Monday, March 30, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 04



Baru saja Ronggo Lawe tiba di luar kota Tuban di mana pasukan-pasukannya telah siap dalam barisan yang rapi, dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain, tiba-tiba seorang kakek menghampirinya. Melihat kakek ini, Adipati Ronggo Lawe cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi salam, karena kakek ini bukan lain adalah Ki Ageng Palandongan, ayah dari isterinya yang pertama, Mertaraga. Setelah memberi salam balasan, Ki Ageng Palandongan dengan wajah yang keriputan itu membayangkan kecemasan hatinya, berkata,

“Puteranda adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang dengan Mojopahit! Apakah hal ini sudah kaupikirkan baik-baik? Apakah tidak ada lain jalan untuk mendamaikan urusan antara Tuban dan Mojopahit?“

Ronggo Lawe menggeleng kepala.

“Harap kanjeng rama tidak mencampuri urusan ini, karena urusan ini adalah urusan kehormatan antara saya dan Nambi. Nambi yang curang telah menghasut sang prabu, kini telah membawa pasukan untuk menggempur Tuban, biar bagaimana pun juga, harus saya tandingi dia!“

Melihat mantunya yang dia tahu amat keras hati, Ki Ageng Palandongan hanya menarik napas panjang.

“Kehendak Hyang Widhi tak apat dicegah oleh kekuasaan manusia. Saya hanya membekali pangestu, sang adipati dan hendaknya kau selalu ingat bahwa segala tindakanmu adalah demi kebenaran, bukan terdorong oleh kebencian.“

“Terima kasih, kanjeng rama.“

Demikianlah, tanpa menghiraukan bujukan mertuanya, Ronggo Lawe lalu menggerakkan pasukannya dan membanjirlah pasukan Tuban itu ke selatan, melakukan perjalanan semalam suntuk.



Pada keesokan harinya, bertemulah pasukan Tuban dengan pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Patih Nambi sendiri. Begitu terjadi perang campuh, Ronggo Lawe membedal kudanya, berputar-putaran mencari musuh besarnya. Akhirnya dia melihat Patih Nambi mengamuk di sebelah timur. Nambi mengendarai seekor kuda yang berbulu ke kuningan, kuda yang bernama Brahma Cikur. Melihat lawannya, Ronggo Lawe menggereng seperti seekor harimau kelaparan, lalu membedal kudanya mengejar ke tempat itu. Setelah dekat dan berhadapan muka, Ronggo Lawe membentak keras,

“Si keparat Nambi! Macam engkau akan menjadi patih hamangkubumi di Mojopahit? Boleh kau menjadi patih kalau dapat melangkahi mayat Ronggo Lawe! Kalau tidak, maka engkau yang akan menggeletak di atas tanah, kepalamu akan kuinjak-ijak sampai lumat!“

“Babo-babo Ronggo Lawe manusia sombong, pemberontak hina dina. Majulah untuk menerima hukuman mati! Nambi juga membentak marah sambil mencabut kerisnya yang berliuk tiga dan bernama kyai Bangodolong. Keris ini mengeluarkan sinar kehitaman dan merupakan keris pusaka yang ampuh.

“Bagus, majulah, keparat! Ronggo Lawe juga mencabut kerisnya, yaitu Kyai Kolondah, keris ber-luk lima yang mempunyai sinar kemerahan menggiriskan. Keris Kyai Kolonadah ini adalah keris pusaka pemberian gurunya, bahkan keris ciptaan atau buatan gurunya itu sendiri, Sang Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna, pertapa di puncak Gunung Bromo yang sudah amat terkenal.

Kini dua ekor kuda pilihan itu mulai berlaga, dikendarai oleh dua orang senopati perang yang sama digdaya, sama gemblengan. Kuda Brahma Cikur dan kuda Mego Lamat meringkik dan menyepak-nyepak, menyirik dan berputar dalam lingkaran ketika kedua tuan mereka mulai bertanding. Keris pusaka dan kepalan melayang saling tikam saling hantam dan saling tangkis. Bunyi nyaring bertemunya dua pusaka disusul oleh berpijarnya bunga api yang menyilaukan mata dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat, keduanya terdorong dan hampir roboh dari atas kuda.



