Baru saja Ronggo Lawe tiba di luar kota Tuban di mana pasukan-pasukannya telah siap dalam barisan yang rapi, dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain, tiba-tiba seorang kakek menghampirinya. Melihat kakek ini, Adipati
Ronggo Lawe cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi salam, karena
kakek ini bukan lain adalah Ki Ageng Palandongan, ayah dari isterinya yang pertama, Mertaraga. Setelah memberi salam balasan, Ki Ageng Palandongan dengan wajah yang keriputan
itu membayangkan kecemasan hatinya, berkata,
“Puteranda
adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang dengan Mojopahit! Apakah hal ini sudah kaupikirkan baik-baik? Apakah tidak ada lain jalan untuk mendamaikan
urusan antara Tuban dan Mojopahit?“
Ronggo Lawe menggeleng kepala.
“Harap kanjeng rama tidak mencampuri urusan ini, karena urusan ini adalah urusan kehormatan
antara saya dan Nambi. Nambi yang curang telah menghasut
sang prabu, kini telah membawa pasukan untuk menggempur
Tuban, biar bagaimana pun juga, harus saya tandingi dia!“
Melihat mantunya yang dia tahu amat keras hati, Ki Ageng Palandongan hanya menarik napas panjang.
“Kehendak Hyang Widhi tak apat dicegah oleh kekuasaan manusia. Saya hanya membekali pangestu, sang adipati dan hendaknya kau selalu
ingat bahwa segala tindakanmu adalah demi kebenaran, bukan terdorong oleh
kebencian.“
“Terima kasih, kanjeng rama.“
Demikianlah, tanpa menghiraukan bujukan mertuanya, Ronggo Lawe lalu menggerakkan
pasukannya dan membanjirlah pasukan Tuban itu ke selatan, melakukan perjalanan
semalam suntuk.
Pada keesokan harinya,
bertemulah pasukan Tuban dengan pasukan Mojopahit yang dipimpin
oleh Patih Nambi sendiri. Begitu terjadi perang campuh, Ronggo Lawe
membedal kudanya,
berputar-putaran mencari musuh besarnya. Akhirnya dia melihat
Patih Nambi mengamuk
di sebelah timur. Nambi mengendarai seekor kuda yang
berbulu ke kuningan,
kuda yang bernama Brahma Cikur. Melihat lawannya, Ronggo
Lawe menggereng seperti
seekor harimau kelaparan, lalu membedal kudanya mengejar
ke tempat itu. Setelah dekat dan berhadapan muka, Ronggo Lawe membentak keras,
“Si keparat Nambi!
Macam engkau akan menjadi patih hamangkubumi di Mojopahit?
Boleh kau menjadi
patih kalau dapat melangkahi mayat Ronggo Lawe! Kalau tidak,
maka engkau yang akan menggeletak di atas tanah, kepalamu akan kuinjak-ijak
sampai lumat!“
“Babo-babo Ronggo Lawe manusia
sombong, pemberontak hina dina. Majulah untuk menerima
hukuman mati!“ Nambi juga membentak marah sambil mencabut kerisnya yang berliuk
tiga dan bernama kyai Bangodolong. Keris ini mengeluarkan sinar kehitaman
dan merupakan keris pusaka yang ampuh.
“Bagus, majulah, keparat!“
Ronggo Lawe juga mencabut kerisnya, yaitu Kyai Kolondah,
keris ber-luk lima yang mempunyai sinar kemerahan menggiriskan. Keris Kyai Kolonadah
ini adalah keris pusaka pemberian gurunya, bahkan keris ciptaan
atau buatan gurunya itu sendiri, Sang Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna,
pertapa di puncak Gunung Bromo yang sudah amat terkenal.
Kini dua ekor kuda pilihan itu mulai berlaga, dikendarai oleh dua orang senopati
perang yang sama digdaya, sama gemblengan. Kuda Brahma Cikur dan kuda Mego Lamat meringkik
dan menyepak-nyepak, menyirik dan berputar dalam lingkaran ketika kedua tuan mereka mulai bertanding. Keris pusaka dan kepalan melayang saling
tikam saling hantam dan saling tangkis. Bunyi nyaring bertemunya dua pusaka
disusul oleh berpijarnya bunga api yang menyilaukan mata dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu
dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat, keduanya
terdorong dan hampir roboh dari atas kuda.
