berpapasan dengan sepasukan perajurit Tuban yang terdiri dari dua losin orang. Mereka itu mencari ke sana-sini, menengok ke kanan kiri, akan tetapi sungguh aneh, mereka itu membiarkan kakek itu dan Sutejo lewat di depan
mereka seolah-olah mereka tidak melihat kakek itu, atau andai kata melihat juga, seolah-olah mereka itu menganggap sudah semestinya kakek dan bocah itu lewat di situ, tanpa mereka ganggu sedikit
pun.
Tentu saja Sutejo menjadi
terheran-heran dan makin kagum kepada kakek itu, karena
dia mengerti bahwa eyangnya itu telah mempergunakan aji kesaktiannya
sehingga para perajurit
Tuban itu tidak dapat melihat dia dan eyangnya yang lewat begitu dekat dengan mereka.
Setelah jauh Sutejo bertanya,
“Eyang, apakah artinya ucapan eyang tadi? Saya sudah hafal eyang! Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam!“
“Itu hanyalah mantera sebagai doa untuk mohon keselamatan, angger. Akan tetapi
jangan mengira bahwa setiap orang akan dapat memanfaatkan mantera ini, karena
mantera apa pun juga di dunia ini hanya berguna dan menjadi sakti bagi orang-orang
yang telah menghayati kebenaran di dalam hidupnya. Kalau setiap saat, setiap
kata-kata ucapan, setiap pikiran, dan setiap perbuatan selalu berlandaskan
kebenaran, maka kesaktian telah berada di dalam dirinya angger.“
Demikianlah, mulai hari ini,
Sutejo diajak oleh eyang gurunya,
yaitu Panembahan Ciptaning, pergi
ke lereng
Gunung Kawi, selain untuk menghindarkan
pengejaran Panewu Progodigdoyo, juga untuk mempelajari ilmu kesaktian dan hidup sebagai
seorang petani di lereng pegunungan yang hawanya dingin sejuk dan udaranya
bersih itu.
Dara itu menangis sesenggukan dengan hati pilu di dalam kamar yang indah itu.
Cuping hidungnya
yang mancung dan sepasang matanya yang bening sampai menjadi
merah karena banyak menangis. Dia menelungkup di atas pembaringan, tidak
menghiraukan dan bujukan
dua orang emban (pelayan) yang berlutut di depan pebaringan.
“Sudahlah, den roro… tiada gunanya lagi menangis… setiap hari berduka saja
sampai tubuh paduka
menjadi kurus….“ kata emban yang hidungnya pesek.
“Diamlah, gusti, diamlah, nanti hanya akan membikin marah gusti panewu saja.
Beliau amat mencintai
paduka…, lihat ini, hamba disuruh memberikan pakaian yang serba indah dan baru…“ kata emban ke dua yang mulutnya
lebar.
“… dan ini hamba sudah menyediakan makanan dan buah-buahan untuk paduk,“ sela si hidung pesek.
Akan tetapi dara remaja itu menggeleng-geleng kepala, bahkan ketika pakaian baru itu ditumpuk
di dekatnya, dia lalu mengibaskan tangan sehingga tumpukan pakaian
itu berantakan ke atas lantai.
“Eihh-eihhm bagaimana ini? Sayang, den roro, pakaian mahal dan bagus…!“ Si
hidung pesek mengambil pakaian itu.
Dara itu bengkit
duduk. Mukanya pucat dan agak kurus, akan tetapi tidak
menyembunyikan wajahnya yang cantik jelita. Bahkan tambutnya dan pakaiannya yang
kusut itu membuat kecantikannya makin aseli dan menonjol. Hidungnya yang kecil
mancung menjadi merah ujungnya,
matanya yang bening dan bersinar tajam itu sampai
agak membengkak karena terlalu banyak
menangis, kulitnya putih kuning dan
kedua lengannya padat dan mulus. Seorang perawan yang cantik. Dia ini bukan lain
adalah Lestari, puteri janda Galuhsari
yang dilarikan oleh Panewu Progosigdoyo
dan dikeram di dalam sebuah kamar di gedungnya. Kamar itu dijaga ketat oleh
sepasukan pengawalnya dan selain dara remaja itu tidak diperkenankan keluar dan seperti
orang hukuman dikurung di dalam keputren itu, juga tidak ada seorang pun boleh memasuki
tempat ini kecuali dua orang emban itu yang memang ditugaskan
untuk membujuk perawan itu.
Namun Lestari
tetap menolak cinta kasih Panewu Progodigdoyo yang amat dibencinya.
Biar pun dia belum diganggu oleh panewu itu yang sibuk menghadapi perang dengan Mojopahit,
dan biar pun dia dilayani dengan penuh keramahan oleh para emban,
tetap saja lestrai merasa berduka dan setiap hari hanya menangis.
