"Benar, dan aku pun agaknya tidak akan mencampuri
pertandingan antara mereka.
Buktinya, sampai Ronggo Lawe kalah pun aku tidak membantunya. Hanya saja, aku
melihat kecurangan yang dilakukan Kebo Anabrang dalam pertandingan itu. Dia
sengaja memancing
Ronggo Lawe ke tengah sungai Tambakberas dan mengandalkan
kepandaiannya di dalam air, dia menyeret Ronggo Lawe ke dalam air dan menanamkannya, kemudian menyiksanya. Hatiku tidak kuat menyaksikan itu, maka kubunuh dia. Andaikata
pertempuaran itu terjadi sewajarnya, di darat seperti
seorang gagah menghadapi lawannya, biar pun bagaimana aku tidak nanti akan mencampurinya."
Tumengung Singosardulo masih belum hilang kagetnya.
"Akan tetapi...
desas-desus itu mulai terdengar
ke mana-mana, bagaimana kalau terdengar oleh sang prabu...?"
Dengan tenang Lembu Sora menjawab,
"Aku sudah berani berbuat,
tentu berani pula menanggung
segala akibatnya, dimas tumenggung. Hal itu sudah terjadi, dan apa pun yang akan menjadi
akibat, akan kuhadapi sendiri."
Tumenggung Singosardulo lalu berpamit dan tergopoh-gopoh dia menghubungi Resi Mahapati
untuk menyampaikan berita penting tentang pengakuan Lembu Sora itu.
Resi Mahapati tertawa girang.
"Nah, kau tunggu apa lagi, Tumenggung
Singosardulo? Sekarang
engkau telah mendengar sendiri dari mulut Lembu Sora. Nah, sebarkanlah
berita ini ke lingkungan istana. Ha-ha-ha, Lembu Sora nyawamu telah berada di tanganku,
ha-ha!”
Akan tetapi, Tumenggung Singosardulo masih merasa segan terhadap Deman Lembu
Sora, maka dia bertanya,
"Paman resi, untuk memperoleh
kedudukan tinggi saya kira semestinya kalau kita menyingkirkan Patih Nambi, akan tetapi mengapa
kakangmas Demang
Lembu Sora?"
Tiba-tiba Resi Mahapati
menghentikan ketawanya dan memandang bengis ke arah tumenggung
itu.
"Singodardulo Engkau hanya tahu membantuku
dan kelak akan kebagian
kedudukan yang baik, mengapa banyak cerewet?"
Tumenggung itu terkejut.
Dia memang takut kepada resi ini dan sudah berada di bawah pengaruhnya, maka cepat dia berkata,
"Harap maafkan,
paman resi..."
Resi Mahapati tersenyum, lalau berkata, suaranya berubah halus,
"Kau percayakanlah saja kepadaku, Tumenggung Singosardulo. Bukan semata-mata aku
memusuhi Lembu Sora tanpa sebab yang kuat. Sudah kuperhitungkan masak-masak. Kau tahu, andaikata
kita berhasil menyingkirkan Patih Nambi, siapa yang menjadi
calon terkuat untuk menggantikan kedudukan patih itu? Bukan lain si Lembu Sora itulah! Karena itu, dia harus disingkirkan lebih dulu karena kita mempunyai
alasan kuat setelah dosanya itu berada di tangan kita. Untuk menyingkirkan Nambi
masih belum begitu
mudah karena belum ada alasannya. Nah, sekarang berangkatlah
dan sebarkan berita tentang pengakuan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang itu."
Setelah tumenggung itu pergi, Resi Mahapati kembali ke kamarnya di mana telah
menunggu Lestari
dan seperti biasa, kini resi itu menuturkan segala percakapannya dengan Tumenggung Singosardulo tanpa menyembunyikan sesuatu.