Perang tanding yang amat seru di antara dua orang musuh yang saling membenci
ini berlangsung di tengah-tengah perang campuh antara orang-orang Tuban dan orang-orang
Mojopahit, yang dahulunya merupakan kawan-kawan seperjuangan yang berperang bahu-membahu
menghadapi musuh mereka bersama. Akan tetapi, di antara para perwira Mojopahit,
dan juga para prajuritnya, banyak yang diam-diam merasa jerih dan juga segan
terhadap Adipati Ronggo Lawe, maka mereka berperang
setengah hati, apalagi
karena jumlah barisan
Tuban lebih banyak daripada mereka. Akhirnya, setelah
berperang hampir setengah
hari lamanya, setelah banyak korban berjatuhan,
barisan Mojopahit terdesak mundur. Apalagi ketika Ronggo Lawe berhasil menikam
leher kuda Brahma Cikur yang menjadi kesakitan, meloncat-loncat dalam sekarat
kemudian terbanting mati, semangat para perwira Mojopahit mengendur. Untung
bahwa Patih Nambi dapat cepat meloncat
dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi
dalam pasukannya.
Dua orang wanita itu merangkul suami mereka dan mereka mencurahkan kasih sayang
dan berkasih-kasihan dengan sepenuh jiwa raga karena mereka berdua sedang
tenggelam dalam keharuan yang mendalam. Tiada puas-puasnya agaknya Ronggo Lawe mencurahkan cinta kasihnya kepada mereka berdua, dan dua orang isterinya itu pun
agaknya tidak pernah mau melepaskan
suaminya tercinta dari dekapan mereka.
Setengah hari lamanya
Ronggo Lawe dan kedua orang isterinya berada di dalam
kamar mereka, saling mencurahkan cinta kasih mereka, lupa segala, lupa waktu,
lupa diri dan tenggelam dalam kemesraan. Akhirnya suara canang menyadarkan Ronggo Lawe bahwa bala bantuan
tentaranya yang dikumpulkan oleh para pembantunya
sudah siap, tinggal menanti dia untuk diberangkatkan menyambut musuh.
Dengan menggandeng tangan kedua isterinya yang kusut pakaian dan rambutnya, pucat mukanya namun wajah dan sinar mata mereka menyorotkan kemesraan, Ronggo
Lawe lalu menuju
ke kamar mandi. Dengan bantuan dua orang isterinya, dia mandi
keramas lalu mengenakan pakaian keprajuritan yang sederhana sekali, tubuh
atasnya hanya terhias pelindung pergelangan tangan, gelang perak di pangkal
lengan, baju penutup
dada, dan ikat pinggang emas melingkar di pinggang. Celana
abu-abu mencapai bawah lutut, tertutup kain yang dilipat pendek di atas lutut,
dengan ujung diwiru berjuntai ke depan. Kepalanya hanya terhias ikat kepala yang kecil saja, terbuat dari emas dan perak terukir,
sehelai tali yang mengikat
hiasan tanda pangkat sebagai adipati, merupakan permainan yang bermata mirah
tergantung di leher. Kyai Kolonadah, keris liuk lima yang biasa dipakai dalam perang,
terselip di pinggangnya.
Dengan wajah bercahaya
dan sikap yang gagah sekali, Ronggo Lawe memeluk dan mencium bibir isterinya
yang kini telah tenang dan pasrah itu, Tirtawati dan Martaraga,
bergantian, dibalas denagn penuh kemesraan oleh mereka, kemudian
adipati ini memondong puteranya yang dibawa masuk.
Tiba-tiba Kuda Anjampiani menangis, membuat ayahanya dan kedua orang ibunya
terkejut dan terharu. Diam-diam Ronggo Lawe makin yakin bahwa sesuatu pasti akan menimpa
dirinya dan dia merasa bangga bahwa puteranya ini memiliki kepekaan
halus.
“Hishh, anak yang gagah kenapa menangis?“
Ronggo Lawe berkata sambil mencium
dahi puteranya.
“Rama jangan pergi meninggalkan saya,“ anak itu berkata.
