Namun demi si aku yang selalu mengejar kesenangan, manusia menjadi lupa, seperti
halnya Progodigdoyo. Dia merasa bangga sekali dengan kedudukannya. Masih
berdebar kalau dia teringat akan peristiwa yang terjadi sebelum pemberontakan
pecah, yaitu peristiwa di dusun Kembangsari. Tanpa disengajanya dia telah
membunuh Galuhsari, janda mendiang sahabat baiknya, Lembu Tirta, dan hatinya
berdebar menjadi agak gelisah kalau dia mengingat bahwa mayat anak laki-laki
Lembu Tirta tidak dapat ditemukan
di dalam rumah terbakar itu, juga usaha
pencarian oleh pasukannya tidak berhasil. Akan tetapi, debar jantungnya ini lenyap dan berganti dengan debar kegembiraan yang penuh dengan bangkitnya gairah
nafsu berahinya kalau dia mengingat akan Lestari, perawan mungil cantik jelita yang telah
berada di tangannya. Makin dipandang,
makin mirip perawan itu dengan
ibunya di waktu muda, dengan Galuhsari, yang telah dirindukannya semenjak masih gadis dahulu,
akan tetapi dalam memperebutkan cinta kasih gadis Galuhsari itu, dia kalah oleh Lembu Tirta. Tidak mengapa, ibunya pun setelah janda terdapat
olehnya, biar pun tidak memenuhi selera hatinya. Kini anaknya yang menjadi
gantinya. Lebih muda, lebih cantik, dan masih perawan!
“Ha-ha-ha, Lestari, tidak begitu risau lagikah hatimu, manis?“
Panewu Progodigdoyo memasuki kamar itu dan agaknya lega hatinya melihat perawan
itu tidak menangis lagi seperti sudah-sudah. Sudah tiga bulan lamanya dia mengeram
dara itu, akan tetapi setiap hari dara itu hanya menangis saja, makan
pun hanya setengah
dipaksa oleh para emban karena takut dara itu akan mati
kelaparan, dan mengganti pakaian dan mandi juga dilakukan dengan setengah paksa.
Malam hari ini, gadis itu duduk termenung, tidak menangis lagi!
Melihat kedatangan Progodigdoyo, dua orang emban itu dengan kenesnya, sambil
tersenyum-senyum dan saling lirik, meninggalkan kamar itu, membiarkan sang panewu yang kini menjadi pejabat adipati itu berdua saja dengan si perawan denok.
Progodigdoyo yang sudah berusia
empat puluh tahun itu duduk di atas kursi yang
ditariknya sehingga
dia berhadapan dengan Lestari yang duduk bersimpuh di atas
pembaringan. Sejenak
dia menatap wajah yang menunduk itu dan dia tersenyum,
terpesona karena perawan itu benar-benar mirip sekali dengan Galuhsari di waktu masih gadis!
Betapa cantiknya! Sinom rambut yang berikal itu semrawut berjuntai
di atas dahi yang yang melengkung dan halus. Alisnya seperti dilukis saja,
melengkung hitam panjang kecil seperti bulan muda baru mlai tampak. Hidungnya kecil menggemaskan, cupingnya yang kemerahan bergerak-gerak menyentuh perasaan.
Pipinya berkulit putih kuning halus kemerahan, segar dan mengar-mangar, dan
mulutnya! Seperti
setangkai mawar. Matanya dihias bulu mata yang panjang
melengkung.
Pandang mata Progodigdoyo menurun, ke leher, ke dada yang tampak membusung kecil itu, ke pinggang
yang ramping dan tanpa disadarinya tangan kanannya naik ke kumisnya
yang panjang melintang, memutir-mutir kumisnya dengan keasyikan yang penuh gairah,
membayangkan betapa akan nikmat dan senangnya kalau perawan ini mau menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Matanya yang lebar ini bersinar-sinar
dan hidungnya yang mbengol (besar tidak mancung) kembang-kempis, hidung yang bentuknya
menjadi ciri laki-laki yang gila perempuan, dan mulutnya bergerak-gerak
dengan senyum dikulum.