Semenjak rayuan Lestari malam sekembalinya dari Tuban itu, Resi Mahapati
mempercayai selirnya
ini, bahkan dia mendapat kenyataan akan kecerdikan selirnya
yang masih amat muda ini dalam mengatur
siasat, maka dia tidak segan-segan untuk
mendengarkan pendapat dan nasehat selirnya yang tercinta.
"Kakangmas resi," kata Lestari setelah dia mendengarkan penuturan tentang pengakuan Lembu Sora itu.
"Saya mendengar
bahwa Lembu Sora adalah seorang yang amat kuat kedudukannya, disayang oleh sang prabu dan mempunyai banyak pengikut.
Oleh karena itu, paduka harus hati-hati, kakangmas dan sebaliknya jangan menentang secara berterang."
Resi Mahapati mendengarkan dengan kagum dan merangkul selirnya dengan hati bangga dan penuh kemesraan.
"Kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya, Lestari?"
"Sebaiknya kalau paduka bekerja
ditempat gelap dan hanya dengan cara mengadu
domba saja maka siasat paduka akan berhasil. Bukankah mendiang Kebo Anabrang
mempunyai putera yang sudah dewasa?"
"Benar, namanya Joko Taruno," jawab Mahapati.
"Nah, rahasia kematian Kebo Anabrang ini harus disampaikan kepada Joko Taruno
itu agar bangkit dendamnya
terhadap Lembu Sora."
"Akan tetapi, apakah yang dapat dilakukan oleh Joko Taruno itu agar bangkit
dendamnya terhadap
Lembu Sora."
"Setidaknya dia dapat menyalakan api permusuhan terhadap Lembu Sora, kakangmas
resi. Dan sebaiknya kalau paduka membayangkan kepada sang prabu bahwa para
ponggawa mereka tidak puas melihat
betapa sang parbu bersikap baik terhadap
Lembu Sora yang telah berkhianat dan membunuh Kebo Anabrang. Pendeknya, tentu paduka dapat mengobarkan kemarahan di hati sang prabu terhadap Lembu Sora. Dilain pihak, paduka dapat mengusik
hati Lembu Sora dengan mengatakan bahwa putera
Kebo Anabrang dibantu oleh
Nambi akan membalas dendam. Pendeknya,
dengan cara mengaduk sana-sini, tentu menimbulkan kekeruhan suasana itu, kiranya akan mudah
saja untuk menyingkirkan Lembu Sora atau membuat Lembu Sora memberontak terhadap
Mojopahit."
"Hebat..., hebat...!" Resi Mahapati girang sekali dan mengelus rambut kepala yang hitam halus dan berbau harum itu.
"ah, agaknya Hyang Bathara Syiwa telah memberkahi aku dengan munculnya seorang seperti engkau dalam hidupku, Lestari.
Engkau cantik jelita, cerdik pandai... ah, betapa bahagia hatiku."
"Saya hanya ingin melihat paduka memperoleh
kedudukan yang tertinggi dan saya akan ikut merasakan
kemuliaan paduka, kakangmas resi."
Hati sang resi makin menjadi girang dan dia segera mempersiapkan segala
sesuatunya untuk menjalankan siasat yang direncanakan bersama selirnya itu.
Dikumpulkannya para pembantunya yang setia dan dikirim banyak mata-mata untuk
menyelidiki gerak-gerik orang-orang yang menjadi sasarannya, terutama sekali
gerak-gerik Patih Nambi, Joko Taruno dan Lembu Sora.
Resi Mahapati tidak bertindak tergesa-gesa. Jaring itu mulai dipasangnya dengan
teliti dan rapat, karena dia ingin agar sekali bertindak
akan memperoleh hasil yang sebaiknya. Dia maklum bahwa dia sedang mainkan suatu pekerjaan yang amat
berbahaya dan kegagalan
berarti bunuh diri, maka dia memperhitungkannya masak-masak
dan tidak mau bertindak secara sembrono, menanti saat dan kesempatan yang sebaik
mungkin.
