Thursday, April 2, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 10



Namun demi si aku yang selalu mengejar kesenangan, manusia menjadi lupa, seperti halnya Progodigdoyo. Dia merasa bangga sekali dengan kedudukannya. Masih berdebar kalau dia teringat akan peristiwa yang terjadi sebelum pemberontakan pecah, yaitu peristiwa di dusun Kembangsari. Tanpa disengajanya dia telah membunuh Galuhsari, janda mendiang sahabat baiknya, Lembu Tirta, dan hatinya berdebar menjadi agak gelisah kalau dia mengingat bahwa mayat anak laki-laki Lembu Tirta tidak dapat ditemukan di dalam rumah terbakar itu, juga usaha pencarian oleh pasukannya tidak berhasil. Akan tetapi, debar jantungnya ini lenyap dan berganti dengan debar kegembiraan yang penuh dengan bangkitnya gairah nafsu berahinya kalau dia mengingat akan Lestari, perawan mungil cantik jelita yang telah berada di tangannya. Makin dipandang, makin mirip perawan itu dengan ibunya di waktu muda, dengan Galuhsari, yang telah dirindukannya semenjak masih gadis dahulu, akan tetapi dalam memperebutkan cinta kasih gadis Galuhsari itu, dia kalah oleh Lembu Tirta. Tidak mengapa, ibunya pun setelah janda terdapat olehnya, biar pun tidak memenuhi selera hatinya. Kini anaknya yang menjadi gantinya. Lebih muda, lebih cantik, dan masih perawan!
“Ha-ha-ha, Lestari, tidak begitu risau lagikah hatimu, manis?“
Panewu Progodigdoyo memasuki kamar itu dan agaknya lega hatinya melihat perawan itu tidak menangis lagi seperti sudah-sudah. Sudah tiga bulan lamanya dia mengeram dara itu, akan tetapi setiap hari dara itu hanya menangis saja, makan pun  hanya setengah dipaksa oleh para emban karena takut dara itu akan mati kelaparan,  dan mengganti pakaian dan mandi juga dilakukan dengan setengah paksa. Malam  hari  ini, gadis itu duduk termenung, tidak menangis lagi!
Melihat kedatangan Progodigdoyo, dua orang emban itu dengan kenesnya, sambil tersenyum-senyum dan saling lirik, meninggalkan kamar itu, membiarkan sang panewu yang kini menjadi pejabat adipati itu berdua saja dengan si perawan denok.

Progodigdoyo yang sudah berusia empat puluh tahun itu duduk di atas kursi yang ditariknya sehingga dia berhadapan dengan Lestari yang duduk bersimpuh di atas pembaringan. Sejenak dia menatap wajah yang menunduk itu dan dia tersenyum, terpesona karena perawan itu benar-benar mirip sekali dengan Galuhsari di waktu masih gadis! Betapa cantiknya! Sinom rambut yang berikal itu semrawut berjuntai di atas dahi yang yang melengkung dan halus. Alisnya seperti dilukis saja, melengkung hitam panjang kecil seperti bulan muda baru mlai tampak. Hidungnya kecil menggemaskan, cupingnya yang kemerahan bergerak-gerak menyentuh perasaan. Pipinya berkulit putih kuning halus kemerahan, segar dan mengar-mangar, dan mulutnya! Seperti setangkai mawar. Matanya dihias bulu mata yang panjang melengkung.
Pandang mata Progodigdoyo menurun, ke leher, ke dada yang tampak membusung kecil itu, ke pinggang yang ramping dan tanpa disadarinya tangan kanannya naik ke kumisnya yang panjang melintang, memutir-mutir kumisnya dengan keasyikan yang penuh gairah, membayangkan betapa akan nikmat dan senangnya kalau perawan ini mau menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Matanya yang lebar ini bersinar-sinar dan hidungnya yang mbengol (besar tidak mancung) kembang-kempis, hidung yang bentuknya menjadi ciri laki-laki yang gila perempuan, dan mulutnya bergerak-gerak dengan senyum dikulum.
“Lestari, cah ayu malam ini hemm, kau tentu sudah insyaf dan mau melayani aku, bukan? Engkau akan kujadikan selir terkasih, atau…hemm, kalau kau menyenangkan hatiku, mungkin saja akan kucerai isteriku, atau kulorot dia menjadi selir tua dan engkau menjadi isteri adipati! Ha-ha-ha, engkau menjadi permaisuriku! Mau ya, manis? bujuknya, seperti seorang tua membujuk seorang anak-anak yang akan dihadiahi kembang gula. Dan memang sikap ini tidak dibuat-buat oleh Progodigdoyo karena memang Lestari itu seorang perawan kecil, masih setengah kanak-kanak maka otomatis sikapnya seperti kepada seorang kanak-kanak.