“Rama akan pergi ke Mojopahit,
jangan menangis nanti akan rama belikan kereta
kencana dan kuda sembrani.“
Anak itu berhenti
menangis dan memandang ayahnya denagn sepasang matanya yang bening dan tajam.
“Kuda sembrani yang pandai terbang,
rama? Rama naik kereta
kencana dan diterbangkan oeh kuda sembrani?“ Ucapan anak-anak itu makin mengandung arti, maka Ronggo
Lawe hanya mengangguk-angguk saja, menyerahkan anak itu kepada Tirtawati,
kemudian dia berkata, “Selamat tinggal, aku berangkat!“
Sorak-sorai menggegap gempita menyambut kemenangan tentara Tuban yang terus dipimpin
oleh Ronggo Lawe, melakukan pengejaran ke selatan. Sisa pasukan
Mojopahit melarikan
diri ke selatan. Ronggo Lawe yang merasa kecewa bahwa dia
hanya dapat membunuh
kuda tunggangan Nambi, berteriak keras memberi aba-aba untuk mengejar terus dan dia sendiri
dengan kuda Mego Lamat melakukan pengejaran
terdepan! Para perajurit Mojopahit yang berada di bagian terbelakang, tersusul
dan mengamuklah Ronggo Lawe dengan kerisnya yang mengeluarkan sinar kemenangan.
Sepak terjangnya menggiriskan dan sisa pasukan Mojopahit mempercepat larinya,
membawa kekalahan besar dan Nambi berada bersama mereka, bahkan menggunakan kuda terbaik
untuk mendahului lari ke Mojopahit untuk melaporkan kekalahannya.
Sisa pasukan Mojopahit
melintas Sungai Tambakberas. Ketika pasukan-pasukan yang dipimpin
oleh Ronggo Lawe tiba di tepi sungai itu dan hendak melanjutkan
pengejarannya, dia ditahan oleh para pembantunya, termasuk Panewu Progodigdoyo
yang merupakan pambantu utamanya.
“Jangan, kakang adipati,
jangan mengejar ke seberang. Di seberang adalah daerah
Mojopahit, jangan sampai kita terjebak
di sana. Mojopahit belum mengerahkan
semua kekuatan tentaranya, dan tak lama lagi si Nambi tentu akan mendatangkan
bantuan yang lebih kuat. Sedangkan
pasukan kita sudah lelah, pula harus disusun
kembali karena
sudah berkurang jumlahnya.“
Ronggo Lawe yang merasa kecewa belum dapat membunuh
Nambi, maklum bahwa nasihat
ini memang tepat, maka dia mengurungkan niatnya untuk melakuan pengejaran terus. Sebaliknya, Ronggo Lawe lalu mengumpulkan semua kekuatan dan sisa-sisa prajurit
Tuban, kemudian memerintahkan para pembantunya untuk memperkuat pasukan dengan
menerima pasukan-pasukan suka rela yang berdatangan dari seluruh Tuban, yaitu
rakyat jelata yang setelah mendengar bahwa Tuban diserbu tentara Mojopahit lalu menawarkan diri untuk menjadi prajurit dan membantu sang adipati yang mereka
hormati dan kagumi.
Dalam waktu dua hari saja, hampir selaksa orang dapat dikumpulkan dan secara kilat mereka
ini digembleng olah keprajuritan. Di antara mereka terdapat pula orang-orang sakti yang baru turun dari pertapaan untuk mendarmabaktikan
kepandaian mereka kepada Kadipaten Tuban.
Sementara itu, sang prabu di Mojopahit
tadinya bergembira mendengar berita
kemenangan bala tentara Mojopahit yang berhasil mencerai-beraikan dan menumpas
sebagian besar para simpatisan Ronggo Lawe dari daerah Mojopahit yang hendak
menyeberang ke Tuban. Akan tetapi pada hari berikutnya, beliau terkejut bukan main mendengar
berita tentang Nambi.
Tak lama kemudian Nambi sendiri dengan pakaian kusut, muka pucat, napas terengah-engah,
menjatuhkan diri berlutut di depannya dan dengan suara terputus-putus melaporkan
kekalahan bala tentara
yang dipimpinnya.
"Jumlah pasukan si pemberontak itu jauh lebih besar, gusti," demikian antara
lain Patih Nambi melapor.