Sementara itu, secara halus pula, tidak kentara dan tidak menyolok
sehingga tidak ada yang tahu atau menduga bahwa sumbernya dari dia, Tumenggung
Singosardulo mulai menyebarkan berita tentang rahasia kematian Kebo Anabrang
yang sesungguhnya tewas di tangan Lembu Sora. Hebat sekali desas-desus ini, seperti
api dikipas angin, melanda seluruh istana, bahkan seluruh penduduk kota raja dalam waktu beberapa
bulan saja sudah membicarakannya dengan bisik-bisik
dan dengan penuh ketegangan, kemudian berita itu menjalar ke luar kota raja. Akan tetapi,
tidak ada yang berani membicarakan desas-desus.
Lembu Sora sendiri yang tahu akan adanya desas-desus itu, hanya tenang dan
dengan sikap gagah dan menanti
akibat daripada perbuatannya itu. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan, tak lama kemudian, yaitu kurang lebih dua tahun setelah
kematian Ronggo Lawe dan beberapa bulan setelah Aryo Wirorojo pindah ke Lumajang
dan menjadi adipati di sana, Lembu Sora lalu mengungsikan keluarganya
ke Lumajang sungguh pun dia
sendiri masih tetap berada di
Mojopahit dan setiap pertempuran selalu menghadiri di hadapan sang prabu dengan setia.
"Paman empu dan paman resi, matahari
mulai condong ke barat, kita harus
mempercepat perjalanan kalau tidak kita akan kemalaman di hutan itu," kata Reksosuro
yang jangkung bermata juling itu.
Mereka itu semua naik kuda. Reksosuro,
pembantu resi Mahapati dan lima orang pengawal
lain yang ke semuanya memiliki kepandaian tinggi. Enam orang ini mengiringkan dua orang kakek yang juga menunggang kuda dan melihat dua orang kakek itu menjalankan kuda perlahan-lahan sambil bercakap-cakap Reksosuro yang takut kemalaman
di hutan itu membujuk mereka berdua agar mempercepat perjalanan.
Dua orang kakek itu adalah Empu Tanjungperak dan Resi Harimurti. Empu Tanjungperak adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati. Dia adalah seorang
pertapa di pertapaan Tanjungperak yang terletak di Pantai Laut Jawa, di sebelah
barat laut Tuban. Beberapa hari yang lalu, Reksosuro bersama lima orang kawannya
datang menghadap kepada Empu Tanjungperak menyerahkan surat undangan Resi Mahapati
untuk kakak seperguruannya ini. Kebetulan sekali pada waktu itu, di pertapaan
Tanjungperak sedang kedatangan seorang tamu, yaitu Resi Harimurti,
seorang sahabat baik Empu Tanjungpetak, bahkan sudah mengenal pula Resi Mahapati
dengan baik. Oleh karena itu, Empu Tanjungpetak lalu mengajak Resi harimurti
untuk bersama-sama pergi mengunjungi Resi Mahapati di Mojopahit.
Demikianlah, dua orang kakek yang terkenal memiliki kesaktian ini lalu diiringi
oleh Reksosuro dan lima orang temannya, menuju ke Mojopahit dan pada sore hari itu mereka telah tiba di kaki Gunung Kendeng
yang kaya akan hutan-hutan liar.
Bagi Reksosuro dan kawan-kawannya, perjalanan itu terlalu lamban, akan tetapi agaknya
dua orang kakek itu lebih suka melakukan perjalanan lamban sambil
menikmati pemandangan alam yang indah di sepanjang perjalanan sambil bercakap-cakap.
"Reksosuro apa halangannya kalau kemalaman di dalam hutan?" Empu Tunjungpetak
menjawab.
"Melewatkan malam di hutan lebih menyenangkan. Kalian pergilah lebih
dulu ke hutan itu, menanti
kami di sana kalau perjalanan kami terlalu lambat
bagi kalian."