Sudah bosan dan muak Lestari mendengar ucapan ini yang merupakan bujukan yang selama berbulan-bulan ini hampir setiap malam didengarnya, baik keluar dari mulut wajah yang amat dibencinya ini atau keluar dari mulut para emban. Akan tetapi saat itu dia menoleh dan merasa amat lucu mendengar ucapan itu, yang selama ini dibencinya! Dia teringat akan masa lalu, di waktu pria ini masih menjadi sahabat ayahnya, bahkan seperti seorang adik kandung ayahnya sendiri. Pria ini selalu bersikap manis terhadap dia dan ibunya, dan Sutejo, bahkan sering kali di waktu di masih kecil suka memangkunya, memondongnya. Dan diapun suka kepada paman Progo ini! Teringat akan semua itu, Lestari menjadi binggung dan merasa lucu! Konflik jiwa berkecambuk di dalam batin perawan ini dan dia mulai berkata dengan kata-kata halus, jauh berbeda dengan hari-hari kemarin di mana dia selalu berteriak-teriak tidak sudi dan marah-marah. sambil menangis.
“Paman paman Progo…“
Hampir terlonjak laki-laki itu saking girangnya. Ingin dia menubruk dan mendekap perawan itu dan menciuminya saking bungah hatinya, akan tetapi sebagai seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita, entah sudah berapa puluh kali dia mendapatkan wanita-wanita muda, baik dan halus mau pun kasar, dengan suka rela mau pun dengan paksa, dia menahan kesabarannya dan berkata girang
“Lestari, sayang, apakah yang kau hendaki manis?“
“Paman Progodigdoyo, bukankah paman adalah sahabat baik dari mendiang ayahku Lembu Tirta?“
Pertanyaan yang halus dan keluar dari bibir yang manis itu sungguh-sungguh tak pernah disangkanya, akan tetapi dengan wajah berseri Progodigdoyo menjawab halus,
“Tentu saja, denok, tentu saja. Mendiang ayahmu adalah sahabat baikku, sahabat karib.“
“Kalau sahabat baik, kenapa engkau membunuh ayahku, paman?“