“Lestari, cah ayu… malam ini… hemm, kau tentu sudah insyaf dan mau melayani
aku, bukan? Engkau akan kujadikan
selir terkasih, atau…hemm, kalau kau menyenangkan
hatiku, mungkin
saja akan kucerai isteriku, atau kulorot dia menjadi selir tua dan engkau menjadi isteri adipati! Ha-ha-ha, engkau menjadi permaisuriku! Mau ya, manis?“ bujuknya,
seperti seorang tua membujuk seorang anak-anak yang akan dihadiahi
kembang gula. Dan memang sikap ini tidak dibuat-buat oleh Progodigdoyo
karena memang Lestari itu seorang perawan kecil, masih setengah kanak-kanak maka otomatis
sikapnya seperti kepada seorang kanak-kanak.
Sudah bosan dan muak Lestari
mendengar ucapan ini yang merupakan bujukan yang
selama berbulan-bulan ini hampir setiap malam didengarnya, baik keluar dari mulut wajah yang amat dibencinya
ini atau keluar dari mulut para emban. Akan tetapi saat itu dia menoleh
dan merasa amat lucu mendengar ucapan itu, yang selama ini dibencinya! Dia teringat akan masa lalu, di waktu pria ini masih menjadi sahabat
ayahnya, bahkan seperti seorang adik kandung ayahnya sendiri.
Pria ini selalu bersikap
manis terhadap dia dan ibunya, dan Sutejo, bahkan sering kali di waktu di masih kecil suka memangkunya, memondongnya. Dan diapun suka kepada paman Progo ini! Teringat
akan semua itu, Lestari menjadi binggung
dan merasa lucu! Konflik
jiwa berkecambuk di dalam batin perawan ini dan dia mulai berkata dengan kata-kata
halus, jauh berbeda dengan hari-hari kemarin di
mana dia selalu berteriak-teriak tidak sudi dan marah-marah. sambil menangis.
“Paman… paman Progo…“
Hampir terlonjak laki-laki itu saking girangnya. Ingin dia menubruk dan mendekap
perawan itu dan menciuminya saking bungah hatinya, akan tetapi sebagai seorang
laki-laki yang sudah banyak
pengalamannya dengan wanita, entah sudah berapa
puluh kali dia mendapatkan wanita-wanita muda, baik dan halus mau pun kasar,
dengan suka rela mau pun dengan paksa, dia menahan kesabarannya dan berkata
girang
“Lestari, sayang, apakah yang kau hendaki manis?“
“Paman Progodigdoyo, bukankah paman adalah sahabat baik dari mendiang ayahku Lembu Tirta?“
Pertanyaan yang halus dan keluar dari bibir yang manis itu sungguh-sungguh tak pernah disangkanya, akan tetapi dengan wajah berseri Progodigdoyo menjawab halus,
“Tentu saja, denok, tentu saja. Mendiang
ayahmu adalah sahabat baikku, sahabat
karib.“
“Kalau sahabat baik, kenapa engkau membunuh ayahku, paman?“
Mata Progodigdoyo terbelalak. Akan tetapi karena hal itu sudah diketahui pula oleh perawan
ini, dia pikir menyangkal pun tidak ada gunanya.
“Karena kami berebutan, manis, memperebutkan ibumu. Karena aku cinta ibumu dan kemudian
ayahmu yang berhasil memperisteri ibumu.“
“Paman mencinta ibuku?“
“benar, benar , sayang. Aku cinta pada ibumu.“
“Kalau paman Progo mencinta
ibu, mengapa paman melakukan… melakukan itu kepada
ibu dahulu itu…?“ Dia membayangkan peristiwa pemerkosaan itu dan matanya
terbelalak.
Wajah Progodigdoyo menjadi merah sekali. Dia menjadi binggung sehingga tidak melihat perobahan
pada wajah Lestari. Akan tetapi dengan lancar dia menjawab
pula,
“ahh, kau maksudkan
aku menggauli ibumu? Karena aku cinta padanya, itulah!
Karena aku cinta padanya, Lestari, seperti aku cinta padamu. Kau mirip sekali
dengan ibumu di waktu muda, malah lebih manis, maka aku tergila-gila kepadamu,
aku cinta padamu.“
“Kalau cinta bukan begitu, paman.”
“Habis bagaimana?“ Progodigdoyo menyerigai.
“Kalau paman mencinta
ibu, tentu paman membiarkan ibu hidup berbahagia dengan
ayah. Kalau paman mencintaku, tentu paman akan membebaskan aku.“
Progodigdoyo menjadi
jengkel. Kira-kira anak ini bersikap tenang hanya untuk
membantah pula.
“Lestari, jangan kau membikin aku kehilangan kesabaranku!“ Dia bangkit berdiri.