Perang tanding yang amat seru di antara dua orang musuh yang saling membenci ini berlangsung  di tengah-tengah perang campuh antara orang-orang Tuban dan orang-orang Mojopahit, yang dahulunya merupakan kawan-kawan seperjuangan yang berperang bahu-membahu menghadapi  musuh mereka bersama. Akan tetapi, di antara para perwira Mojopahit, dan juga para prajuritnya, banyak yang diam-diam merasa jerih dan juga segan terhadap Adipati Ronggo Lawe, maka mereka berperang setengah hati, apalagi karena jumlah barisan Tuban lebih banyak daripada mereka. Akhirnya, setelah berperang hampir setengah hari lamanya, setelah banyak korban berjatuhan, barisan Mojopahit terdesak mundur. Apalagi ketika Ronggo Lawe berhasil menikam leher kuda Brahma Cikur yang menjadi kesakitan, meloncat-loncat dalam sekarat kemudian terbanting mati, semangat para perwira Mojopahit mengendur. Untung bahwa Patih Nambi dapat cepat meloncat dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi dalam pasukannya.



Dua orang wanita itu merangkul suami mereka dan mereka mencurahkan kasih sayang dan berkasih-kasihan dengan sepenuh jiwa raga karena mereka berdua sedang tenggelam dalam keharuan yang mendalam. Tiada puas-puasnya agaknya Ronggo Lawe mencurahkan cinta kasihnya kepada mereka berdua, dan dua orang isterinya itu pun agaknya tidak pernah mau melepaskan suaminya tercinta dari dekapan mereka.

Setengah hari lamanya Ronggo Lawe dan kedua orang isterinya berada di dalam kamar mereka, saling mencurahkan cinta kasih mereka, lupa segala, lupa waktu, lupa diri dan tenggelam dalam kemesraan. Akhirnya suara canang menyadarkan Ronggo Lawe bahwa bala bantuan tentaranya yang dikumpulkan oleh para pembantunya sudah siap, tinggal menanti dia untuk diberangkatkan menyambut musuh.

Dengan menggandeng tangan kedua isterinya yang kusut pakaian dan rambutnya, pucat mukanya namun wajah dan sinar mata mereka menyorotkan kemesraan, Ronggo Lawe lalu menuju ke kamar mandi. Dengan bantuan dua orang isterinya, dia mandi keramas lalu mengenakan pakaian keprajuritan yang sederhana sekali, tubuh atasnya  hanya terhias pelindung pergelangan tangan, gelang perak di pangkal lengan, baju penutup dada, dan ikat pinggang emas melingkar di pinggang. Celana abu-abu mencapai bawah lutut, tertutup kain yang dilipat pendek di atas lutut, dengan ujung diwiru berjuntai ke depan. Kepalanya hanya terhias ikat kepala yang kecil saja, terbuat dari emas dan perak terukir, sehelai tali yang mengikat hiasan tanda pangkat sebagai adipati, merupakan permainan yang bermata mirah tergantung di leher. Kyai Kolonadah, keris liuk lima yang biasa dipakai dalam perang, terselip di pinggangnya.

Dengan wajah bercahaya dan sikap yang gagah sekali, Ronggo Lawe memeluk dan mencium bibir isterinya yang kini telah tenang dan pasrah itu, Tirtawati dan Martaraga, bergantian, dibalas denagn penuh kemesraan oleh mereka, kemudian adipati ini memondong puteranya yang dibawa masuk.



Tiba-tiba Kuda Anjampiani menangis, membuat ayahanya dan kedua orang ibunya terkejut dan terharu. Diam-diam Ronggo Lawe makin yakin bahwa sesuatu pasti akan menimpa dirinya dan dia merasa bangga bahwa puteranya ini memiliki kepekaan halus.

“Hishh, anak yang gagah kenapa menangis? Ronggo Lawe berkata sambil mencium dahi puteranya.

“Rama jangan pergi meninggalkan saya, anak itu berkata.

