Thursday, April 2, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 12



"Benar, dan aku pun agaknya tidak akan mencampuri pertandingan antara mereka. Buktinya, sampai Ronggo Lawe kalah pun aku tidak membantunya. Hanya saja, aku melihat kecurangan yang dilakukan Kebo Anabrang dalam pertandingan itu. Dia sengaja memancing Ronggo Lawe ke tengah sungai Tambakberas dan mengandalkan kepandaiannya di dalam air, dia menyeret Ronggo Lawe ke dalam air dan menanamkannya, kemudian menyiksanya. Hatiku tidak kuat menyaksikan itu, maka kubunuh dia. Andaikata pertempuaran itu terjadi sewajarnya, di darat seperti seorang gagah menghadapi lawannya, biar pun bagaimana aku tidak nanti akan mencampurinya."
Tumengung Singosardulo masih belum hilang kagetnya.
"Akan tetapi... desas-desus itu mulai terdengar ke mana-mana, bagaimana kalau terdengar oleh sang prabu...?"
Dengan tenang Lembu Sora menjawab,
"Aku sudah berani berbuat, tentu berani pula menanggung segala akibatnya, dimas tumenggung. Hal itu sudah terjadi, dan apa pun yang akan menjadi akibat, akan kuhadapi sendiri."
Tumenggung Singosardulo lalu berpamit dan tergopoh-gopoh dia menghubungi Resi Mahapati untuk menyampaikan berita penting tentang pengakuan Lembu Sora itu.
Resi Mahapati tertawa girang.
"Nah, kau tunggu apa lagi, Tumenggung Singosardulo? Sekarang engkau telah mendengar sendiri dari mulut Lembu Sora. Nah, sebarkanlah berita ini ke lingkungan istana. Ha-ha-ha, Lembu Sora nyawamu telah berada di tanganku, ha-ha!”
Akan tetapi, Tumenggung Singosardulo masih merasa segan terhadap Deman Lembu Sora, maka dia bertanya,
"Paman resi, untuk memperoleh kedudukan tinggi saya kira semestinya kalau kita menyingkirkan Patih Nambi, akan tetapi mengapa kakangmas Demang Lembu Sora?"
Tiba-tiba Resi Mahapati menghentikan ketawanya dan memandang bengis ke arah tumenggung itu.
"Singodardulo Engkau hanya tahu membantuku dan kelak akan kebagian kedudukan yang baik, mengapa banyak cerewet?"
Tumenggung itu terkejut. Dia memang takut kepada resi ini dan sudah berada di bawah pengaruhnya, maka cepat dia berkata,
"Harap maafkan, paman resi..."
Resi Mahapati tersenyum, lalau berkata, suaranya berubah halus,
"Kau percayakanlah saja  kepadaku, Tumenggung Singosardulo. Bukan semata-mata aku memusuhi Lembu Sora  tanpa sebab yang kuat. Sudah kuperhitungkan masak-masak. Kau tahu, andaikata kita  berhasil menyingkirkan Patih Nambi, siapa yang menjadi calon terkuat untuk menggantikan kedudukan patih itu? Bukan lain si Lembu Sora itulah! Karena itu, dia harus disingkirkan lebih dulu karena kita mempunyai alasan kuat setelah dosanya itu berada di tangan kita. Untuk menyingkirkan Nambi masih belum begitu mudah karena belum ada alasannya. Nah, sekarang berangkatlah dan sebarkan berita tentang pengakuan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang itu."

Setelah tumenggung itu pergi, Resi Mahapati kembali ke kamarnya di mana telah menunggu Lestari dan seperti biasa, kini resi itu menuturkan segala percakapannya dengan Tumenggung Singosardulo tanpa menyembunyikan sesuatu. Semenjak rayuan Lestari malam sekembalinya dari Tuban itu, Resi Mahapati mempercayai selirnya ini, bahkan dia mendapat kenyataan akan kecerdikan selirnya yang masih amat muda ini dalam mengatur siasat, maka dia tidak segan-segan untuk mendengarkan pendapat dan nasehat selirnya yang tercinta.
"Kakangmas resi," kata Lestari setelah dia mendengarkan penuturan tentang pengakuan Lembu Sora itu.
"Saya mendengar bahwa Lembu Sora adalah seorang yang amat kuat kedudukannya, disayang oleh sang prabu dan mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu, paduka harus hati-hati, kakangmas dan sebaliknya jangan menentang secara berterang."