“Aku cinta padamu, tahukah kau? Karena kau mirip ibumu, karena kau lebih manis
dari ibumu. Kalau aku tidak cinta padamu,
apa kau kira aku sabar menunggu-nunggu
dan membujuk-bujuk sampai
berbulan-bulan lamanya? Kalau aku tidak cinta padamu,
tentu sudah sejak malam pertama itu kau kupaksa. Apa kau kira aku bisa memaksamu,
he? Lihat ini!“ Progodigdoyo menggerakkan tangannya dan di lain saat dia sudah mendekap
tubuh Lestari, kedua tangan Lestari ditekuk ke belakang tubuh sehingga
dada dara itu membusung ke depan. Lalu dengan buasnya Progodigdoyo menciumi
kedua pipi itu, hidung itu, dan mengecup bibirnya lama-lama serta mengggigitnya.
“Nah, kalau aku mau memaksamu, apa sukarnya? Tinggal merobek-robek pakaianmu!“
dia mendengus dan mendorong tubuh anak dara itu sehingga jatuh terlentang di atas pembaringan. Muka Lestari pucat sekali, matanya terbelalak lebar bibirnya
berdarah karena digigit dengan gemasnya oleh laki-laki yang sudah kesetanan itu. Napas Progodigdoyo terengah-engah.
“Kalau kau tidak mau melayaniku, aku tunggu sampai besok, hemm… terpaksa aku akan memperkosamu, akan memaksamu dan akan membuat engkau menjadi barang
permainanku! Akan tetapi
kalau kau menyerahkan diri dengan suka rela, engkau
akan menjadi isteriku
yang terhormat. Mengertikah engkau?“ bentaknya.
Lestari memandang dengan mata terbelalak tanpa berkedip, kemudian dia bangkit
duduk, lalu menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Progodigdoyo dan tiba-tiba
perawan ini tertawa!
“Heh-heh-hi-hi-hi, kau…kau lucu…, paman Progo! Ha-ha, mukamu lucu seperti…seperti tikus werok… ha-ha! Kau cinta pada ibuku dan kau membunuhnya? Kau cinta padaku dan kau ingin melihat aku menderita,
ingin mempermainkan tubuh ini? Heh-heh-hi-hi-hi,
kau… kau gila, paman Progo! Aku sudah bersumpah bahwa sekali saja engkau menodai
diriku, aku akan bunuh diri!“
Progodigdoyo memandang
dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perawan itu
mengalami tekanan
batin, guncangan batin yang hebat sehingga ada bahayanya akan
menjadi gila. Akan tetapi ucapan terakhir
dari Lestari itu membuatnya marah.
“Kau mau membunuh
diri? Huh, kau kira mudah? Para emban selalu menjaga dan aku mencegah
kau membunuh diri!“
Perawan itu tertawa lagi dan suara ketawannya
membuat Progodigdoyo bergidik.
Kini Lestari turun dari pembaringan dan menudingkan telunjuknya ke arah muka
Progodigdoyo sambil menghampirinya. Progodigdoyo bergidik dan melangkah mundur.
“Kau kira aku tidak mampu? Hi-hi-hik, Progodigdoyo, dengan mengigit putus lidahku sendiri pun aku akan mati. Siapa bisa mencegah
aku menggigit lidahku
sendiri? Akan tetapi sebelum
mati, aku akan lebih dulu membunuhmu, ha-ha-ha!“
Melihat keadaan
perawan itu, lenyaplah nafsu berani Progodigdoyo yang tadi berkobar
setelah dia mendekap tubuh yang gempal hangat dan mencium mulut yang manis itu. Kini dia menjadi
ngeri dan khawatir. Celaka, pikirnya. Lestari telah mulai gila!
“Emban!“ Teriaknya
dan dua orang emban yang tadinya mendengarkan di depan pintu
sambil mesem-mesem mengharapkan untuk mendengarkan suara yang “mesra“ seperti
telah mereka bayangkan, terkejut dan cepat-cepat mendorong daun pintu dan masuk!
“Jaga dia baik-baik, layani baik-baik!“ katanya dan bergegeas Progodigdoyo
meninggalkan kamar itu diiringi suara ketawa Lestari yang membuat kedua orang emban itu melongo.