Mata Progodigdoyo terbelalak. Akan tetapi karena hal itu sudah diketahui pula oleh perawan ini, dia pikir menyangkal pun tidak ada gunanya.
“Karena kami berebutan, manis, memperebutkan ibumu. Karena aku cinta ibumu dan kemudian ayahmu yang berhasil memperisteri ibumu.“
“Paman mencinta ibuku?“
“benar, benar , sayang. Aku cinta pada ibumu.“
“Kalau paman Progo mencinta ibu, mengapa paman melakukan melakukan itu kepada ibu dahulu itu…? Dia membayangkan peristiwa pemerkosaan itu dan matanya terbelalak.
Wajah Progodigdoyo menjadi merah sekali. Dia menjadi binggung sehingga tidak melihat perobahan pada wajah Lestari. Akan tetapi dengan lancar dia menjawab pula,
ahh, kau maksudkan aku menggauli ibumu? Karena aku cinta padanya, itulah! Karena aku cinta padanya, Lestari, seperti aku cinta padamu. Kau mirip sekali dengan ibumu di waktu muda, malah lebih manis, maka aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu.“
“Kalau cinta bukan begitu, paman.”
“Habis bagaimana? Progodigdoyo menyerigai.
“Kalau paman mencinta ibu, tentu paman membiarkan ibu hidup berbahagia dengan ayah. Kalau paman mencintaku, tentu paman akan membebaskan aku.“
Progodigdoyo menjadi jengkel. Kira-kira anak ini bersikap tenang hanya untuk membantah pula.
“Lestari, jangan kau membikin aku kehilangan kesabaranku! Dia bangkit berdiri. “Aku  cinta padamu, tahukah kau? Karena kau mirip ibumu, karena kau lebih manis dari ibumu. Kalau aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sabar menunggu-nunggu dan membujuk-bujuk sampai berbulan-bulan lamanya? Kalau aku tidak cinta padamu, tentu sudah sejak malam pertama itu kau kupaksa. Apa kau kira aku bisa memaksamu, he? Lihat ini! Progodigdoyo menggerakkan tangannya dan di lain saat dia sudah mendekap tubuh Lestari, kedua tangan Lestari ditekuk ke belakang tubuh sehingga dada dara itu membusung ke depan. Lalu dengan buasnya Progodigdoyo menciumi kedua pipi itu, hidung itu, dan mengecup bibirnya lama-lama serta mengggigitnya.
“Nah, kalau aku mau memaksamu, apa sukarnya? Tinggal merobek-robek pakaianmu!“ dia mendengus dan mendorong tubuh anak dara itu sehingga jatuh terlentang di atas pembaringan. Muka Lestari pucat sekali, matanya terbelalak lebar bibirnya berdarah karena digigit dengan gemasnya oleh laki-laki yang sudah kesetanan itu. Napas Progodigdoyo terengah-engah.
“Kalau kau tidak mau melayaniku, aku tunggu sampai besok, hemm terpaksa aku akan memperkosamu, akan memaksamu dan akan membuat engkau menjadi barang permainanku! Akan tetapi kalau kau menyerahkan diri dengan suka rela, engkau akan menjadi isteriku yang terhormat. Mengertikah engkau? bentaknya.

Lestari memandang dengan mata terbelalak tanpa berkedip, kemudian dia bangkit duduk, lalu menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Progodigdoyo dan tiba-tiba perawan ini tertawa!
“Heh-heh-hi-hi-hi, kau…kau lucu…, paman Progo! Ha-ha, mukamu lucu seperti…seperti tikus werok ha-ha! Kau cinta pada ibuku dan kau membunuhnya? Kau cinta padaku dan kau ingin melihat aku menderita, ingin mempermainkan tubuh ini? Heh-heh-hi-hi-hi, kau kau gila, paman Progo! Aku sudah bersumpah bahwa sekali saja engkau menodai diriku, aku akan bunuh diri!“
Progodigdoyo memandang dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perawan itu mengalami tekanan batin, guncangan batin yang hebat sehingga ada bahayanya akan menjadi gila. Akan tetapi ucapan terakhir dari Lestari itu membuatnya marah.
“Kau mau membunuh diri? Huh, kau kira mudah? Para emban selalu menjaga dan aku mencegah kau membunuh diri!“
Perawan itu tertawa lagi dan suara ketawannya membuat Progodigdoyo bergidik. Kini  Lestari turun dari pembaringan dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Progodigdoyo sambil menghampirinya. Progodigdoyo bergidik dan melangkah mundur.
“Kau kira aku tidak mampu? Hi-hi-hik, Progodigdoyo, dengan mengigit putus lidahku sendiri pun aku akan mati. Siapa bisa mencegah aku menggigit lidahku sendiri? Akan tetapi sebelum mati, aku akan lebih dulu membunuhmu, ha-ha-ha!“

Melihat keadaan perawan itu, lenyaplah nafsu berani Progodigdoyo yang tadi berkobar setelah dia mendekap tubuh yang gempal hangat dan mencium mulut yang manis itu. Kini dia menjadi ngeri dan khawatir. Celaka, pikirnya. Lestari telah mulai gila!
“Emban! Teriaknya dan dua orang emban yang tadinya mendengarkan di depan pintu sambil mesem-mesem mengharapkan untuk mendengarkan suara yang “mesra seperti telah mereka bayangkan, terkejut dan cepat-cepat mendorong daun pintu dan masuk!
“Jaga dia baik-baik, layani baik-baik! katanya dan bergegeas Progodigdoyo meninggalkan kamar itu diiringi suara ketawa Lestari yang membuat kedua orang emban itu melongo.
Betapa banyaknya manusia menyalah gunakan dan mengotori kata “cinta yang sesungguhnya amat indah dan suci itu! Hampir semua orang mempunyai pandangan Progodigdoyo, hanya saja bedanya, ada yang bersikap halus dan ada pula sebagian orang yang bersikap kasar seperti Progodigdoyo.