Resi Mahapati mendengarkan dengan kagum dan merangkul selirnya dengan hati bangga dan penuh kemesraan.
"Kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya, Lestari?"
"Sebaiknya kalau paduka bekerja ditempat gelap dan hanya dengan cara mengadu domba saja maka siasat paduka akan berhasil. Bukankah mendiang Kebo Anabrang mempunyai putera yang sudah dewasa?"
"Benar, namanya Joko Taruno," jawab Mahapati.
"Nah, rahasia kematian Kebo Anabrang ini harus disampaikan kepada Joko Taruno itu agar bangkit dendamnya terhadap Lembu Sora."
"Akan tetapi, apakah yang dapat dilakukan oleh Joko Taruno itu agar bangkit dendamnya terhadap Lembu Sora."
"Setidaknya dia dapat menyalakan api permusuhan terhadap Lembu Sora, kakangmas resi. Dan sebaiknya kalau paduka membayangkan kepada sang prabu bahwa para ponggawa mereka tidak puas melihat betapa sang parbu bersikap baik terhadap Lembu Sora yang telah berkhianat dan membunuh Kebo Anabrang. Pendeknya, tentu paduka dapat mengobarkan kemarahan di hati sang prabu terhadap Lembu Sora. Dilain pihak, paduka dapat mengusik hati Lembu Sora dengan mengatakan bahwa putera Kebo Anabrang dibantu oleh Nambi akan membalas dendam. Pendeknya, dengan cara mengaduk sana-sini, tentu menimbulkan kekeruhan suasana itu, kiranya akan mudah saja untuk menyingkirkan Lembu Sora atau membuat Lembu Sora memberontak terhadap Mojopahit."
"Hebat..., hebat...!" Resi Mahapati girang sekali dan mengelus rambut kepala yang hitam halus dan berbau harum itu.
"ah, agaknya Hyang Bathara Syiwa telah memberkahi aku dengan munculnya seorang seperti engkau dalam hidupku, Lestari. Engkau cantik jelita, cerdik pandai... ah, betapa bahagia hatiku."
"Saya hanya ingin melihat paduka memperoleh kedudukan yang tertinggi dan saya akan ikut merasakan kemuliaan paduka, kakangmas resi."
Hati sang resi makin menjadi girang dan dia segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan siasat yang direncanakan bersama selirnya itu. Dikumpulkannya para pembantunya yang setia dan dikirim banyak mata-mata untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang yang menjadi sasarannya, terutama sekali gerak-gerik Patih Nambi, Joko Taruno dan Lembu Sora.

Resi Mahapati tidak bertindak tergesa-gesa. Jaring itu mulai dipasangnya dengan teliti dan rapat, karena dia ingin agar sekali bertindak akan memperoleh hasil yang sebaiknya. Dia maklum bahwa dia sedang mainkan suatu pekerjaan yang amat berbahaya dan kegagalan berarti bunuh diri, maka dia memperhitungkannya masak-masak dan tidak mau bertindak secara sembrono, menanti saat dan kesempatan yang sebaik mungkin.
Sementara itu, secara halus pula, tidak kentara dan tidak menyolok sehingga tidak  ada yang tahu atau menduga bahwa sumbernya dari dia, Tumenggung Singosardulo mulai menyebarkan berita tentang rahasia kematian Kebo Anabrang yang sesungguhnya tewas di tangan Lembu Sora. Hebat sekali desas-desus ini, seperti api dikipas angin, melanda seluruh istana, bahkan seluruh penduduk kota raja dalam waktu beberapa bulan saja sudah membicarakannya dengan bisik-bisik dan dengan penuh ketegangan, kemudian berita itu menjalar ke luar kota raja. Akan tetapi, tidak ada yang berani membicarakan desas-desus.
Lembu Sora sendiri yang tahu akan adanya desas-desus itu, hanya tenang dan dengan sikap gagah dan menanti akibat daripada perbuatannya itu. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan, tak lama kemudian, yaitu kurang lebih dua tahun setelah kematian Ronggo Lawe dan beberapa bulan setelah Aryo Wirorojo pindah ke Lumajang dan menjadi adipati di sana, Lembu Sora lalu mengungsikan keluarganya ke Lumajang sungguh pun dia sendiri masih tetap berada di Mojopahit dan setiap pertempuran selalu menghadiri di hadapan sang prabu dengan setia.