Betapa banyaknya
manusia menyalah gunakan dan mengotori kata “cinta“ yang
sesungguhnya amat indah dan suci itu! Hampir semua orang mempunyai
pandangan Progodigdoyo, hanya saja bedanya, ada yang bersikap halus dan ada pula sebagian
orang yang bersikap
kasar seperti Progodigdoyo.
Cinta yang kita dengung-dengungkan selama ini, benarkah itu cinta namanya? Kalau kita berani
bersumpah bahwa kita mencinta seseorang, selalu kita menginginkan
agar orang yang kita cinta itu pun membalas
cinta kita, bahkan lebih dari itu, kita menginginkan bahwa orang yang kita cinta itu menyenangkan kita, melayani
kita, memenuhi hasrat kita dan juga kita menghendaki agar orang yang kita cinta itu jangan menoleh kepada orang lain! Kalau semua keinginan
ini dilanggar satu saja, tidak dipenuhi
satu saja, “cinta“ kita itu berubah menjadi kebencian yang
penuh dengan cemburu
dan kekecewaan! Apakah ini cinta? Ataukah ini hanya merupakan
suatu cara untuk memenuhi keinginan hati kita, yaitu memenuhi
kesenangan, baik kesenangan batin maupun lahir?
Di dalam urusan yang kita namakan “cinta“ itu, selalu kita arahkan atau maksudkan
kepada hubungan Sex (kelamin)! Seolah-olah dalam persoalan cinta kasih antara
pria dan wanita, hanya sex itulah isinya semata-mata! benarkah ini? Adapula yang mengatakan
bahwa cinta kasih adalah pengorbanan, atau kewajiban, dan lain-lain
sebutan lagi. Ada pula yang menganggap bahwa tanpa cemburu, tidak ada cinta kasih! Banyaklah
anggapan-anggapan kacau-kacau dikemukakan dan semua anggapan
itu hanya mempunyai satu dasar, yaitu untuk membela kepentingan si aku yang mengejar
kesenangan! Mengapa kita tidak berani membuka mata melihat segala
kepalsuan kita sendiri? Mengapa? Tanpa adanya kesadaran akan kepalsuan kita sendiri,
betapa mungkin kita akan dapat mengalami perobahan?
Jelaslah bahwa nafsu birahi bukanlah cinta kasih, juga bahwa cemburu,
kekecewaan, kebencian, dendam, kesengsaraan, permusuhan, semua ini tidak terkandung dalam cinta kasih dan bkan cinta kasih! Untuk dapat mengalami cinta
kasih, semua penghalang berupa camburu, kebencian, kepentingan pribadi atau
pengejaran kesenangan diri pribadi, semua ini haruslah lenyap sama sekali!
Hubungan Sex (kelamin) bukanlah sesuatu yang jahat, bukanlah sesuatu yag kotor!
Sama sekali bukan. Bahkan merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat wajar,
sesuatu yang amat suci apabila dilandasi oleh cinta kasih! Akan tetapi,
apabila hubungan
sex dijadikan pujaan, maka sesuatu yang murni itu akan berobah
menjadi sesuatu
yang amat kotor! Seperti halnya Progodigdoyo! Dia menjadi hamba
dari nafsu berahi, didorong oleh nafsu berahinya, yaitu untuk mengulang-ulang
lagi kesenangan dan kenikmatan
yang dialaminya dari nafsu berahi
ini, maka mulailah dia mengejar-ngejar dan dalam pengejaran kesenengan inilah terjadi kemaksiatan, terjadi CARA-CARA yang sesat dan kotor.
Di dalam cinta kasih yang murni tidak ada tidak ada unsur pendorong untuk kepentingan si aku, bahkan sama sekali tidak ada lagi si aku, tidak ada lagi
pengejaran kesenangan
untuk aku. Bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan
atau kenikmatan. Sungguh sama sekali tidak demikian. Bahkan siapa yang tidak
lagi mengejar-ngejar kesenangan, dia penuh dengan kesenangan. Siapa yang tidak
mengejar-ngejar kenikmatan, dia sudah penuh dengan kenikmatan.
Setelah tiba kembali
di dalam kamarnya sendiri, Progodigdoyo disambut oleh
isterinya, seorang
wanita yang cukup cantik akan tetapi bagi Progodigdoyo si hamba nafsu, perempuan ini kelihatan membosankan. Dari isteri ini dia memperoleh
dua orang anak, seorang laki-laki berusia dua belas tahun dan seorang perempuan
berusia sembilan tahun. Akan tetapi adanya dua orang keturunan ini tidak
mempererat hubungan
batin antara Progodigdoyo dengan isterinya itu.