Cinta yang kita dengung-dengungkan selama ini, benarkah itu cinta namanya? Kalau kita berani bersumpah bahwa kita mencinta seseorang, selalu kita menginginkan agar orang yang kita cinta itu pun membalas cinta kita, bahkan lebih dari itu, kita  menginginkan bahwa orang yang kita cinta itu menyenangkan kita, melayani kita, memenuhi hasrat kita dan juga kita menghendaki agar orang yang kita cinta itu jangan menoleh kepada orang lain! Kalau semua keinginan ini dilanggar satu saja, tidak dipenuhi satu saja, “cinta kita itu berubah menjadi kebencian yang penuh dengan cemburu dan kekecewaan! Apakah ini cinta? Ataukah ini hanya merupakan suatu cara untuk memenuhi keinginan hati kita, yaitu memenuhi kesenangan, baik kesenangan batin maupun lahir?

Di dalam urusan yang kita namakan “cinta itu, selalu kita arahkan atau maksudkan kepada hubungan Sex (kelamin)! Seolah-olah dalam persoalan cinta kasih antara pria dan wanita, hanya sex itulah isinya semata-mata! benarkah ini? Adapula yang mengatakan bahwa cinta kasih adalah pengorbanan, atau kewajiban, dan lain-lain sebutan lagi. Ada pula yang menganggap bahwa tanpa cemburu, tidak ada cinta kasih! Banyaklah anggapan-anggapan kacau-kacau dikemukakan dan semua anggapan itu hanya mempunyai satu dasar, yaitu untuk membela kepentingan si aku yang mengejar kesenangan! Mengapa kita tidak berani membuka mata melihat segala kepalsuan kita sendiri? Mengapa? Tanpa adanya kesadaran akan kepalsuan kita sendiri, betapa mungkin kita akan dapat mengalami perobahan?
Jelaslah bahwa nafsu birahi bukanlah cinta kasih, juga bahwa cemburu, kekecewaan, kebencian, dendam, kesengsaraan, permusuhan, semua ini tidak terkandung dalam cinta kasih dan bkan cinta kasih! Untuk dapat mengalami cinta kasih, semua penghalang berupa camburu, kebencian, kepentingan pribadi atau pengejaran kesenangan diri pribadi, semua ini haruslah lenyap sama sekali!
Hubungan Sex (kelamin) bukanlah sesuatu yang jahat, bukanlah sesuatu yag kotor! Sama sekali bukan. Bahkan merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat wajar, sesuatu yang amat suci apabila dilandasi oleh cinta kasih! Akan tetapi, apabila hubungan sex dijadikan pujaan, maka sesuatu yang murni itu akan berobah menjadi sesuatu yang amat kotor! Seperti halnya Progodigdoyo! Dia menjadi hamba dari nafsu berahi, didorong oleh nafsu berahinya, yaitu untuk mengulang-ulang lagi kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya dari nafsu berahi ini, maka mulailah dia mengejar-ngejar dan dalam pengejaran kesenengan inilah terjadi kemaksiatan, terjadi CARA-CARA yang sesat dan kotor.
Di dalam cinta kasih yang murni tidak ada tidak ada unsur pendorong untuk kepentingan si aku, bahkan sama sekali tidak ada lagi si aku, tidak ada lagi pengejaran kesenangan untuk aku. Bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan atau kenikmatan. Sungguh sama sekali tidak demikian. Bahkan siapa yang tidak lagi mengejar-ngejar kesenangan, dia penuh dengan kesenangan. Siapa yang tidak mengejar-ngejar kenikmatan, dia sudah penuh dengan kenikmatan.