"Paman empu dan paman resi, matahari mulai condong ke barat, kita harus mempercepat perjalanan kalau tidak kita akan kemalaman di hutan itu," kata Reksosuro yang jangkung bermata juling itu.
Mereka itu semua naik kuda. Reksosuro, pembantu resi Mahapati dan lima orang pengawal lain yang ke semuanya memiliki kepandaian tinggi. Enam orang ini mengiringkan dua orang kakek yang juga menunggang kuda dan melihat dua orang kakek itu menjalankan kuda perlahan-lahan sambil bercakap-cakap Reksosuro yang takut kemalaman di hutan itu membujuk mereka berdua agar mempercepat perjalanan.
Dua orang kakek itu adalah Empu Tanjungperak dan Resi Harimurti. Empu Tanjungperak adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati. Dia adalah seorang pertapa di pertapaan Tanjungperak yang terletak di Pantai Laut Jawa, di sebelah barat laut Tuban. Beberapa hari yang lalu, Reksosuro bersama lima orang kawannya datang menghadap kepada Empu Tanjungperak menyerahkan surat undangan Resi Mahapati untuk kakak seperguruannya ini. Kebetulan sekali pada waktu itu, di pertapaan Tanjungperak sedang kedatangan seorang tamu, yaitu Resi Harimurti, seorang sahabat baik Empu Tanjungpetak, bahkan sudah mengenal pula Resi Mahapati dengan baik. Oleh karena itu, Empu Tanjungpetak lalu mengajak Resi harimurti untuk bersama-sama pergi mengunjungi Resi Mahapati di Mojopahit.

Demikianlah, dua orang kakek yang terkenal memiliki kesaktian ini lalu diiringi oleh Reksosuro dan lima orang temannya, menuju ke Mojopahit dan pada sore hari itu mereka telah tiba di kaki Gunung Kendeng yang kaya akan hutan-hutan liar.
Bagi Reksosuro dan kawan-kawannya, perjalanan itu terlalu lamban, akan tetapi agaknya dua orang kakek itu lebih suka melakukan perjalanan lamban sambil menikmati pemandangan alam yang indah di sepanjang perjalanan sambil bercakap-cakap.
"Reksosuro apa halangannya kalau kemalaman di dalam hutan?" Empu Tunjungpetak menjawab.
"Melewatkan malam di hutan lebih menyenangkan. Kalian pergilah lebih dulu ke hutan itu, menanti kami di sana kalau perjalanan kami terlalu lambat bagi kalian."
"Baik, paman empu," jawab Reksosuro yang memang tidak sabar mengikuti perjalanan yang seenaknya dan perlahan-lahan itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan menggeprak kudanya, maka membedalnya enam ekor kuda itu di depan, ke arah hutan yang nampak bergerombol dari situ. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan dua orang kakek itu.
Setelah tiba dihutan, Reksosuro dan teman-temannya meloncat turun dari atas panggung kuda masing-masing membiarkan tunggangan-tunggangan mereka makan rumput dan mereka sendiri duduk beristirahat melepaskan lelah.
"Wah, sialan!" Reksosuro mengomel.
"Mengikuti orang tua bangka itu sungguh menjemukan. Tidur di hutan, makan seadanya dan kita sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengaso dan bersenang-senang. Celaka, sekarang kita harus bermalam di dusun kan kita bisa mencari anak perawan yang boleh disuruh memijati tubuh yang lelah."
"Yang ada di sini hanya lutung (monyet hitam)!" kawannya mengomel.
"Kalau kau telah boleh menangkap lutung betina, suruh memijati..." seorang teman menggoda.
"Memijati hidungmu!" Reksosuro memaki
"Aku heran sekali mengapa Sang Resi Mahapati mengudang kakek-kakek seperti itu!"
"Eh, kakang Reksosuro, apa kau lupa bahwa Sang Resi Mahapati sendiri juga seorang kakek-kakek?"
"Ah, kalau beliau lain lagi," bantah si jangkung juling.
"Biar pun usianya sudah lanjut, akan tetapi tenaga dan semangatnya melebihi orang muda. Lihat saja, kalau tidak begitu masa selirnya yang cantik itu menjadi begitu tunduk dan mencinta? Wah, beliau hebat sekali... ha-ha!" Dan mereka semua tertawa oleh kata-kata yang mengandung arti kecabulan itu.
"Siapa tahu kalau yang dua ini pun hebat!"