Isterinya sudah mendengar
bahwa suaminya mengambil seorang selir baru, yang bernama Lestari, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lestari adalah puteri mendiang
Lembu Tirta, tidak tahu pula bahwa suaminya
telah memperkosa bahkan menyebabkan
kematian janda Lembu Tirta, yaitu Galuhsari. Disangkanya bahwa Lestari, perawan
berusia lima belas tahun ini, adalah
seorang perawan dusun yang cantik. Maka sebagai isteri seorang bangsawan, isteri ini pun tidak berani membantah, bahkan
ketika melihat suaminya datang, dia menyongsong dengan pertanyaan lembut,
“Sudah berhasilkah paduka mempersunting gadis itu, kakangmas?“
Berkerut alis Progodigdoyo, karena pertanyaan yang sejujurnya dan setulusnya ini
diterimanya sebagai
suatu ejekan.
“Diam, perempuan cerewet!“ bentaknya dan dia menghempaskan dirinya di atas kursi.
Isteri terkejut lalu cemburu.
“Ditanya baik-baik malah marah,” gerutunya sambil
pergi dari kamar menuju ke kamar anak-anaknya. Suaminnya akhir-akhir ini berobah
sikapnya dan dalam keadaan seperti ini, ibu ini mencari hiburan pada anak-anaknya.
Di dalam hatinya Progodigdoyo malah girang melihat isterinya pergi meninggalkan
seorang diri. Dia memutar otak, mencari akal. Dia memang tergila-gila kepada
kecantikan Lestari
yang mirip Galuhsari, akan tetapi setelah perawan itu memperlihatkan gejala penyakit gila, dan mengingat akan ancaman perawan itu,
lenyaplah seleranya.
“Baik, aku tidak bisa menikmatinya untukku sendiri, akan tetapi aku harus dapat
memanfaatkannya!“ akhirnya
dia mengepal tinjunya karena dia teringat kepada
paman gurunya, Resi Mahapati! Dia tahu bahwa paman gurunya itu, di samping
ketamakan akan kedudukan
dan kemuliaan,
juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk mendapatkan perawan-perawan muda dan cantik. Dan dengan kepandaiannya,
tentu paman gurunya itu akan dapat “menjinakkan“ Lestari, pikirnya. Di samping
dia dapat menyenangkan hati paman gurunya yang diharapkan untuk dapat menyokong
dan mendukungnya agar dia dapat diangkat
menjadi adipati di Tuban, menggantikan
Ronggo Lawe, juga kalau dia teringat
akan lenyapnya putera Lembu Tirta atau adik Lestari,
dia menjadi agak khawatir,
Oleh karena itu, kalau Lestari dia berikan
kepada Mahapati
untuk menjadi selirnya, kelak adik lestari kalau sampai
menimbulkan keributan, tentu akan berhadapan dengan paman gurunya itu. Setelah
memperoleh akal ini, lapanglah dada Progodigdoyo dan bergegas dia utusan seorang
kepercayaan untuk menyampaikan undangan kepada Resi Mahapati ke Tuban dengan pesan Khusus bahwa dia mempunyai
hidangan istimewa untuk paman gurunya itu.
Dua pekan kemudian, datanglah Resi Mahapati berkunjung ke Tuban. Sebagai paman guru Progodigdoyo, tentu saja kunjungan ini tidak menimbulkan kecurigaan kepada
Aryo Wirorojo yang masih dalam keadaan
berkabung sungguhpun puteranya, Ronggo
Lawe, telah gugur hampir empat bulan lalu. Tidak ada pula yang menduga yang bukan-bukan di dalam istana Progodigdoyo, padahal malam itu terjadi hal yang akan membikin marah hati setiap orang yang masih percaya akan kebenaan dan kebajikan
hidup.
Tepat seperti
yang dibayangkan oleh Progodigdoyo, begitu melihat Lestari, Resi
Mahapati menjadi
tergila-gila dan dia merasa girang sekali atas “budi kecintaan“
murid keponakannya yang telah memberinya “hadiah hidangan“ sehebat itu! Lestari
sendiri ketika dihadapkan dengan kakek bandot ini, merasa takut sekali, akan tetapi segera perawan
ini menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika dia terpengaruh oleh sihir ilmu hitam yang diterapkan oleh sang resi! Dan pada malam hari itu, Lestari
dalam keadaan seperti orang hilang ingatan, menyerahkan segala-galanya
kepada sang resi! Terjadilah malam yang penuh kemaksiatan dan kekejian di dalam
kamar itu dan pada keesokan harinya, barulah Lestari menangis sejadi-jadinya.