"Baik, paman empu," jawab Reksosuro yang memang tidak sabar mengikuti perjalanan
yang seenaknya dan perlahan-lahan itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya
dan menggeprak kudanya, maka membedalnya enam ekor kuda itu di depan, ke arah
hutan yang nampak bergerombol dari situ. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan dua orang kakek itu.
Setelah tiba dihutan, Reksosuro dan teman-temannya meloncat turun dari atas panggung
kuda masing-masing membiarkan tunggangan-tunggangan mereka makan rumput
dan mereka sendiri duduk beristirahat melepaskan lelah.
"Wah, sialan!" Reksosuro mengomel.
"Mengikuti orang tua bangka itu sungguh menjemukan. Tidur di hutan, makan seadanya dan kita sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk mengaso
dan bersenang-senang. Celaka, sekarang kita harus bermalam
di dusun kan kita bisa mencari anak perawan yang boleh disuruh memijati
tubuh yang lelah."
"Yang ada di sini hanya lutung (monyet hitam)!" kawannya mengomel.
"Kalau kau telah boleh menangkap
lutung betina, suruh memijati..." seorang teman menggoda.
"Memijati hidungmu!" Reksosuro memaki
"Aku heran sekali mengapa Sang Resi Mahapati
mengudang kakek-kakek seperti itu!"
"Eh, kakang Reksosuro,
apa kau lupa bahwa Sang Resi Mahapati sendiri juga seorang
kakek-kakek?"
"Ah, kalau beliau lain lagi," bantah si jangkung juling.
"Biar pun usianya
sudah lanjut, akan tetapi tenaga dan semangatnya melebihi orang muda. Lihat saja, kalau tidak begitu masa selirnya
yang cantik itu menjadi begitu tunduk dan mencinta?
Wah, beliau hebat sekali... ha-ha!" Dan mereka semua tertawa oleh kata-kata
yang mengandung arti kecabulan itu.
"Siapa tahu kalau yang dua ini pun hebat!"
"Mestinya begitu karena paman Empu Tanjungpetak adalah kakak seperguruan Sang Resi Mahapati.
Akan tetapi kelihatannya begitu loyo dan lemas, tidak seperti
sang resi."
Mereka bercakap-cakap sambil melepaskan lelah dan menanti datangnya dua orang kakek yang tertinggal
jauh sekali dan masih kelihatan jauh sekali dan masih belum kelihatan bayangannya itu. Tiba-tiba enam orang itu terkejut dan menoleh
ke dalam hutan penuh perhatian, wajah mereka mendadak tidak lesu lagi, bahkan
bersemangat. Mereka mendengar
suara orang, suara wanita! Suara wanita yang merdu menembang!
Tembang Asmaradana yang mengisahkan Prabu Ramawijaya menangis,
meratap, mengeluh
karena kehilangan Dewi Shinta.
Enam orang itu saling pandang dan mereka kagum sekali karena suara itu memang
merdu dan terdengar
amat janggal di dalam hutan yang lebat dan liar itu. Akan tetapi wajah mereka tegang dan gembira.
Wanita yang dapat bertembang semerdu itu tentulah
masih muda, dan sepantasnya cantik!
"Wah, dia tentu muda dan cantik...!" Reksosuro berkata mengutarakan suara hatinya yang menduga-duga.
"Belum tentu, kakang Reksosuro. Sudah sering sekali aku keliru, mendengar suara
yang amat merdu akan tetapi
orangnya jelek!" bantah temannya.
Akan tetapi tidak ada yang menanggapi karena semua mata kini memandang ke dalam
hutan. Suara tambang
itu telah berhenti karena telah habis, akan tetapi kini muncul seorang dara remaja yang membuat enam orang itu menahan napas. Dara remaja itu usianya
kurang lebih empat belas tahun dan tubuh yang dibungkus
pakaian sederhana itu seperti buah mangga yang sedang ranum, matang belum akan tetapi mentah pun tidak, sedang segar-segarnya untuk dimakan dengan sambal pedas! Kulitnya
kuning langsat dan halus, akan tetapi di balik kulit tipis halus bersih
itu
mengandung kepadatan yang berisi, dengan urat-urat merah halus membayang di
balik kulit. Kakinya
yang telanjang kelihatan bersih, seolah-oleh tidak pernah
menginjak tanah becek. Tangan kirinya
memondong seikat kelapa muda dan pisang,
sedangkan tangan kanannya membawa setangkai bunga mawar merah yang besar dan segar.