"Mestinya begitu karena paman Empu Tanjungpetak adalah kakak seperguruan Sang Resi Mahapati. Akan tetapi kelihatannya begitu loyo dan lemas, tidak seperti sang resi."
Mereka bercakap-cakap sambil melepaskan lelah dan menanti datangnya dua orang kakek yang tertinggal jauh sekali dan masih kelihatan jauh sekali dan masih belum kelihatan bayangannya itu. Tiba-tiba enam orang itu terkejut dan menoleh ke dalam hutan penuh perhatian, wajah mereka mendadak tidak lesu lagi, bahkan bersemangat. Mereka mendengar suara orang, suara wanita! Suara wanita yang merdu menembang! Tembang Asmaradana yang mengisahkan Prabu Ramawijaya menangis, meratap, mengeluh karena kehilangan Dewi Shinta.

Enam orang itu saling pandang dan mereka kagum sekali karena suara itu memang merdu dan terdengar amat janggal di dalam hutan yang lebat dan liar itu. Akan tetapi wajah mereka tegang dan gembira. Wanita yang dapat bertembang semerdu itu tentulah masih muda, dan sepantasnya cantik!
"Wah, dia tentu muda dan cantik...!" Reksosuro berkata mengutarakan suara hatinya yang menduga-duga.
"Belum tentu, kakang Reksosuro. Sudah sering sekali aku keliru, mendengar suara yang amat merdu akan tetapi orangnya jelek!" bantah temannya.
Akan tetapi tidak ada yang menanggapi karena semua mata kini memandang ke dalam hutan. Suara tambang itu telah berhenti karena telah habis, akan tetapi kini muncul seorang dara remaja yang membuat enam orang itu menahan napas. Dara remaja itu usianya kurang lebih empat belas tahun dan tubuh yang dibungkus pakaian sederhana itu seperti buah mangga yang sedang ranum, matang belum akan tetapi mentah pun tidak, sedang segar-segarnya untuk dimakan dengan sambal pedas! Kulitnya kuning langsat dan halus, akan tetapi di balik kulit tipis halus bersih itu mengandung kepadatan yang berisi, dengan urat-urat merah halus membayang di balik kulit. Kakinya yang telanjang kelihatan bersih, seolah-oleh tidak pernah menginjak tanah becek. Tangan kirinya memondong seikat kelapa muda dan pisang, sedangkan tangan kanannya membawa setangkai bunga mawar merah yang besar dan segar. Wajahnya bulat lebat dan panjang merupakan mahkota hidup yang indah menghias wajahnya. Sepasang matanya berkilat dan pandangnya tajam sekali, hidungnya kecil mancung dan mulutnya yang berbibir merah semringah itu selalu tersenyum. Pembawaan dara ini gembira dan jenaka, dapat dilihat dari senyum bibirnya dan sinar matanya, akan tetapi segala sesuatu di depannya, senyum sinis yang hanya dapat timbul dari seorang manusia yang telah banyak menderita kepahitan dan kekecewaan dalam hidupnya. Sukar mengatakan apakah dara remaja ini cantik dan manis, apakah ayu. Pendeknya semua itu ada padanya! Pada lehernya nampak seuntai kalung emas yang disambung dengan tali lawe sehingga tergantung panjang, dan hiasan kalung tersembunyi di antara buah dadanya yang mulai membusung tersembunyi di balik kain.

Enam orang yang memang selama dalam perjalanan diutus ke Tanjungpetak itu telah merasa kesepian dan kehilangan hiburan wanita yang ketika di kota raja hampir setiap malam mereka nikmati, tentu saja memandang ke arah dara remaja itu seperti pandang mata orang-orang kehausan melihat air sejuk jernih. Pandang mata mereka seolah-olah hendak menelan dara itu bulat-bulat!
"Amboii... cantiknya!"
"Ayu manis dan mulus...!"
"Denok montok menggairahkan!"
"Manis, mari ikut dengan aku dan aku akan menceraikan biniku!"
"Sayang, menembanglah lagi... suaramu merdu..."
