"Ibunda, haruskah kita meninggalkan semua ini dan pergi melarikan diri? Apakah tidak ada
jalan lain, ibu...?" dara yang
sedang remaja itu dengan suara
nelangsa berkali-kali bertanya
kepada ibunda.
"Ibu, kenapa kita tiba-tiba
menjadi penakut-penakut seperti ini? Kalau ada bahaya mengancam, apakah kita tidak mendapat perlindungan dari Gusti Adipati
Ronggo Lawe yang terkenal
bijaksana itu?" Adik dara itu, seorang anak laki-laki
yang usianya kurang lebih sepuluh
tahun, bertanya dengan dada dibusungkan.
"Dan tidakkah kita seharusnya membela diri dengan gagah perkasa seperti mendiang ayah?"
Ibu mereka yang sedang mengajak
kedua orang anaknya itu berkemas, menarik napas panjang,
lalu memberi isyarat kepada dua orang anaknya untuk mengikutinya masuk
ke dalam bilik,
di mana dia lalu duduk di atas pembaringan dan dua orang anaknya
itu berlutut di atas lantai
depan ibu mereka yang kelihatan gelisah dan
bersungguh-sunguh sehingga mereka berdua ikut menjadi khawatir.
Ibu itu berusia kurang dari empat puluh tahun, masih cantik sekali biar pun
pakaiannya sederhana
saja. Kulitnya kuning langsat dan wajahnya masih kelihatan
segar dan belum ada keriput
merusak kulit mukanya. Dia kelihatan gelisah dan
pandang matanya
seperti mata seekor kelinci ketakutan, sering kali memandang ke arah pintu kamar itu seolah-olah setiap saat akan muncul mara bahaya dari pintu
itu. Kalau dia memandang
kedua orang anaknya, alisnya berkerut karena sesungguhnya mereka gelisah, terutama kalau dia melihat anak perempuannya. Janda
Galuhsari merasa dadanya
seperti ditusuk. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya
sendiri, akan tetapi dia khawatir sekali kalau-kalau malapetaka menimpa kedua
orang anaknya.
Lestari, dara remaja itu, memandang
kepada ibunya dengan wajah agak pucat.
Pekerjaan berkemas
tadi, yang dilakukan dengan pengerahan sedikit tenaga,
membuat rambutnya yang ikal mayang agak kusut dan beberapa ikal rambut di dahi
berjuntai dan melingkar ke bawah, juga di depan kedua pelipisnya. Beberapa kali jari-jari
tangannya yang kecil meruncing itu menyibakkan anak rambut yang menggelitik, akan tetapi anak-anak rambut yang nakal itu terjuntai kembali ke atas dahi dan pipinya yang berkulit halus dan tipis. Sepasang matanya jeli
bersinar-sinar seperti
bintang senja, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga
membentuk garis menghitam di sekeliling matanya, dilindungi oleh sepasang
alis yang kecil panjang hitam melengkung seperti dilukis. Hidungnya
kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan mudah tergetar, serasi sekali dengan
sebuah mulut yang memiliki daya tarik paling kuat. Mulut yang manis dan indah,
dengan bibir yang penuh dan tiipis, merah basah seperti buah tomat matang yang membuat
orang ingin sekali mengigitnya. Di balik sepasang bibir yang agak terbuka ketika dia memandang ibunya itu mengintai deretan gigi putih mengkilap,
rata dan menjadi lebih indah karena dipangur (dipasah) dan samar-samar nampak ujung lidah merah kecil menempel
di antara dua deretan gigi yang agak terbuka.
Sukarlah melukiskan keindahan dara remaja ini, cantik jelita dan seperti
setangkai bunga yang sedang mekar, harum semerbak mengandung sari madu berlimpah-limpah
dalam usianya yang lima belas tahun itu.