Wajahnya bulat lebat dan panjang merupakan mahkota hidup yang indah
menghias wajahnya.
Sepasang matanya berkilat dan pandangnya tajam sekali,
hidungnya kecil mancung dan mulutnya yang berbibir merah semringah itu selalu
tersenyum. Pembawaan dara ini gembira dan jenaka, dapat dilihat dari senyum
bibirnya dan sinar matanya,
akan tetapi segala sesuatu di depannya, senyum sinis yang hanya dapat timbul dari seorang manusia yang telah banyak menderita
kepahitan dan kekecewaan dalam hidupnya. Sukar mengatakan apakah dara remaja ini
cantik dan manis, apakah ayu. Pendeknya
semua itu ada padanya! Pada lehernya
nampak seuntai kalung emas yang disambung dengan tali lawe sehingga tergantung
panjang, dan hiasan kalung tersembunyi di antara buah dadanya yang mulai membusung
tersembunyi di balik kain.
Enam orang yang memang selama dalam perjalanan diutus ke Tanjungpetak itu telah merasa
kesepian dan kehilangan hiburan wanita yang ketika di kota raja hampir
setiap malam mereka
nikmati, tentu saja memandang ke arah dara remaja itu seperti
pandang mata orang-orang kehausan melihat air sejuk jernih. Pandang mata
mereka seolah-olah hendak menelan dara itu bulat-bulat!
"Amboii... cantiknya!"
"Ayu manis dan mulus...!"
"Denok montok menggairahkan!"
"Manis, mari ikut dengan aku dan aku akan menceraikan biniku!"
"Sayang, menembanglah lagi... suaramu merdu..."
Enam orang itu ribut memuji-muji, akan tetapi dara remaja itu seperti terpesona
oleh Reksosuro dan sejak tadi dia terus memandang kepada si jangkung juling ini, bahkan kini dia melangkah perlahan menghampiri. Langkahnya ini membuat mereka
menelan ludah karena begitu lemah gemulai
lenggangnya sehingga menonjolkan lekuk
lengkung tubuhnya yang ranum dan belum matang benar namun setiap seginya
menjanjikan bentuk-bentuk yang tentu amat mempesonakan dalam beberapa tahun lagi.
Kini dara itu berdiri
dekat Reksosuro, wajah laki-laki itu terus diamatinya
penuh perhatian, penuh selidik
dan tak pernah berkedip sejak tadi setengah
terbuka mengulum senyum, bergerak ketika bicara dan nampaknya sekilas deretan
giginya yang kecil putih teratur
rapi. "Bukankah andika ini Reksosuro!" teriaknya. Reksosuro membusungkan dadanya yang kerempeng, mengurut kumisnya dengan bangga
dan matanya yang juling itu sukar dikatakan melihat atau melirik ke mana karena
mata ini selalu melirik
ke arah yang tidak sedang dipandangnya. Kemudian dia berkata dengan suara digagah-gagahkan.
"ah, bocah ayu kuning...
kiranya engkau telah mengenal
namaku? Ha-ha, wajahmu yang manis ini memang tidak asing bagiku,
akan tetapi aku telah lupa lagi di mana aku pernah bertemu dengamu, perawan ayu!"
"ah, benarkah
engkau telah lupa, Reksosuro? Dan mana kawanmu itu yang bernama
Darumuko?"