Setelah tiba kembali di dalam kamarnya sendiri, Progodigdoyo disambut oleh isterinya, seorang wanita yang cukup cantik akan tetapi bagi Progodigdoyo si hamba  nafsu, perempuan ini kelihatan membosankan. Dari isteri ini dia memperoleh dua orang anak, seorang laki-laki berusia dua belas tahun dan seorang perempuan berusia sembilan tahun. Akan tetapi adanya dua orang keturunan ini tidak mempererat hubungan batin antara Progodigdoyo dengan isterinya itu.
Isterinya sudah mendengar bahwa suaminya mengambil seorang selir baru, yang bernama  Lestari, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lestari adalah puteri mendiang Lembu  Tirta, tidak tahu pula bahwa suaminya telah memperkosa bahkan menyebabkan kematian janda Lembu Tirta, yaitu Galuhsari. Disangkanya bahwa Lestari, perawan berusia lima belas tahun ini, adalah seorang perawan dusun yang cantik. Maka sebagai isteri seorang bangsawan, isteri ini pun tidak berani membantah, bahkan ketika melihat suaminya datang, dia menyongsong dengan pertanyaan lembut,
“Sudah berhasilkah paduka mempersunting gadis itu, kakangmas?“
Berkerut alis Progodigdoyo, karena pertanyaan yang sejujurnya dan setulusnya ini diterimanya sebagai suatu ejekan.
“Diam, perempuan cerewet! bentaknya dan dia menghempaskan dirinya di atas kursi.
Isteri terkejut lalu cemburu.
“Ditanya baik-baik malah marah, gerutunya sambil pergi dari kamar menuju ke kamar anak-anaknya. Suaminnya akhir-akhir ini berobah sikapnya dan dalam keadaan seperti ini, ibu ini mencari hiburan pada anak-anaknya.

Di dalam hatinya Progodigdoyo malah girang melihat isterinya pergi meninggalkan seorang diri. Dia memutar otak, mencari akal. Dia memang tergila-gila kepada kecantikan Lestari yang mirip Galuhsari, akan tetapi setelah perawan itu memperlihatkan gejala penyakit gila, dan mengingat akan ancaman perawan itu, lenyaplah seleranya.
“Baik, aku tidak bisa menikmatinya untukku sendiri, akan tetapi aku harus dapat memanfaatkannya! akhirnya dia mengepal tinjunya karena dia teringat kepada paman gurunya, Resi Mahapati! Dia tahu bahwa paman gurunya itu, di samping ketamakan akan kedudukan dan kemuliaan, juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk mendapatkan perawan-perawan muda dan cantik. Dan dengan kepandaiannya, tentu paman gurunya itu akan dapat “menjinakkan Lestari, pikirnya. Di samping dia dapat menyenangkan hati paman gurunya yang diharapkan untuk dapat menyokong dan mendukungnya agar dia dapat diangkat menjadi adipati di Tuban, menggantikan Ronggo Lawe, juga kalau dia teringat akan lenyapnya putera Lembu Tirta atau adik Lestari, dia menjadi agak khawatir, Oleh karena itu, kalau Lestari dia berikan kepada Mahapati untuk menjadi selirnya, kelak adik lestari kalau sampai menimbulkan keributan, tentu akan berhadapan dengan paman gurunya itu. Setelah memperoleh akal ini, lapanglah dada Progodigdoyo dan bergegas dia utusan seorang kepercayaan untuk menyampaikan undangan kepada Resi Mahapati ke Tuban dengan pesan Khusus bahwa dia mempunyai hidangan istimewa untuk paman gurunya itu.