Sutejo, adiknya yang baru berusia
sepuluh tahun, telah membayangkan sikap gagah seorang
kesatria. Tarikan dagunya yang meruncing, mulut yang tidak cengeng,
sepasang mata yang bersinar-sinar penuh keberanian, serupa benar dengan mendiang
ayahnya, seorang perwira yang digdaya dan perkasa,
Lembu Tirta yang terkenal
sebagai seorang
di antara benteng-benteng Mojopahit, yang membantu perjuangan
Raden Wijaya yang kini telah menjadi Raja Mojopahit
pertama bergelar Sang Prabu
Kertarajasa Jayawardana. Anak laki-laki ini baru berusia tiga tahun ketika ayahnya
gugur di medan perang, akan tetapi karena seringnya dia mendengar
penuturan ibunya tentang kegagahan ayahnya itu sehingga kini melihat ibunya
ketakutan dan hendak melarikan diri, dia merasa penasaran sekali.
Sambil membelai rambut puterinya dan merangkul leher puteranya, janda Galuhsari
berkata lirih,
“Tari, tidak perlu engkau menyayangkan semua harta milik kita yang tidak berapa banyak ini. Apakah artinya harta kalau jiwa raga kita terancam bahaya? Yang terpenting adalah menyelamatkan jiwa raga yang sekali hilang tak dapat kita cari lagi, sebaliknya, harta benda dapat dicari setiap saat, anakku.
Dan kau, Tejo, jangan salah mengerti. Kita bukanlah penakut, ibumu tidak sudi mencemarkan nama besar ayahmu dengan menjadi penakut. Juga kita boleh percaya
akan kebijaksanaan dan keadilan Sang Adipati Tronggo Lawe. Akan tetapi…..bahaya
yang mengancam kita kiranya tidak akan dapat ditolong oleh sang adipati.“
Janda yang masih nampak muda dan cantik itu kembali memandang ke pintu dengan
gelisah.
“Kita harus melarikan diri malam nanti, tidak boleh ditunda-tunda lagi…..“
“Akan tetapi mengapakah, ibu? Bahaya apakah yang mengancam kita?“ Lestari
bertanya, kini mulai ikut gelisah dan juga memandang ke pintu.
“Ibu, siapa yang akan berani menganggu kita, keluarga mendiang Lembu Tirta?“
Sutejo berkata sambil mengepal tinjunya yang kecil.
“Tidak perlu kalian tahu akan hal itu, anak-anakku. Yang penting kalian ketahui
adalah bahwa terdengar olehku adanya berita angin bahwa Kadipaten Tuban nampaknya
bersiap-siap hendak memberontak Mojopahit. Dan aku tahu benar bahwa
kekalutan ini tentu akan dipergunakan kesempatan baik oleh musuh besar kita.“
“Siapa dia, ibu?“ Lestari dan Sutejo bertanya hampir berbareng.
“Dia….. Progodigdoyo…..“
“Sang panewu…..?“ Lestari bertanya dengan matanya yang lebar jeli itu terbelalak.
“Kenapa dia musuh besar kita, ibu?“ Sutejo juga bertanya.
“Sebelum kita menghadapi bahaya, sebaiknya kalau kuceritakan kepada kalian, anak-anakku.
Siapa tahu ……, segera terjadi perang dan mungkin kita akan cerai-berai ….“
“Ah, ibu……!“ Lestari
ngeri membayangkan kemungkinan itu. Akan tetapi adiknya
hanya memandang kepada ibu mereka, sinar matanya tajam menuntut penjelasan.
“Kalian tentu tahu bahwa Panewu Progodigdoyo masih terhitung sanak dengan sang adipati,
karena dia adalah keponakan dari ibu Gusti Adipati Ronggo Lawe. Karena
itu, kekuasaannya tinggi, apalagi dia diangkat sebagai penewu yang mengepalai
pasukan besar. Sebaliknya, ibumu hanya seorang janda, dan kita tidak dapat
berbuat sesuatu. Memusuhi dia sama artinya seperti ketimun melawan duren, akan hancur sendiri
kita.“
“Ibu, ceritakan apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Panewu Progodigdoyo!“
Sutejo menuntut,
suaranya penuh desakan dan penasaran.