“Rama akan pergi ke Mojopahit, jangan menangis nanti akan rama belikan kereta kencana dan kuda sembrani.“

Anak itu berhenti menangis dan memandang ayahnya denagn sepasang matanya yang bening dan tajam.

“Kuda sembrani yang pandai terbang, rama? Rama naik kereta kencana dan diterbangkan oeh kuda sembrani? Ucapan anak-anak itu makin mengandung arti, maka Ronggo Lawe hanya mengangguk-angguk saja, menyerahkan anak itu kepada Tirtawati, kemudian dia berkata, “Selamat tinggal, aku berangkat!“



Sorak-sorai menggegap gempita menyambut kemenangan tentara Tuban yang terus dipimpin oleh Ronggo Lawe, melakukan pengejaran ke selatan. Sisa pasukan Mojopahit melarikan diri ke selatan. Ronggo Lawe yang merasa kecewa bahwa dia hanya dapat membunuh kuda tunggangan Nambi, berteriak keras memberi aba-aba untuk mengejar terus dan dia sendiri dengan kuda Mego Lamat melakukan pengejaran terdepan! Para perajurit Mojopahit yang berada di bagian terbelakang, tersusul dan mengamuklah Ronggo Lawe dengan kerisnya yang mengeluarkan sinar kemenangan. Sepak terjangnya menggiriskan dan sisa pasukan Mojopahit mempercepat larinya, membawa kekalahan besar dan Nambi berada bersama mereka, bahkan menggunakan kuda terbaik untuk mendahului lari ke Mojopahit untuk melaporkan kekalahannya.

Sisa pasukan Mojopahit melintas Sungai Tambakberas. Ketika pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Ronggo Lawe tiba di tepi sungai itu dan hendak melanjutkan pengejarannya, dia ditahan oleh para pembantunya, termasuk Panewu Progodigdoyo yang merupakan pambantu utamanya.

“Jangan, kakang adipati, jangan mengejar ke seberang. Di seberang adalah daerah Mojopahit, jangan sampai kita terjebak di sana. Mojopahit belum mengerahkan semua kekuatan tentaranya, dan tak lama lagi si Nambi tentu akan mendatangkan bantuan yang lebih kuat. Sedangkan pasukan kita sudah lelah, pula harus disusun kembali karena sudah berkurang jumlahnya.“

Ronggo Lawe yang merasa kecewa belum dapat membunuh Nambi, maklum bahwa nasihat ini memang tepat, maka dia mengurungkan niatnya untuk melakuan pengejaran terus. Sebaliknya, Ronggo Lawe lalu mengumpulkan semua kekuatan dan sisa-sisa prajurit Tuban, kemudian memerintahkan para pembantunya untuk memperkuat pasukan dengan menerima pasukan-pasukan suka rela yang berdatangan dari seluruh Tuban, yaitu rakyat jelata yang setelah mendengar bahwa Tuban diserbu tentara Mojopahit lalu menawarkan diri untuk menjadi prajurit dan membantu sang adipati yang mereka hormati dan kagumi.

 

Dalam waktu dua hari saja, hampir selaksa orang dapat dikumpulkan dan secara kilat mereka ini digembleng olah keprajuritan. Di antara mereka terdapat pula orang-orang sakti yang baru turun dari pertapaan untuk mendarmabaktikan kepandaian mereka kepada Kadipaten Tuban.


Sementara itu, sang prabu di Mojopahit tadinya bergembira mendengar berita kemenangan bala tentara Mojopahit yang berhasil mencerai-beraikan dan menumpas sebagian besar para simpatisan Ronggo Lawe dari daerah Mojopahit yang hendak menyeberang ke Tuban. Akan tetapi pada hari berikutnya, beliau terkejut bukan main mendengar berita tentang Nambi.

Tak lama kemudian Nambi sendiri dengan pakaian kusut, muka pucat, napas terengah-engah, menjatuhkan diri berlutut di depannya dan dengan suara terputus-putus melaporkan kekalahan bala tentara yang dipimpinnya.