Dua pekan kemudian, datanglah Resi Mahapati berkunjung ke Tuban. Sebagai paman guru Progodigdoyo, tentu saja kunjungan ini tidak menimbulkan kecurigaan kepada Aryo Wirorojo yang masih dalam keadaan berkabung sungguhpun puteranya, Ronggo Lawe, telah gugur hampir empat bulan lalu. Tidak ada pula yang menduga yang bukan-bukan di dalam istana Progodigdoyo, padahal malam itu terjadi hal yang akan membikin marah hati setiap orang yang masih percaya akan kebenaan dan kebajikan hidup.
Tepat seperti yang dibayangkan oleh Progodigdoyo, begitu melihat Lestari, Resi Mahapati menjadi tergila-gila dan dia merasa girang sekali atas “budi kecintaan“ murid keponakannya yang telah memberinya “hadiah hidangan sehebat itu! Lestari sendiri ketika dihadapkan dengan kakek bandot ini, merasa takut sekali, akan tetapi segera perawan ini menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika dia terpengaruh oleh sihir ilmu hitam yang diterapkan oleh sang resi! Dan pada malam hari itu, Lestari dalam keadaan seperti orang hilang ingatan, menyerahkan segala-galanya kepada sang resi! Terjadilah malam yang penuh kemaksiatan dan kekejian di dalam kamar itu dan pada keesokan harinya, barulah Lestari menangis sejadi-jadinya. Namun semua telah terlambat.
Resi Mahapati merangkul dan menghiburnya.  
“Bocah ayu, mengapa menangis? Engkau akan menjadi selirku yang terkasih, engkau akan menjadi puteri terhormat dan hidup mulia di Mojopahit, engkau kelak akan mejadi selir terkasih dari orang yang berkedudukan paling tinggi di Mojopahit. Bergembiralah atas nasibmu yang baik karena engkau berkenan menggembirakan hati Resi Mahapati.“
Tentu saja hiburan ini tidak ada artinya bagi Lestari dan dia tentu sudah membunuh diri kalau saja Resi Mahapati tidak membuatnya tidak berdaya di bawah pengaruh sihir dan ilmu hitamnya sehingga Lestari menjadi seperti seekor domba yang menurut saja digiring ke pejagalan! Bahkan dia tidak membantah lagi ketika tiga hari kemudian dia diboyong ke Mojopahit oleh sang resi sebagai selir barunya yang tercinta!

Demikianlah, mulailah kehidupan baru bagi Lestari dan peristiwa yang menghancurkan hatinya ini bahkan membuatnya menjadi matang! Setelah beberapa bulan kemudian, Resi Mahapati tidak perlu lagi menggunakan ilmu hitamnya karena kini Lestari bukan lagi Lestari beberapa bulan yang lalu! Wanita muda ini sekarang malah kelihatan girang, setiap hari bersolek dan kini dialah yang menyihir Resi Mahapati dengan segala kecantikannya dan kemudaannya! Lestari telah mengorban seluruh perasaan hatinya, dan kini dia melihat terbukanya kesempatan baginya untuk membalas kepada semua orang yang telah menghancurkan keluarganya, melalui Mahapati! Oleh karena itu, lebih dulu dia harus menundukkan kakek ini dan biar pun dia tadinya hanya seorang perawan hijau dan bodoh, namun berkat anugerah alam yang dimilikinya berupa wajah cantik jelita dan tubuh muda, denok montok menggairahkan tidaklah terlalu sukar baginya untuk membuat Resi Mahapati yang sakti mandaraguna itu bertekuk lutut kepadanya.

Memang banyak peristiwa mengerikan dan menyedihkan terjadi di dunia ini. Semua itu ditimbulkan oleh ulah tingkah manusia yang selalu menuruti hawa nafsu pementingan diri sendiri, pengejaran kesenangan yang sesungguhnya hampa. Dunia berputar terus dan peristiwa demi peristiwa terjadilah!
Aryo Wirorojo atau Aryo Adikoro, lebih terkenal dengan sebutan banyak Wide, bekas Bupati Sumenep yang telah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mojopahit, semenjak jaman Sang Prabu Kertanegara dia telah menjadi pengawal terpercaya bahkan dianggap murid oleh Sang Prabu Kertanegara, sampai ketika Raden Wijaya memperjuangkan raja bergelar Kertarajasa Jayawardhana, di waktu mana Aryo Wirorojo juga memiliki jasa yang amat besar sekali. Karena jasa-jasanya yang amat besar itulah, maka di waktu Raden Wijaya menjadi raja, beliau pernah berjanji bahwa kelak dia akan memberikan sebagian dari bumi Mojopahit kepada Aryo Wirorojo.
Setelah puteranya gugur dalam peristiwa pemberontakan atau lebih tepat dalam peristiwa  pertikaian puteranya dengan Patih Nambi, Aryo Wirorojo menjadi kendur semangatnya. Maka pada suatu hari, menghadaplah Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo ini ke hadapan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana dan mengingatkan sang prabu akan janjinya itu.
Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana menerima peringatan ini dengan hati ikhlas. Semenjak gugurnya Ronggo Lawe, hati sang prabu, selalu merasa menyesal dan berduka. Apalagi kalau dia teringat akan jasa Aryo Wirorojo dan ronggo Lawe sendiri, dan mengingat pula betapa dalam peristiwa itu, biar pun puteranya sampai gugur, Aryo Wirorojo tidak pernah memperlihatkan sikap melawan Mojopahit atau membela puteranya. Bahkan Lembu Sora, senopati yang menjadi adik Aryo Wirorojo, juga membela Mojopahit dan menentang keponakannya sendiri. Kini, mendengar peringatan Aryo Wirorojo, sang prabu menerimanya dengan hati terbuka dan segera dikumpulkannya semua pembantu dan penasihatnya dan beliau segera mengumumkan pembagian bumi Mojopahit! Wilayah Kerajaan Mojopahit sebelah timur, terus ke selatan sampai ke Laut Kidul, diserahkan kepada Aryo Wirorojo atau Aryo Adikoro atau Banyak Wide!