“Semenjak belasan tahun yang lalu, Perwira
Lembu Tirta, mendiang ayah kalian,
dan Perwira Progodigdoyo di samping perwira-perwira lain termasuk Gusti Adipati
Tuban, adalah pembantu-pembantu Gusti Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang dahulu
masih bernama Raden Wijaya. Mereka semua berjuang
bahu membahu sebagai rekan-rekan
yang saling setia. Akan tetapi, sejak…..mendiang ayah kalian menikah dengan
ibumu...terjadi keretakan antara ayah kalian dengan Progodigdoyo...“
“Kenapa, ibu?“ Lestari bertanya ketika mendengar suara ibunya terputus-putus.
“Ahhhh…..,ibumu yang menjadi
sebab anak-anakku. Progodigdoyo mencinta ibumu,
akan tetapi aku memilih Perwira Lembu Tirta.“
Lestari dan Suteja saling pandang,
kemudian mereka memandang lagi kepada ini
mereka, janda Galuhsari
yang menarik napas panjang.
“Kemudian delapan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan, ketika mendiang ayah
kalian dan Progodigdoyo sedang bertempur melawan musuh bahu membahu, tiba-tiba
dari samping Progodigdoyo bertindak curang dan khianat, ayahmu diserang dengan
keris dan ditusuk lambungnya sehingga roboh“
“Ihhh…..!“ Lestari menjerit dan terisak.
“Si keparat Progodigdoyo!!“ Sutejo mengepal tinju dan sepasang matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar.
“Sstttt…., jangan berteriak
seperti itu, tejo. Sudah kukatakan, kita tidak berdaya
dan rasa penasaran ini harus kita kubur saja di hati.“
Hening sejenak di
balik itu. Sutejo masih berdiri mengepal tinju, Lestari masih terisak dan
memeluk paha ibunya, sedangkan janda galuhsari duduk termenung
memandang kosong ke depan.
"Bagaimana ibu bisa tahu apa yang terjadi
di medan perang itu?" Tiba-tiba Sutejo
bertanya, pertanyaan yang menunjukkan kecerdikan seorang anak berusia sepuluh
tahun.
“Ayahmu yang tersangka telah tewas oleh Progodigdoyo itu ternyata masih kuat
untuk merangkak pulang
dan dia mati di dalam pelukanku, masih kuat menceritakan
pengkhianatan Progodigdoyo.“
“Kenapa ibu tidak melaporkan kepada gusti adipati, atau kepada sang prabu?“
Lestari berkata
penuh penasaran.
“Hemm, siapa yang akan percaya,
anakku? Aku mengkhawatirkan keadaan kalian
berdua yang masih kecil, maka aku diam saja, pura-pura
tidak tahu karena kalau
aku memusuhinya, kita semua
akan celaka. Apa lagi
karena Progodigdoyo adalah saudara sepupu Gusti Adipati Ronggo Lawe.“
“Ibu penakut!“ Tiba-tiba
Sutejo berteriak, mukanya merah dan matanya melotot
memandang ibunya.
Janda Galuhsari terkejut
dan menangis.
“Kalian tidak tahu…..betapa hebat aku menderita…..betapa Progodigdoyo selama ini berusaha untuk membujukku, untuk
mengambil aku sebagai selir, dengan janji-janji muluk namun aku….. aku selalu menolak
dan memperahankan diri…..tanpa berani menyebut-nyebut peristiwa itu…..dia
sudah mengancam akan tetapi agaknya belum memperoleh kesempatan baik. Sekarang…..ada
berniat bahwa Tuban akan memberontak terhadap Mojopahit, hal ini berbahaya sekali,
tentu dia akan mempergunakan kesempatan selagi keadaan kalut untuk melaksanakan
ancamannya, yaitu memaksaku. Maka lebih dulu kita harus menyingkir, minggat ke daerah
Mojopahit…..“
Sejenak suasana hening sekali,
yang terdengar hanya langkah-langkah halus janda Galuhsari
yang mulai menyalakan lampu-lampu karena cuaca mulai gelap. Kemudian
janda cantik itu duduk lagi dan merangkul
Sutejo yang kelihatan masih marah,
mencium dahi puteraanya itu.