Namun semua telah terlambat.
Resi Mahapati merangkul dan menghiburnya.
“Bocah ayu, mengapa menangis? Engkau akan menjadi
selirku yang terkasih, engkau akan menjadi puteri terhormat dan
hidup mulia di Mojopahit, engkau kelak akan mejadi selir terkasih dari orang yang berkedudukan paling tinggi di Mojopahit. Bergembiralah atas nasibmu yang baik karena
engkau berkenan menggembirakan hati Resi Mahapati.“
Tentu saja hiburan ini tidak ada artinya bagi Lestari dan dia tentu sudah membunuh diri kalau saja Resi Mahapati tidak membuatnya tidak berdaya di bawah
pengaruh sihir dan ilmu hitamnya sehingga Lestari menjadi seperti seekor domba yang menurut
saja digiring ke pejagalan! Bahkan dia tidak membantah lagi ketika
tiga hari kemudian
dia diboyong ke Mojopahit oleh sang resi sebagai selir barunya yang tercinta!
Demikianlah, mulailah kehidupan baru bagi Lestari dan peristiwa yang
menghancurkan hatinya
ini bahkan membuatnya menjadi matang! Setelah beberapa
bulan kemudian, Resi Mahapati
tidak perlu lagi menggunakan ilmu hitamnya karena
kini Lestari bukan lagi Lestari
beberapa bulan yang lalu! Wanita muda ini sekarang
malah kelihatan girang, setiap hari bersolek dan kini dialah yang
menyihir Resi Mahapati
dengan segala kecantikannya dan kemudaannya! Lestari
telah mengorban seluruh perasaan hatinya, dan kini dia melihat terbukanya
kesempatan baginya
untuk membalas kepada semua orang yang telah menghancurkan
keluarganya, melalui Mahapati! Oleh karena itu, lebih dulu dia harus menundukkan
kakek ini dan biar pun dia tadinya hanya seorang perawan hijau dan bodoh, namun berkat anugerah
alam yang dimilikinya berupa wajah cantik jelita dan tubuh muda,
denok montok menggairahkan tidaklah terlalu sukar baginya untuk membuat Resi Mahapati
yang sakti mandaraguna itu bertekuk lutut kepadanya.
Memang banyak peristiwa
mengerikan dan menyedihkan terjadi di dunia ini. Semua itu ditimbulkan oleh ulah tingkah manusia yang selalu menuruti hawa nafsu pementingan diri sendiri, pengejaran kesenangan yang sesungguhnya hampa. Dunia berputar
terus dan peristiwa demi peristiwa terjadilah!
Aryo Wirorojo
atau Aryo Adikoro, lebih terkenal dengan sebutan banyak Wide,
bekas Bupati Sumenep
yang telah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mojopahit,
semenjak jaman Sang Prabu Kertanegara dia telah menjadi pengawal terpercaya
bahkan dianggap murid oleh Sang Prabu Kertanegara, sampai ketika Raden Wijaya memperjuangkan raja bergelar Kertarajasa Jayawardhana, di waktu mana Aryo Wirorojo
juga memiliki jasa yang amat besar sekali. Karena jasa-jasanya yang amat besar itulah, maka di waktu Raden Wijaya menjadi raja, beliau pernah
berjanji bahwa kelak dia akan memberikan
sebagian dari bumi Mojopahit kepada
Aryo Wirorojo.
Setelah puteranya
gugur dalam peristiwa pemberontakan atau lebih tepat dalam
peristiwa pertikaian
puteranya dengan Patih Nambi, Aryo Wirorojo menjadi kendur
semangatnya. Maka pada suatu hari, menghadaplah Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo
ini ke hadapan
Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana dan mengingatkan sang prabu akan janjinya
itu.
Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana menerima peringatan ini dengan
hati ikhlas. Semenjak gugurnya
Ronggo Lawe, hati sang prabu,
selalu merasa menyesal dan berduka.