Enam orang itu ribut memuji-muji, akan tetapi dara remaja itu seperti terpesona oleh  Reksosuro dan sejak tadi dia terus memandang kepada si jangkung juling ini, bahkan  kini dia melangkah perlahan menghampiri. Langkahnya ini membuat mereka menelan  ludah karena begitu lemah gemulai lenggangnya sehingga menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang ranum dan belum matang benar namun setiap seginya menjanjikan  bentuk-bentuk yang tentu amat mempesonakan dalam beberapa tahun lagi. Kini dara itu berdiri dekat Reksosuro, wajah laki-laki itu terus diamatinya penuh  perhatian, penuh selidik dan tak pernah berkedip sejak tadi setengah terbuka  mengulum senyum, bergerak ketika bicara dan nampaknya sekilas deretan giginya  yang kecil putih teratur rapi. "Bukankah andika ini Reksosuro!" teriaknya. Reksosuro membusungkan dadanya yang kerempeng, mengurut kumisnya dengan bangga dan matanya yang juling itu sukar dikatakan melihat atau melirik ke mana karena mata ini selalu melirik ke arah yang tidak sedang dipandangnya. Kemudian dia berkata dengan suara digagah-gagahkan.
"ah, bocah ayu kuning... kiranya engkau telah mengenal namaku? Ha-ha, wajahmu yang manis ini memang tidak asing bagiku, akan tetapi aku telah lupa lagi di mana aku pernah bertemu dengamu, perawan ayu!"
"ah, benarkah engkau telah lupa, Reksosuro? Dan mana kawanmu itu yang bernama Darumuko?"
"Eh, kau mengenal dia juga? Siapa kau dan mau apa kau mencari kami?" Reksosuro mengingat-ingat akan tetapi tetap saja dia lupa. Dara itu tersenyum manis bukan main melebihi madumongso, lalu dia melangkah maju mendekat ke depan reksosuro sehingga pria ini menjadi makin tertarik.
"Aku ingin memberi hadiah ciuman!" teriak seorang temanya.
"Dan jangan pelit, kakang Reksosuro, beri bagian sedikit-sedikit kepada kami!"
Reksosuro yang sudah kegirangan itu menggerakkan tangan menyuruh teman-temannya diam, lalu dia bertanya,
"Cah ayu, hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?"
Dara itu menggerakkan setangkai bunga mawar yang dipegang di tangan kanannya, lalu berkata,
"Hadiah ini..."
"kembang...?”
Tiba-tiba dara itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bunga mawar dan tangan yang berkulit halus mulus dan bentuknya kecil mungil dengan jari-jari tangan panjang meruncing itu menyambar dengan kecepatan kilat ke arah muka reksosuro.
"Prakkkk...! Aduhhhh!!" Tubuh reksosuro terpelanting dan dia terbanting roboh, mengaduh-aduh dan memegangi rahangnya yang ternyata telah pecah terkena sambaran tangan kecil itu. Tulang rahangnya patah dan bibirnya pecah-pecah berdarah!
"Itu untuk penghinaanmu kepadaku, jahanam. Dan kini nyawamu kucabut untuk membalaskan penghinaanmu atas jenazah mbakayuku!" Dara itu berkata.

Sekarang teringatlah Reksosuro dan matanya yang juling itu tebelalak dan makin menjuling. Inilah Sulastri, adik Winarti yang dulu ditangkapnya akan tetapi ditolong oleh Setan Jembros itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki sambil memegangi rahangnya dan suaranya menjadi pelo.
"Kawan-kawan... tangkap dia!" Reksosuro menahan rasa nyeri pada rahangnya dan dia sudah meloncat bangun. Lima orang pengawal yang menjadi anak buah Reksosuro terkejut bukan main melihat gadis cantik itu menampar muka Reksosuro sampai si juling itu terpelanting. Mereka merasa heran karena mereka maklum bahwa Reksosuro memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kekebalan, kenapa sekarang ditampar seorang dara remaja seperti itu saja sampai terpelanting dan mulutnya berdarah? Mereka masih tidak tahu betapa Reksosuro menderita lebih hebat lagi karena tulang rahangnya telah patah! Kini mendengar teriakan Reksosuro untuk menangkap dara yang cantik itu, tentu saja mereka menjadi girang dan seperti lima ekor kucing kelaparan melihat seekor tikus gemuk, mereka menubruk seperti berlomba untuk menangkap dan mendekap dara remaja menggairahkan itu.
Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, Sulastri bergerak cepat sekali dan semua tubrukan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan dua orang yang menubruk dari dua arah yang berlawanan saling tubruk sehingga mereka saling beradu, menimbulkan benjol sebesar telur ayam pada dahi mereka! Barulah mereka terkejut sekali dan cepat mereka membalikkan tubuh dan menubruk lagi dara yang tersenyum mengejek sambil bertolak pinggang itu. Kini Sulastri telah melemparkan kelapa dan pisang, juga kembang mawar merah ke atas tanah dan dia menanti mereka dengan kedua tangan di pinggang, sikapnya angkuh akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek.