"Pasukan-pasukan kita dihancurkan dan cerai-berai,
sebagian melarikan diri mencari keselamatan menyusup ke dusun-dusun dan ke gunung-gunung, dikejar-kejar oleh pasukan Tuban yang kejam dan ganas. Kuda hamba
tewas ditusuk si Ronggo Lawe yang curang.
Tadinya dia sudah terdesak oleh hamba, akan tetapi dengan liciknya
dia menyerang Brahma Cikur dan membunuhnya sehingga
hamba terpelanting. Untung hamba masih dapat menyelamatkan diri dari di antara
pasukan."
Bukan main marahnya hati sang prabu mendengar pelaporan ini.
"Hemm... Kakang Ronggo Lawe benar-benar telah memberontak! Para senopati, siapkan bala tentara!
Sekarang juga aku sendiri akan memimpin pasukan besar untuk menggempur Tuban dan
menangkap kakang Ronggo Lawe!" Saking marahnya, sang prabu sampai turun dari kursi kencana
dan bertolak pinggang, mukanya merah, matanya berapi-api.
Lembu Sora dan Kebo Anabrang cepat menyembah dan menghibur hati sang prabu yang
seang marah itu.
"ampun, kanjeng gusti, harap pasuka bersabaran tidak melanjutkan kemarahan paduka, karena kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan.
Perbuatan Ronggo Lawe memang harus dihukum,
akan tetapi tidak sekarang karena pasukan-pasukan kita masih lelah." Demikian Lembu Sora dengan suara tenang
memperingatkan junjungannya.
"Apa yang dikatakan oleh paman Lembu Sora memang tepat, gusti sinuwun," kata
pula Kebo Anabrang yang juga menjadi merah telinganya karena marah mendengar
perlawanan Ronggo Lawe yang menghancurkan pasukan Mojopahit,
"Kekuatan Mojopahit harus dipulihkan lebih dulu dan sebelum paduka turun tangan, sebaiknya
diselidiki dulu sampai di mana kekuatan
musuh. Si Ronggo Lawe bukanlah anak
kemarin, melainkan
seorang senopati yang sudah gemblengan, maka haruslah dihadapi denagn hati-hati
pula, karena kalau hanya sembrono menurutkan kemarahan,
jangan-jangan akan menggagalkan penyerbuan seperti yang telah dilakukan oleh Ki
Patih Nambi." Dalam ucapan ini sedikit
banyak Kebo Anabrang juga menegur Nambi yang tadinya begitu sombong akan tetapi ternyata
mengalami kegagalan sehingga
merusak kekuatan Mojopahit dan kekalahan itu merendahkan nama besar Mojopahit
sendiri. Patih Nambi hanya mendengarkan dengan kepala tunduk.
Akhirnya sang prabu dapat terbujuk
oleh dua orang senopati besar dan kemarahannya mereda. Lalu diperintahkannya beberapa senopati dan perwira
Mojopahit untuk mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan selaksa orang prajurit
yang pilihan dalam waktu tiga hari.
Setelah memperoleh berita dari penyelidikan mata-mata akan kekuatan pasukan
Tuban, sang prabu sendiri memimpin selaksa orang pasukan prajurit Mojopahit yang
pilihan, kemudian
dengan dikawal oleh para senopatinya, sang prabu menggerakkan
barisan Mojopahit ke utara, menyeberangi sungai Tambakberas. Dari sebuah bukit kecil di seberang
sungai, sang prabu memeriksa keadaan dan dari tempat tinggi itu dia melihat pasukan-pasukan Tuban yang teratur rapi bergerak dari utara dan dari jauh itu sang prabu melihat seorang penunggang kuda yang dengan gagah perkasa menjalankan kudanya di depan barisan. Seorang senopati yang amat gagah,
yang dari jauh nampak cahaya bersinar
di atas kepalanya, dan tahulah sang prabu bahwa penunggang
kuda itu bukan lain adalah Ronggo Lawe sendiri. Trenyuhlah hati
beliau, merasa nelangsa
mengapa senopatinya yang paling setia itu, yang gagah perkasa
dan yang sudah banyak jasanya, bahkan yang berjasa pula membantu dia
menjadi raja, kini mengerahkan betapa sepasang matanya menjadi panas dan dua titik air mata mengancam
untuk membasahi matanya. Maka beliau lalu menunduk,
menarik napas panjang. Mengapa harus ada perang seperti ini? Mengapa kehidupan
manusia selalu penuh dengan permusuhan?