Maka berangkatlah Aryo Wirorojo membawa semua keluarganya, termasuk cucunya, Kuda Anjampiani atau juga disebut Raden Turonggo, ke Lumajang yang dijadikan kota raja dan di mana dia berdiri sendiri sebagai seorang adipati atau seorang raja muda yang merdeka. Dia tidak lagi menjadi kawula Mojopahit dan tidak lagi diharuskan menghadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana! Betapa pun juga Aryo Wirorojo selalu bersikap baik dan hormat kepada Mojopahit sehingga selama dia menjadi Adipati Lumajang, tidak pernah terjadi keributan antara dia pribdi dan raja di Mojopahit.
Peristiwa pembagian tanah di Mojopahit ini merupakan penghindaran malapetaka karena andaikata Sang Prabu Mojopahit tidak bijaksana, maka bahaya peberontakan kiranya tak dapat dihindarkan lagi! Maka setelah aryo Wirorojo memboyong keluarganya ke Lumajang dan menjadi Adipati Lumajang, kelihatan keadaan Kerajaan Mojopahit menjadi tentram dan penuh damai, seolah-olah tidak pernah terjadi pemberontakan Tuban dan tidak akan terjadi sesuatu untuk selamanya.
Akan tetapi, ketentraman itu hanyalah kelihatannya saja. Tanpa ada yang mengetahuinya, awan gelap sedang berkumpul mengancam kecerahan udara di atas Kerajaan Mojopahit! Awan tebal ini muncul dari dalam gedung tempat kediaman Resi Mahapati! Sebagai seorang di antara kepala-kepala agama, yaitu agama pemuja Dewa Syiwa, seperti kepala-kepala agama cabang lain, Resi Mahapati telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Akan tetapi cabang agama pemuja Dewa Syiwa ini bukan merupakan golongan yang terbesar dan kuat, maka Resi Mahapati tidaklah puas dengan kedudukan yang dipeolehnya. Diam-diam dia menanam cita-cita yang amat besar, yaitu untuk memperoleh kedudukan tertinggi di bawah kekuasaan sang prabu, mengatasi para ponggawa yang lain. Akan tetapi, dia melihat betapa kuatnya kedudukan para senopati di Mojopahit, dan betapa sulitnya mencapai cita-citanya kalau masih ada para tokoh Mojopahit yang setia dan tentu akan menghalangi semua cita-citanya itu.

Oleh karena itulah, maka di dalam peristiwa pemberontakan Ronggo Lawe, Resi Mahapati memegang peranan penting dan dia telah mempergunakan akalnya yang licik, tipu muslihat mengadu domba dengan cara yang curang, yaitu mempergunakan Maruto yang menjadi orang kepercayaannya. Seperti telah diceritakan di bagaian depan, Maruto ini membakar hati Ronggo Lawe, kemudian melaporkan kepada sang prabu menyamar sebagai seorang perajurit penjaga tapal batas. Kemudian, karena tahu bahwa Maruto bukan seorang yang boleh dipercaya sepenuhnya, agar rahasianya itu tidak sampai ada yang tahu, dengan kejamnya dia membunuh Maruto, pembantunya ini.
Sekarang, dengan mempergunakan kedudukannya dan terutama ilmu kepandaian yang tinggi, Resi Mahapati berhasil menghimpun banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka ini siap melakukan segala macam perintahnya dan Resi Mahapati dengan gerombolannya ini merupakan kekuatan rahasia yang bersembunyi di dalam kerajaan Mojopahit.

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 11

No comments:

Post a Comment