Ketika lima orang menubruk lagi, dia tidak mengelak seperti tadi, melainkan menggerakkan kaki tangannya secara teratur menurut ilmu silat yang tinggi dan gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dahsyat.
"Palak-plak-plak-desss!!" Lima orang itu terpelanting dan mereka cepat meloncat bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah jagoan-jagoan yang kuat, akan tetapi mereka hampir tidak melihat bagaimana mereka sampai terpelanting ketika tangan dan kaki dara itu menyambar-nyambar seperti halilintar mengamuk.
"Bunuh dia...! Dia adalah adik Sri Winarti itu yang dicari-cari oleh sang resi! Kalau bisa tangkap hidup-hidup, kalau tidak bisa bunuh...!!" Reksosuro berteriak akan tetapi matanya yang juling melihat ke kanan kiri karena dia merasa ngeri dan takut memikirkan Ki jembros. Jangan-jangan kakek itu berada di situ! Dengan keris Kyai Bandot di tangannya. Reksosuro lalu maju dan bersama-sama lima orang temannya yang kesemuanya sudah mencabut keris, dia mengurung Sulastri yang masih berdiri dengan sikap tenang.

Bibir yang manis dari dara remaja itu tersenyum.  
"Hemm, Reksosuro, kau pengecut besar! Tanpa mencarimu ke Mojopahit, sekarang engkau telah mengantar nyawa! Aku harus membunuhmu, mencongkel keluar matamu yang juling itu. Akan tetapi engkau mengandalkan pengeroyokan kawan-kawanmu. Heh, mundurlah kalian berlima, kalau tidak kalian juga akan mati konyol!"
Akan tetapi tentu saja lima orang pengawal jagoan itu tidak menjadi gentar. Mereka adalah jagoan-jagoan dan mereka berenam membawa keris, menghadapi seorang dara remaja tentu saja mereka tidak menjadi takut.
"Kakang Reksosuro, iblis betina cilik ini sungguh liar. Mari kita tangkap dia beramai-ramai menjinakkan dia. Kalau tidak kita jinakkan, dia tentu akan makin sombong dan bertingkah!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan berkepala besar.
Biar pun tulang rahang-rahangnya yang patah menimbulkan rasa nyeri bukan main, akan tetapi karena dia ingin menyerahkan dara ini hidup-hidup kepada resi Mahapati, Reksosuro berkata dengan suara pelo karena mulutnya terasa nyeri bukan main kalau bergerak untuk bicara,
"Sulastri, lebih baik kau menyerah kami tangkap dan kami haturkan kepada sang resi. Melawan pun akan percuma dan dari pada kau mampus atau terluka..."
"Monyet juling! Engkau yang sudah berada di ambang pintu neraka masih berani mengancam aku?" Sulastri mengejek. Dara ini sungguh telah berobah banyak sekali. Empat tahun lebih dia menjadi murid Ki Jembros, hidup menentang banyak sekali kekerasan alam dan kesukaran, digembleng secara istimewa oleh Ki Jembros yang aneh dan kini, dalam usianya yang masih remaja, empat belas tahun, Sulastri telah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu yang aneh-aneh dan yang hebat-hebat, ilmu kedigdayaan dan gerakan-gerakan silat, juga bermacam ilmu kekebalan. Dara remaja yang pada dasarnya sejak kecil memiliki keberanian luar biasa ini, yang sejak kecil mengalami kesengsaraan dan rasa penasaran, kini berubah menjadi seekor singa betina muda yang berbahaya!
"Serbu...!" Reksosuro membentak kaku dan teman-temannya mulai bergerak, memperketat lingkaran yang mengurung diri Sulastri. Keris di tangan mereka menodong ke arah Sulastri penuh ancaman. Dara itu melirik ke atas tanah, melihat betapa tanah di kaki pengunungan itu mengandung pasir, maka dia tersenyum lalu cepat tubuhnya bergerak merendah. Gerakan yang tiba-tiba ini membuat enam orang pengurungnya waspada, akan tetapi mereka tidak melihat gadis itu menyerang mereka, maka mereka lalu melangkah maju mendekati Sulastri yang masih berlutut dengan tangan menyentuh tanah itu.

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 13