Apalagi kalau dia teringat akan
jasa Aryo Wirorojo dan ronggo
Lawe sendiri, dan mengingat
pula betapa dalam peristiwa itu, biar pun puteranya
sampai gugur,
Aryo Wirorojo tidak pernah memperlihatkan sikap melawan Mojopahit
atau membela puteranya. Bahkan Lembu Sora, senopati yang menjadi adik Aryo Wirorojo,
juga membela Mojopahit dan menentang keponakannya sendiri. Kini,
mendengar peringatan Aryo Wirorojo, sang prabu menerimanya dengan hati terbuka
dan segera dikumpulkannya semua pembantu dan penasihatnya dan beliau segera
mengumumkan pembagian bumi Mojopahit! Wilayah Kerajaan Mojopahit sebelah timur,
terus ke selatan sampai ke Laut Kidul, diserahkan kepada Aryo Wirorojo atau Aryo
Adikoro atau Banyak Wide!
Maka berangkatlah Aryo Wirorojo membawa semua keluarganya, termasuk cucunya,
Kuda Anjampiani atau juga disebut Raden Turonggo, ke Lumajang yang dijadikan kota raja dan di mana dia berdiri sendiri sebagai seorang adipati
atau seorang raja muda yang merdeka.
Dia tidak lagi menjadi kawula Mojopahit dan tidak lagi diharuskan menghadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana! Betapa pun juga Aryo Wirorojo
selalu bersikap baik dan hormat kepada Mojopahit sehingga selama dia menjadi
Adipati Lumajang, tidak pernah terjadi keributan antara dia pribdi dan raja di Mojopahit.
Peristiwa pembagian
tanah di Mojopahit ini merupakan penghindaran malapetaka
karena andaikata Sang Prabu Mojopahit tidak bijaksana, maka bahaya peberontakan
kiranya tak dapat dihindarkan lagi! Maka setelah aryo Wirorojo memboyong
keluarganya ke Lumajang dan menjadi Adipati Lumajang, kelihatan keadaan Kerajaan
Mojopahit menjadi tentram dan penuh damai, seolah-olah tidak pernah terjadi
pemberontakan Tuban dan tidak akan terjadi sesuatu untuk selamanya.
Akan tetapi, ketentraman itu hanyalah kelihatannya saja. Tanpa ada yang
mengetahuinya, awan gelap sedang berkumpul
mengancam kecerahan udara di atas
Kerajaan Mojopahit! Awan tebal ini muncul dari dalam gedung tempat kediaman Resi Mahapati!
Sebagai seorang di antara kepala-kepala agama, yaitu agama pemuja Dewa Syiwa, seperti
kepala-kepala agama cabang lain, Resi Mahapati telah mendapatkan
kedudukan yang cukup tinggi. Akan tetapi cabang agama pemuja Dewa Syiwa ini bukan merupakan
golongan yang terbesar dan kuat, maka Resi Mahapati tidaklah
puas dengan kedudukan yang dipeolehnya. Diam-diam dia menanam cita-cita yang amat besar, yaitu untuk memperoleh
kedudukan tertinggi di bawah kekuasaan sang prabu,
mengatasi para ponggawa yang lain. Akan tetapi, dia melihat betapa kuatnya
kedudukan para senopati di Mojopahit, dan betapa sulitnya mencapai cita-citanya
kalau masih ada para tokoh Mojopahit yang setia dan tentu akan menghalangi semua
cita-citanya itu.
Oleh karena itulah, maka di dalam peristiwa pemberontakan Ronggo Lawe, Resi Mahapati
memegang peranan penting dan dia telah mempergunakan akalnya yang licik,
tipu muslihat mengadu
domba dengan cara yang curang, yaitu mempergunakan Maruto
yang menjadi orang kepercayaannya. Seperti telah diceritakan di bagaian depan, Maruto ini membakar hati Ronggo Lawe, kemudian melaporkan kepada sang prabu
menyamar sebagai
seorang perajurit penjaga tapal batas. Kemudian, karena tahu bahwa Maruto bukan seorang yang boleh dipercaya sepenuhnya, agar rahasianya itu
tidak sampai ada yang tahu, dengan kejamnya dia membunuh Maruto, pembantunya ini.
Sekarang, dengan mempergunakan kedudukannya dan terutama ilmu kepandaian yang tinggi,
Resi Mahapati berhasil menghimpun banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka ini siap melakukan segala macam perintahnya dan Resi
Mahapati dengan
gerombolannya ini merupakan kekuatan rahasia yang bersembunyi di dalam kerajaan
Mojopahit.
No comments:
Post a Comment