Setelah hatinya tidak dicekam
keharuan dan kedukaan lagi, sang prabu mengangkat
kepala memandang. Ronggo Lawe yang menunggang kuda Nila Ambara, yang dari jauh kelihatan
kehitam-hitaman, menghentikan bala tentaranya dan agaknya telah siap untuk menghadapi serbuan pasukan Mojopahit. Maka teringatlah lagi sri baginda
bahwa beliau sedang
menghadapi barisan musuh! Dipanggilnya para senopatinya dan
bersama mereka,
sambil menyelidiki keadaan musuh, sang prabu menyusun siasat.
“Sedapat mungkin hindarkan perang campuh yang akan menjatuhkan banyak korban di kedua pihak,“
kata sang prabu.
“Yang menjadi biang keladi perang ini adalah Lawe,
maka cukuplah kalau dapat menawannya
hidup atau mati. Kalau dia dapat ditundukkan, tentu perang dapat dihentikan.“
Demikian, siasat lalu disusun. Lembu Sora sendiri, biarpun dia itu paman Ronggo
Lawe, mendapat tugas untuk memimpin pengepungan. Ronggo Lawe akan dikepung dari
tiga jurusan, yaitu Kebo Anabrang
akan menyergap dari jurusan timur, Gagak Sarkoro akan bergerak
dari barat, sedangkan Mayang Mekar yang mengambil jalan
memutar akan muncul dari utara sebagai pasukan penyergap dari belakang. Lembu
Sora sendiri akan langsung
datang dari selatan, langsung menghadapi keponakannya
yang memberontak itu sambil memimpin pengepungan.
Tak lama kemudian
terdengarlah bunyi canang, terompet dan keuntungan, disusul
sorak-sorai yang seolah-olah meruntuhkan langit dari kedua fihak. Perang telah
dimulai !
Siasat sri baginda yang dilaksanakan oleh Lembu Sora dan kawan-kawannya itu berhasil
baik. Mereka telah dapat menceraikan pasukan inti yang dipimpin Ronggo
Lawe sendiri dari pasukan lain dan yang pertama menyerbu adalah Kebo Anabrang,
senopati gemblengan yang telah terkenal amat sakti itu. Senopati Kebo Anabrang
terkenal sekali setelah
dia behasil memimpin pasukan menyeberang ke tanah Melayu,
bahkan telah berhasil memboyong puteri untuk sang prabu sehingga puteri itu kemudian
menjadi isteri terkasih, yaitu Dyah Dara Petak yang kini disebut Sri Indreswari!
“Ronggo Lawe, lebih baik engkau
menyerahkan diri agar dosamu tidak begitu besar
terhdap sang prabu!“ Kebo Anabrang berteriak dengan suaranya yang tinggi besar
dan bertubuh kokoh kekar itu amat menggiriskan. Setiap gerakan tangan dan kaki
dari atas kuda tentu merobohkan
seorang perajurit, bahkan sebelum bertemu dengan
Ronggo Lawe, kaki kanan Kebo Anabrang
ini menendang seorang perwira yang menunggang
kuda sehingga kuda dan penunggangnya terlempar dan terbanting remuk!
Merah muka Ronggo Lawe, kumisnya yang seperti kumis Gatotkaca itu bergetar ketika dia memandang
kepada Kebo Anabrang dari atas punggung Nila Ambara.
“Babo-babo, Kebo Anabrang! Aku tidak melawan sang prabu, melainkan hendak membunuh si Nambi! Suruh dia keluar dan akan kuhirup darahnya! Kalau kau hendak membela di Nambi, berarti kau sudah bosan hidup!“
“Babo-babo, Kebo Anabrang! Aku tidak melawan sang prabu, melainkan hendak membunuh si Nambi! Suruh dia keluar dan akan kuhirup darahnya! Kalau kau hendak membela di Nambi, berarti kau sudah bosan hidup!“
“Manusia sombong, majulah!“ Kebo Anabrang menantang dan mereka menggerakkan
kendali kuda masing-masing. Kuda tunggangan mereka melonjak dan saling tubruk,
terdengar suara nyaring
berdencing ketika keris mereka saling bentur berkali-kali,
mengakibatkan muncratnya bunga api. Bukan main hebatnya pertandingan anatara dua
orang senopati gemblengan dari Mojopahit itu, dan sukarlah mengatalan siapa yang lebih gagah, biar pun tubuh Kebo Anabrang
lebih besar daripada tbuh Ronggo Lawe.