"Jumlah pasukan si pemberontak itu jauh lebih besar, gusti," demikian antara lain Patih Nambi melapor.

"Pasukan-pasukan kita dihancurkan dan cerai-berai, sebagian melarikan diri mencari keselamatan menyusup ke dusun-dusun dan ke gunung-gunung, dikejar-kejar oleh pasukan Tuban yang kejam dan ganas. Kuda hamba tewas ditusuk si Ronggo Lawe yang curang. Tadinya dia sudah terdesak oleh hamba, akan tetapi dengan liciknya dia menyerang Brahma Cikur dan membunuhnya sehingga hamba terpelanting. Untung hamba masih dapat menyelamatkan diri dari di antara pasukan."

Bukan main marahnya hati sang prabu mendengar pelaporan ini.

"Hemm... Kakang Ronggo Lawe benar-benar telah memberontak! Para senopati, siapkan bala tentara! Sekarang juga aku sendiri akan memimpin pasukan besar untuk menggempur Tuban dan menangkap kakang Ronggo Lawe!" Saking marahnya, sang prabu sampai turun dari kursi kencana dan bertolak pinggang, mukanya merah, matanya berapi-api.



Lembu Sora dan Kebo Anabrang cepat menyembah dan menghibur hati sang prabu yang seang marah itu.

"ampun, kanjeng gusti, harap pasuka bersabaran tidak melanjutkan kemarahan paduka, karena kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan. Perbuatan Ronggo Lawe memang harus dihukum, akan tetapi tidak sekarang karena pasukan-pasukan kita masih lelah." Demikian Lembu Sora dengan suara tenang memperingatkan junjungannya.

"Apa yang dikatakan oleh paman Lembu Sora memang tepat, gusti sinuwun," kata pula  Kebo Anabrang yang juga menjadi merah telinganya karena marah mendengar perlawanan  Ronggo Lawe yang menghancurkan pasukan Mojopahit,

"Kekuatan Mojopahit harus  dipulihkan lebih dulu dan sebelum paduka turun tangan, sebaiknya diselidiki dulu sampai di mana kekuatan musuh. Si Ronggo Lawe bukanlah anak kemarin, melainkan seorang senopati yang sudah gemblengan, maka haruslah dihadapi denagn hati-hati pula, karena kalau hanya sembrono menurutkan kemarahan, jangan-jangan akan menggagalkan penyerbuan seperti yang telah dilakukan oleh Ki Patih Nambi." Dalam ucapan ini sedikit banyak Kebo Anabrang juga menegur Nambi yang tadinya begitu sombong akan tetapi ternyata mengalami kegagalan sehingga merusak kekuatan Mojopahit dan kekalahan itu merendahkan nama besar Mojopahit sendiri. Patih Nambi hanya mendengarkan dengan kepala tunduk.

Akhirnya sang prabu dapat terbujuk oleh dua orang senopati besar dan kemarahannya mereda. Lalu diperintahkannya beberapa senopati dan perwira Mojopahit untuk mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan selaksa orang prajurit yang pilihan dalam waktu tiga hari.

Setelah memperoleh berita dari penyelidikan mata-mata akan kekuatan pasukan Tuban, sang prabu sendiri memimpin selaksa orang pasukan prajurit Mojopahit yang pilihan, kemudian dengan dikawal oleh para senopatinya, sang prabu menggerakkan barisan Mojopahit ke utara, menyeberangi sungai Tambakberas. Dari sebuah bukit kecil di seberang sungai, sang prabu memeriksa keadaan dan dari tempat tinggi itu dia melihat pasukan-pasukan Tuban yang teratur rapi bergerak dari utara dan dari jauh itu sang prabu melihat seorang penunggang kuda yang dengan gagah perkasa  menjalankan kudanya di depan barisan. Seorang senopati yang amat gagah, yang dari jauh nampak cahaya bersinar di atas kepalanya, dan tahulah sang prabu bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Ronggo Lawe sendiri. Trenyuhlah hati beliau, merasa nelangsa mengapa senopatinya yang paling setia itu, yang gagah perkasa dan yang sudah banyak jasanya, bahkan yang berjasa pula membantu dia menjadi raja, kini mengerahkan betapa sepasang matanya menjadi panas dan dua titik air mata mengancam untuk membasahi matanya. Maka beliau lalu menunduk, menarik napas panjang. Mengapa harus ada perang seperti ini? Mengapa kehidupan manusia selalu penuh dengan permusuhan?