“Tejo ibumu bersabar
dan menahan segala derita demi untuk keselamatan engkau dan mbakyumu. Kalau tidak ada kalian, apakah kau kira ibu masih suka hidup menderita
seperti ini? Lebih baik menyusui ayah kalian.“
“Ibu….!“ Tejo dan Lestari berteriak dan merangkul ibu mereka. Bertangisanlah
tiga orang itu dan akhirnya
janda Galuhsari dapat menenangkan mereka.
“Aku menjadi isteri ayah kalian karena kami saling mencinta, dan dengan cinta kasih segala apa pun dapat diatasi
dan dihadapi, anak-anakku. Selain itu, ibu masih teringat
akan wejangan-wejangan mendiang kakek kalian, yaitu ayahku yang
menjadi pertapa, oleh karena
itu, aku tidak menaruh dendam kepada Progodigdoyo.
Dendam menimbulkan kebencian bersemi di dalam hati, maka hidup akan merupakan
penderitaan karena kita tidak akan dapat mengenal cinta kasih.“
“Apa maksudmu, ibu?“ Lestari bertanya.
“Mengapa kita tidak boleh membenci? Tentu
saja kita membenci orang yang jahat kepada kita dan mencinta orang yang baik kepada
kita, ibu.“
Kembali janda Galuhsari
menarik napas panjang.
“Kelak kalian akan mengetahui sendiri, anak-anakku, akan tetapi selagi masih ada waktu, biarlah kalian mendengar
wejangan mendiang kakekmu tentang cinta kasih murni.“
Maka terdengarlah nyanyian
yang lirih namun merdu dari mulut yang menyanyikan
tembang Sinom. Kesunyian malam itu dipecahkan suara lembut yang menggetar penuh penasaran
dan yang menyusup ke dalam kalbu dua orang anak yang mendengarkan
dengan hati terharu itu.
“Cinta kasih tidak akan dapat terujud apabila lima macam penonjolan diri ini berkuasa
:
Loba, ialah ketamakan, Selalu merasa
kurang, Moha, gila hormat, selalu
Merasa benar sendiri,
Murka, Mudah marah dan banyak Membenci,
Himsa, suka menyiksa dan membunuh,
Matsarya, iri hati dan suka mencela
Orang lain. Betapa indah dan agungnya cinta kasih,
tanpa cinta kasih, hidup menjadi
kering dan gersang!“
Suasana menjadi sunyi hening ketika tembang itu habis dinyanyikan, akan tetapi
hanya sebentar saja karena segera terdengar suara kasar dari luar pintu,
“Ha, ha, ha, betapa tepatnya
nyanyianmu itu, Galuhsari! Agaknya engkau sengaja
menyambutku dengan nyanyian itu, ha-ha-ha!“
Janda yang cantik itu menahan jeritnya dengan punggung tangan kanannya,
sedangkan Lestari
memeluk pinggang ibunya dengan muka ketakutan ketika ibunya
bangun berdiri dari tempat tidur. Sutejo membalikkan tubuhnya dan dengan kedua
tangan terkepal dia memandang laki-laki tinggi besar berkumis panjang melintang
yang telah berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki yang sikapnya gagah dan kasar, selain tubuhnya
tinggi besar dan kumisnya panjang melintang di atas mulut seperti
kumis Gatotkaca, juga pakaiannya sebagai seorang panewu itu membuatnya
kelihatan rapi dan gagah. Seorang
bangsawan yang berwibawa. Hidungnya besar membengol,
ciri seorang laki-laki yang di kuasai hawa nafsu birahi yang besar
dan matanya lebar tak megenal takut. Inilah Panewu Progodigdoyo yang sejak muda menjadi
seorang prajurit yang pilihannya, gagah perkasa dan sakti, masih saudara
sepupu, juga kepercayaan Adipati Ronggo Lawe di Tuban.