Betapa hatinya akan hancur kalau dia mengingat ibunya dan adiknya? Mereka mati terbakar! Dan bukan itu saja! yang membuat
dara ini kadang-kadang seperti ingin menjerit-jerit
ketakutan adalah kalau di mengenangkan betapa sebelum kebakaran rumah ibunya,
dia diharuskan melihat ibunya digagahi oleh panewu itu, digumuli dan diperkosa
di atas pembaringan, di depan matanya! Betapa dia melihat ibunya bercucuran air
mata, menggigit-gigit bibir menahan penghinaan itu demi untuk mempertahankan
kehormatan puterinya! Teringat dan membayangkan ini semua, Lestari mengalami
guncangan batin yang hebat dan ketika dia menutupi
mulutnya untuk menahan
mulutnya menjerit-jerit, dia mengangguk, kemudian duduk termenung seperti orang kehilangan semangat.
Setelah perang terjadi dan Tuban dikalahkan oleh Mojopahit, seperti telah diceritakan di bagian depan, Panewu Progodigdoyo yang pandai bermuka-muka dan
pandai menjilat-jilat itu melaporkan kepada para pembesar di Mojopahit betapa
dialah orangnya yang selalu berusaha untuk mencengah pemberontakan Ronggo Lawe. Kemudian
dia pulalah yang memerintahkan semua pasukan Tuban untuk tunduk dan takluk, agar tidak melanjutkan perlawanannya terhadap Mojopahit.
Dalam usahanya mencari muka dan menjilat ini, dia memperoleh bantuan banyak dari Sang Resi Mahapati!
Mengapa demikian? Hal itu tidaklah aneh karena sesungguhnya
Sang Resi Mahapati
yang menjadi seorang pembesar di istana Mojopahit itu masih terhitung
paman gurunya sendiri. Panewu Progodigdoyo adalah murid Empu Tanjungpetak, seorang empu yang digdaya di pertapaan atau pesanggrahan
Tanjungpetak di pantai Laut Jawa, tak jauh dari Tuban. Ada pun Empu Tanjungpetak ini adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati.
Progodigdoyo juga maklum
akan cita-cita sang resi di istana Mojopahit itu, maka di antara keponakan dan paman guru ini terjalinlah kerja sama yang baik, maka tidaklah mengherankan kalau Resi Mahapati
membantu murid keponakannya ini sehingga di dalam penumpasan pemberontakan
Ronggo Lawe, Progodigdoyo dianggap “berjasa“, bahkan dia lalu memperoleh
kepercaaan untuk sementara menjabat “adipati“ di Tuban, menggantikan kedudukan
Ronggo Lawe sementara Tuban kosong dari seorang pejabat.
Dapat dibayangkan betapa besar kepala bekas panewu ini! Dia masih bersikap
hormat kepada
keluarga Ronggo Lawe, apa lagi kepada Aryo Wirorojo yang dia tahu merupakan
seorang terhormat dan berpengaruh di lingkungan istana Mojopahit.
Terhadap mereka ini dia masih bersiap hormat sebagai seorang bekas pembantu
Ronggo Lawe yang “setia“.
Memang demikianlah sifat-sifat manusia yang terlalu tebal sifat akunya. Demi kepentingan pribadi yang selalu haus mengejar kesenangan, dia tidak malu-malu
untuk melakukan apa saja! Demi mencapai cita-citanya, cara apa pun akan ditempuhnya. Dan seperti yang sudah menjadi anggapan umum yang biar pun hampa
dan salah namun sejak dahulu sampai kini manjadi
semacam pegangan mutlak adalah
bahwa kesenangan ialah kedudukan, kemuliaan, kehormatan atau nama, dan harta benda! Demi untuk mencapai
tiga macam “kesenangan“ ini, seringkali manusia
menjadi lebih kejam dan lebih ganas daripada binatang! Apa pun akan dilakukannya,
dan semua cara ini, betapa pun kejamnya, dianggapnya benar karena semua itu dilakukan
untuk mencapai cita-citanya ! Pemujaan
cita-cita itu lalu hanya
mementingkan si cita-cita, tanpa menghiraukan lagi cara yang ditempuhnya, karena
cara itu hanya dianggap sebagai penyeberangan belaka. Padahal, bukan cita-citalah
yang penting, melainkan cara itu sendiri! Cara inilah yang menentukan baik-buruknya,
benar dan sesatnya. Cara ini pula yang menentukan akibat dan akhirnya. Di dalam
benih yang ditanam itulah tercakup nilai buahnya kelak! Cara inilah yang penting,
yang nyata yang harus kita perhatikan setiap saat agar tidak sampai menyeleweng!
No comments:
Post a Comment