Setelah hatinya tidak dicekam keharuan dan kedukaan lagi, sang prabu mengangkat kepala memandang. Ronggo Lawe yang menunggang kuda Nila Ambara, yang dari jauh kelihatan kehitam-hitaman, menghentikan bala tentaranya dan agaknya telah siap untuk menghadapi serbuan pasukan Mojopahit. Maka teringatlah lagi sri baginda bahwa beliau sedang menghadapi barisan musuh! Dipanggilnya para senopatinya dan bersama mereka, sambil menyelidiki keadaan musuh, sang prabu menyusun siasat.

“Sedapat mungkin hindarkan perang campuh yang akan menjatuhkan banyak korban di kedua pihak, kata sang prabu.

“Yang menjadi biang keladi perang ini adalah Lawe, maka cukuplah kalau dapat menawannya hidup atau mati. Kalau dia dapat ditundukkan, tentu perang dapat dihentikan.“

Demikian, siasat lalu disusun. Lembu Sora sendiri, biarpun dia itu paman Ronggo Lawe, mendapat tugas untuk memimpin pengepungan. Ronggo Lawe akan dikepung dari tiga jurusan, yaitu Kebo Anabrang akan menyergap dari jurusan timur, Gagak Sarkoro akan bergerak dari barat, sedangkan Mayang Mekar yang mengambil jalan memutar akan muncul dari utara sebagai pasukan penyergap dari belakang. Lembu Sora sendiri akan langsung datang dari selatan, langsung menghadapi keponakannya yang memberontak itu sambil memimpin pengepungan.

Tak lama kemudian terdengarlah bunyi canang, terompet dan keuntungan, disusul sorak-sorai yang seolah-olah meruntuhkan langit dari kedua fihak. Perang telah dimulai !



Siasat sri baginda yang dilaksanakan oleh Lembu Sora dan kawan-kawannya itu berhasil baik. Mereka telah dapat menceraikan pasukan inti yang dipimpin Ronggo Lawe sendiri dari pasukan lain dan yang pertama menyerbu adalah Kebo Anabrang, senopati gemblengan yang telah terkenal amat sakti itu. Senopati Kebo Anabrang terkenal sekali setelah dia behasil memimpin pasukan menyeberang ke tanah Melayu, bahkan telah berhasil memboyong puteri untuk sang prabu sehingga puteri itu kemudian menjadi isteri terkasih, yaitu Dyah Dara Petak yang kini disebut Sri Indreswari!

“Ronggo Lawe, lebih baik engkau menyerahkan diri agar dosamu tidak begitu besar terhdap sang prabu! Kebo Anabrang berteriak dengan suaranya yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kekar itu amat menggiriskan. Setiap gerakan tangan dan kaki dari atas kuda tentu merobohkan seorang perajurit, bahkan sebelum bertemu dengan Ronggo Lawe, kaki kanan Kebo Anabrang ini menendang seorang perwira yang menunggang kuda sehingga kuda dan penunggangnya terlempar dan terbanting remuk!

Merah muka Ronggo Lawe, kumisnya yang seperti kumis Gatotkaca itu bergetar ketika dia memandang kepada Kebo Anabrang dari atas punggung Nila Ambara. 
“Babo-babo, Kebo Anabrang! Aku tidak melawan sang prabu, melainkan hendak membunuh si Nambi! Suruh dia keluar dan akan kuhirup darahnya! Kalau kau hendak membela di Nambi, berarti kau sudah bosan hidup!“