Melihat munculnya panewu
yang baru saja mejadi bahan percakapannya dengan kedua
orang anaknya, muka janda Galuhsari menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa musuh besar itu akan secepat
itu muncul di dusun Kembangsari, yaitu tempat
tinggalnya yang berada di sebelah
selatan Tuban, akan tetapi masih termasuk
Kadipaten Tuban. Dusun ini adalah dusun kampung halaman mendiang suaminya,
sebuah dusun yang kecil saja namun karena berada di lereng pengunungan.
“Ha-ha-ha, engkau
makin cantik saja Galuhsari. Dan tembangmu tadi memang tepat.
Hidupku kering dan gersang
karena rinduku kepadamu. Galuhsari, setelah menanti
selama delapan tahun, untuk yang terakhir kalinya aku datang sendiri meminangmu,
manis! Lihat, tidak kasihankah engkau kepada puterimu yang sudah remaja ini, cantik jelita seperti ibunya.
Dan lihat, puteramu yang masih kecil ini begitu
gagah, mengingatkan aku kepada ayahnya, yaitu kakang Lembu Tirta. Mari engkau
ikut dengan aku ke kadipaten dan anak-anakmu akan menjadi anak-anakku, terhormat
dan hidup mulia.”
“Tidak sudi aku!!” Bentakan
nyaring ini keluar dari mulut Sutejo yang berdiri
tegak memandang Panewu Progodigdoyo tanpa rasa takut sedikit pun.
“Engkau mendengar itu, Progodigdoyo? itulah suara mendiang kakangmas Lembu Tirta
melalui mulut anak kami, dan juga menjadi
suara hatiku. Engkau tahu bahwa aku tidak mau menikah
dengan siapa pun, maka tiggalkanlah kami, Progodigdoyo,
biarkan aku menjanda selama hidup mendidik sendiri anak-anakku.”
Tanpa diundang, Progodigdoyo lalu duduk di atas kursi di bilik itu, dan memandang kepada ibu dan dua orang anaknya yang kini duduk di atas pembaringan.
Matanya sejak tadi memandang
dan menjelajahi wajah dan bentuk tubuh janda itu,
kadang-kadang menelan
ludah dan kalamenjing di keringkongannya bergerak-gerak
kalau matanya tiba di bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahinya, sinar
matanya seperti
membelai dan mengelus-elus tubuh janda itu,
“Galuhsari, kenapa sampai sekarang engkau masih bersikeras dan tega sekali engkau
merusak hatiku? Aku kesepian,
Galuh, aku rindu padamu
..”
“Jangan berkata begitu, Panewu Progodigdoyo, bukankah di rumahmu telah ada isterimu
dan para selirmu?”
“Ha-ha-ha, mereka itu kelihatan
seperti sampah di waktu aku memandangmu.
Kecantikan mereka dibandingkan dengan engkau seperti bintang-bintang berjajar
bulan purnama! Ingat, Galuhsari,
aku cinta padamu, aku kasihan kepadamu dan sudah sepatutnya
kalau aku yang melindungi janda kakang Lembu Tirta, mengingat
betapa kami seperti saudara sekandung. Kakang Lembu Tirta tentu akan rela melihat
bekas istrinya menjadi kekasihku yang tercinta..”
“Bohong! Ayah tidak rela karena engkau telah membunuhnya!” Tiba-tiba Sutejo
berteriak dan panewu itu sampai terloncat dari tempat duduknya mendengar ini.
Lengannya yang panjang
bergerak dan tangan kanannya sudah mencengkeram pundak
Sutejo dan ditariknya anak itu ke dekatnya.
“Apa kau bilang?” bentaknya.
“Panewu Progodigdoyo..jangan kau ganggu
anakku.!” Janda Galuhsari menjerit
sambil menubruk maju, memegang lengan puteranya dan menariknya. Terjadi tarik menarik sebentar,
kemudian tiba-tiba Progodigdoyo melepaskan cengkeramannya
sehingga tubuh anak itu terlepas dan Galuhsari hampir jatuh, terhuyung ke belakang
sambil memeluk Sutejo dan terjatuh duduk di atas pembaringan dipeluk
oleh Lestari yang menangis.