"Eh, kau mengenal dia juga? Siapa kau dan mau apa kau mencari kami?" Reksosuro
mengingat-ingat akan tetapi tetap saja dia lupa. Dara itu tersenyum manis bukan main melebihi madumongso, lalu dia melangkah maju mendekat
ke depan reksosuro sehingga pria ini menjadi makin tertarik.
"Aku ingin memberi
hadiah ciuman!" teriak seorang temanya.
"Dan jangan pelit, kakang Reksosuro, beri bagian sedikit-sedikit kepada kami!"
Reksosuro yang sudah kegirangan
itu menggerakkan tangan menyuruh teman-temannya
diam, lalu dia bertanya,
"Cah ayu, hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?"
Dara itu menggerakkan setangkai bunga mawar yang dipegang di tangan kanannya,
lalu berkata,
"Hadiah ini..."
"kembang...?”
Tiba-tiba dara itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bunga mawar dan tangan
yang berkulit halus mulus dan bentuknya kecil mungil dengan jari-jari
tangan panjang meruncing itu menyambar dengan kecepatan kilat ke arah muka reksosuro.
"Prakkkk...! Aduhhhh!!" Tubuh reksosuro terpelanting dan dia terbanting roboh, mengaduh-aduh dan memegangi rahangnya yang ternyata telah pecah terkena sambaran
tangan kecil itu. Tulang
rahangnya patah dan bibirnya pecah-pecah berdarah!
"Itu untuk penghinaanmu kepadaku, jahanam. Dan kini nyawamu kucabut untuk membalaskan penghinaanmu atas jenazah mbakayuku!" Dara itu berkata.
Sekarang teringatlah Reksosuro dan matanya yang juling itu tebelalak dan makin
menjuling. Inilah Sulastri, adik Winarti yang dulu ditangkapnya akan tetapi
ditolong oleh Setan Jembros itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki sambil memegangi rahangnya dan suaranya menjadi
pelo.
"Kawan-kawan... tangkap
dia!" Reksosuro menahan rasa nyeri pada rahangnya
dan dia sudah meloncat bangun. Lima orang pengawal yang menjadi anak buah
Reksosuro terkejut
bukan main melihat gadis cantik itu menampar muka Reksosuro
sampai si juling itu terpelanting. Mereka merasa heran karena mereka maklum
bahwa Reksosuro memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kekebalan, kenapa
sekarang ditampar seorang dara remaja seperti itu saja sampai terpelanting dan
mulutnya berdarah?
Mereka masih tidak tahu betapa Reksosuro menderita lebih hebat lagi karena
tulang rahangnya telah patah! Kini mendengar teriakan Reksosuro
untuk menangkap dara yang cantik itu, tentu saja mereka menjadi
girang dan seperti lima ekor kucing kelaparan melihat seekor tikus gemuk, mereka menubruk
seperti berlomba untuk menangkap dan mendekap dara remaja menggairahkan itu.
Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, Sulastri bergerak cepat sekali dan semua tubrukan
itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan dua orang yang menubruk
dari dua arah yang berlawanan saling tubruk sehingga mereka saling beradu,
menimbulkan benjol sebesar telur ayam pada dahi mereka! Barulah mereka terkejut
sekali dan cepat mereka membalikkan tubuh dan menubruk lagi dara yang tersenyum
mengejek sambil bertolak pinggang itu. Kini Sulastri telah melemparkan kelapa
dan pisang, juga kembang mawar merah ke atas tanah dan dia menanti mereka dengan kedua tangan di pinggang,
sikapnya angkuh akan tetapi mulutnya tersenyum
mengejek.
Ketika lima orang menubruk
lagi, dia tidak mengelak seperti tadi, melainkan
menggerakkan kaki tangannya secara teratur menurut ilmu silat yang tinggi dan gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dahsyat.
"Palak-plak-plak-desss!!" Lima orang itu terpelanting dan mereka cepat meloncat
bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah jagoan-jagoan yang kuat, akan tetapi mereka hampir tidak melihat
bagaimana mereka sampai terpelanting ketika
tangan dan kaki dara itu menyambar-nyambar seperti halilintar mengamuk.