“Manusia sombong, majulah! Kebo Anabrang menantang dan mereka menggerakkan kendali kuda masing-masing. Kuda tunggangan mereka melonjak dan saling tubruk, terdengar suara nyaring berdencing ketika keris mereka saling bentur berkali-kali, mengakibatkan muncratnya bunga api. Bukan main hebatnya pertandingan anatara dua orang senopati gemblengan dari Mojopahit itu, dan sukarlah mengatalan siapa yang lebih gagah, biar pun tubuh Kebo Anabrang lebih besar daripada tbuh Ronggo Lawe. Kalau boleh dibandingkan dengan tokoh pewayangan, tubuh Kebo Anabrang seperti tubuh Sang Aryo Werkudoro, sedangkan tubuh Ronggo Lawe seperti tubuh Sang Aryo Gatotkaca. Akan tetapi tentu saja dua tokoh ayah dan anak itu tidak akan bertanding mengadu nyawa seperti yang dilakukan oleh dua orang senopati bekas kawan seperjuangan itu.



Ronggo Lawe adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuhnya lebih ringan daripada Kebo Anabrang, juga kudanya Nila Ambara adalah kuda pilihan, lebih gesit daripada kuda Mego Lamat. Kudanya yang dipergunakan ketika melawan Nambi kemarin dulu. Karena tubuhnya lebih ringan, maka kuda Nila Ambara jauh lebih gesit gerakannya sehingga akhirnya keris di tangan Ronggo Lawe, yaitu keris pusaka berliuk lima Kyai Kolonadah berhasil menggores moncong kuda yang ditunggangi Kebo Anabrang. Kuda itu meringik dan berdiri di atas kedua kaki, berloncatan sehingga turun.

“Keparat….! bentaknya dan dengan cekatan sekali seperti seekor kijang melompat, Kebo Anabrang yang sudah tidak berkuda lagi itu menubruk dengan tusukan kerisnya.

“Cringgg…!!

Bunga api berpijar ketika keris di tangan Kebo Anabrang yang berliuk tiga dan disebut Kyai Soka, bertemu dengan Kyai Kolonadah. Keduanya merasa bertapa tangan mereka tergetar hebat. Akan tetapi kemudian terpaksa Kebo Anabrang harus meloncat ke belakang dan menjatuhkan diri karena tanpa kuda, dia akan berada dalam keadaan berbahaya.

“Heh, Kebo Anabrang, pengecut kau kalau melarikan diri!! Ronggo Lawe menantang dan mengajukan kudanya untuk mengejar.


Dua perwira bawahan Kebo Anabrang yang melihat atasannya dalam bahaya, cepat meloncat maju dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dengan tusukan tombak mereka. Secepat kilat, Ronggo Lawe menyarungkan kerisnya, kemudian dengan tubuh ditarik ke belakang, dia menggerakkan kedua tangan menangkap tombak yang meluncur dari kanan kiri itu, terus ditariknya dengan pengerahan tenaga dan kakinya meneprak kuda. Dua orang perwira itu memekik dan terguling roboh, kemudian disusul pekik mereka yang menyayat hati ketika kuda Nila Ambara yang mengangkat kaki depannya itu menurunkan kaki depan dengan keras, menginjak kepala dua orang perwira sehingga pecah-pecah dan mereka tewas seketika!

Bukan main marahnya hati Kebo Anabrang menyaksikan hal ini.

“Heh, ronggo Lawe, kalau memang engkau jantan, turunlah dari kudamu dan mari kita mencari tempat sepi untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang secara ksatria. Tentu saja kalau kau berani!“



Ronggo Lawe adalah seorang senopati perang, akan tetapi juga seorang kesatria, seorang pendekar yang tentu saja pantang mundur, apalagi ditantang seperti itu oleh Kebo Anabrang.

“Babo-babo, keparat, siapa takut padamu? Ronggo Lawe membentak dan meloncat turun dari kudanya, kemudian mengejar turun dari kudanya, kemudian mengejar Kebo Anabrang yang sengaja lari mencari tempat yang agak lega. Akhirnya mereka tiba di Sungai Tambakberas yang pada waktu itu airnya agak surut sehingga nampaklah batu-batu besar, sebesar kerbau menjerum (mendekam dalam air).

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 5

No comments:

Post a Comment