Kalau boleh dibandingkan dengan tokoh pewayangan, tubuh Kebo Anabrang seperti tubuh Sang Aryo Werkudoro, sedangkan tubuh Ronggo Lawe seperti tubuh Sang Aryo Gatotkaca. Akan tetapi
tentu saja dua tokoh ayah dan anak itu tidak akan bertanding
mengadu nyawa seperti yang dilakukan oleh dua orang senopati bekas
kawan seperjuangan itu.
Ronggo Lawe adalah seorang ahli menunggang
kuda dan tubuhnya lebih ringan daripada
Kebo Anabrang, juga kudanya Nila Ambara adalah kuda pilihan, lebih gesit daripada kuda Mego Lamat. Kudanya yang dipergunakan ketika melawan Nambi kemarin
dulu. Karena tubuhnya lebih ringan, maka kuda Nila Ambara jauh lebih
gesit gerakannya sehingga
akhirnya keris di tangan Ronggo Lawe, yaitu keris
pusaka berliuk lima Kyai Kolonadah
berhasil menggores moncong kuda yang
ditunggangi Kebo Anabrang.
Kuda itu meringik dan berdiri di atas kedua kaki,
berloncatan sehingga turun.
“Keparat….!“ bentaknya
dan dengan cekatan sekali seperti seekor kijang melompat,
Kebo Anabrang yang sudah tidak berkuda lagi itu menubruk dengan tusukan kerisnya.
“Cringgg…!! “
Bunga api berpijar ketika keris di tangan Kebo Anabrang yang berliuk tiga dan disebut
Kyai Soka, bertemu dengan Kyai Kolonadah. Keduanya merasa bertapa tangan
mereka tergetar hebat. Akan tetapi kemudian
terpaksa Kebo Anabrang harus meloncat ke belakang dan menjatuhkan diri karena tanpa kuda, dia akan berada
dalam keadaan berbahaya.
“Heh, Kebo Anabrang, pengecut kau kalau melarikan diri!!“ Ronggo Lawe menantang
dan mengajukan kudanya
untuk mengejar.
Dua perwira bawahan Kebo Anabrang
yang melihat atasannya dalam bahaya, cepat meloncat
maju dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dan menyerang Ronggo
Lawe dari kanan kiri dengan tusukan tombak mereka. Secepat kilat, Ronggo Lawe menyarungkan kerisnya, kemudian dengan tubuh ditarik ke belakang, dia
menggerakkan kedua tangan menangkap
tombak yang meluncur dari kanan kiri itu, terus ditariknya
dengan pengerahan tenaga dan kakinya meneprak kuda. Dua orang perwira
itu memekik dan terguling roboh, kemudian disusul pekik mereka yang
menyayat hati ketika kuda Nila Ambara yang mengangkat kaki depannya itu menurunkan
kaki depan dengan keras, menginjak kepala dua orang perwira sehingga
pecah-pecah dan mereka tewas seketika!
Bukan main marahnya hati Kebo Anabrang menyaksikan hal ini.
“Heh, ronggo Lawe,
kalau memang engkau jantan, turunlah dari kudamu dan mari kita mencari tempat
sepi untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang secara ksatria. Tentu saja kalau kau berani!“
Ronggo Lawe adalah
seorang senopati perang, akan tetapi juga seorang kesatria,
seorang pendekar yang tentu saja pantang mundur, apalagi ditantang seperti itu oleh Kebo Anabrang.
“Babo-babo, keparat,
siapa takut padamu?“ Ronggo Lawe membentak dan meloncat
turun dari kudanya, kemudian mengejar turun dari kudanya, kemudian mengejar Kebo
Anabrang yang sengaja
lari mencari tempat yang agak lega. Akhirnya mereka tiba di Sungai Tambakberas yang pada waktu itu airnya agak surut sehingga nampaklah
batu-batu besar, sebesar kerbau menjerum (mendekam dalam air).
No comments:
Post a Comment