"Bunuh dia...! Dia adalah adik Sri Winarti itu yang dicari-cari oleh sang resi!
Kalau bisa tangkap hidup-hidup, kalau tidak bisa bunuh...!!" Reksosuro berteriak
akan tetapi matanya yang juling melihat ke kanan kiri karena dia merasa ngeri
dan takut memikirkan Ki jembros. Jangan-jangan kakek itu berada di situ! Dengan keris Kyai Bandot
di tangannya. Reksosuro lalu maju dan bersama-sama lima orang
temannya yang kesemuanya sudah mencabut keris, dia mengurung Sulastri yang masih berdiri
dengan sikap tenang.
Bibir yang manis dari dara remaja itu tersenyum.
"Hemm, Reksosuro, kau pengecut
besar! Tanpa mencarimu ke Mojopahit, sekarang engkau telah mengantar nyawa! Aku harus membunuhmu, mencongkel keluar matamu yang juling itu. Akan tetapi engkau
mengandalkan pengeroyokan kawan-kawanmu. Heh, mundurlah kalian berlima, kalau tidak kalian juga akan mati konyol!"
Akan tetapi tentu saja lima orang pengawal jagoan itu tidak menjadi gentar.
Mereka adalah jagoan-jagoan dan mereka berenam membawa keris, menghadapi seorang
dara remaja tentu saja mereka tidak menjadi
takut.
"Kakang Reksosuro,
iblis betina cilik ini sungguh liar. Mari kita tangkap dia beramai-ramai menjinakkan dia. Kalau tidak kita jinakkan, dia tentu akan makin
sombong dan bertingkah!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan berkepala
besar.
Biar pun tulang rahang-rahangnya yang patah menimbulkan rasa nyeri bukan main, akan tetapi
karena dia ingin menyerahkan dara ini hidup-hidup kepada resi Mahapati,
Reksosuro berkata dengan suara pelo karena mulutnya terasa nyeri bukan main kalau bergerak
untuk bicara,
"Sulastri, lebih baik kau menyerah
kami tangkap dan kami haturkan
kepada sang resi. Melawan pun akan percuma dan dari pada kau mampus atau terluka..."
"Monyet juling! Engkau yang sudah berada di ambang pintu neraka masih berani
mengancam aku?" Sulastri mengejek. Dara ini sungguh telah berobah banyak sekali.
Empat tahun lebih dia menjadi murid Ki Jembros, hidup menentang banyak sekali
kekerasan alam dan kesukaran, digembleng secara istimewa oleh Ki Jembros yang aneh dan kini, dalam usianya
yang masih remaja, empat belas tahun, Sulastri
telah mempelajari banyak
sekali ilmu-ilmu yang aneh-aneh dan yang hebat-hebat,
ilmu kedigdayaan dan gerakan-gerakan silat, juga bermacam ilmu kekebalan. Dara
remaja yang pada dasarnya
sejak kecil memiliki keberanian luar biasa ini, yang sejak kecil mengalami
kesengsaraan dan rasa penasaran, kini berubah menjadi
seekor singa betina muda yang berbahaya!
"Serbu...!" Reksosuro
membentak kaku dan teman-temannya mulai bergerak,
memperketat lingkaran yang mengurung diri Sulastri. Keris di tangan mereka
menodong ke arah Sulastri penuh ancaman. Dara itu melirik ke atas tanah, melihat
betapa tanah di kaki pengunungan itu mengandung pasir, maka dia tersenyum lalu cepat tubuhnya
bergerak merendah. Gerakan yang tiba-tiba ini membuat enam orang pengurungnya waspada, akan tetapi mereka tidak melihat gadis itu menyerang
mereka, maka mereka lalu melangkah maju mendekati Sulastri yang masih berlutut
dengan tangan menyentuh
tanah itu.