Akan tetapi Sutejo tidak menangis, hanya memandang
panewu itu dengan mata terbelakak penuh kebencian.
Panewu Progodigdoyo menantap
wajah janda itu dengan mata mendelik dan sinar mata
penuh selidik, kemudian
dia berkata, suaranya lirih akan tetapi mengandung
ancaman mengerikan,
"Galuhsari, jadi selama ini engkau tahu..."
Janda itu mengangguk.
“Sebelum meninggalkan dunia karena kecuranganmu, dia masih kuat merangkak
pulang..." lalu ia terisak.
Progodigdoyo kelihatan
terkejut dan juga tidak enak hati, akan tetapi rasa malu karena
kecurangannya itu bukan membuat dia mundur, bahkan membuat hatinya yang sudah dibikin
keruh oleh nafsu itu semakin nekat.
“Kalau begitu, ketahuilah bahwa apa yang kulakukan
dahulu itu adalah demi cintaku kepadamu, Galuhsari!
Maka, mau tak mau engkau menjadi milikku.“
“Keparat hina!“ Sutejo tiba-tiba
memaki dan seperti seekor harimau kecil anak ini menerjang ke depan, kepalan tangannya yang kecil itu memukul ke arah perut
panewu itu. Tentu saja sang panewu dengan amat mudahnya menangkap kedua tangan
Sutejo yang meronta-ronta dengan sia-sia.
“Progodigdoyo, lepaskan
anakku dan pergilah! Kalau tidak, aku akan menjerit” “Menyerahkan, seluruh penduduk dusun Kembangsari sudah dikepung oleh pasukanku,
siapa yang akan berani
melawan dan memberontak?“
“Kembalikan anakku!“
Akan tetapi Progodigdoyo yang kini maklum bahwa rahasianya membunuh Lembu Tirta sudah ketahuan
dan bahwa putera dari Lembu Tirta ini kalau dibiarkan hidup kelak
hanya akan membikin repot saja, lalu memanggil pembantunya,
“Klabang Curing ke sinilah!“
Dari luar pintu berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan begitu masuk, dia mengerling ke arah janda cantik itu dan anak daranya sambil tersenyum-senyum.
“Bawa anak ini ke dalam hutan dan...“
Progodigdoyo memberi isyarat dan hanya
Klabang Curing saja yang maklum bahwa dia disuruh membunuh anak laki-laki itu di dalam hutan,
atau jelasnya, anak itu harus dibunuh tanpa diketahui ibunya.
“Baik, kakang Panewu,“
katanya sambil tertawa dan suara ketawannya makin keras
ketika Sutejo berusaha
meronta-ronta dan melepaskan diri ketika kedua lengannya
dipegang oleh orang tinggi kurus itu dan tubuhnya diseret keluar.
“Kembalinya anakku!“ Jerit janda Galuhsari sambil menangis.
Dari luar Sutejo
yang masih meronta-ronta itu dapat mendengar semua suara di dalam bilik, karena Klabang Curing sambil tersenyum-senyum menyeringai agaknya
ingin pula mendengarkan maka dia belum meninggalkan tempat itu.
Sutejo mendengar ibunya menangis,
juga tangis kakaknya, Lestari.
“Kau bunuh saja aku, akan tetapi kembalikan anakku…..“ Ibunya meratap.
“Ha-ha, anakmu itu tidak apa-apa,
dan anakmu yang manis itu pun tidak akan
diganggu kalau kau menyerahkan diri dengan baik-baik kepadaku, Galuhsari. Ke sinilah,
manis, sudah tiba saatnya kau menghentikan sikap bermusuh itu padaku.
Aku cinta padamu
dan sudah delapan tahun aku menahan rinduku kepadamu.“
“Tidak……,tidak…..!“
Hening sejenak, kemudian Sutejo
menengar jerit kakaknya. Lestari menjerit
dan disusul lengking ibunya.
“Progodigdoyo….apa….apa yang
hendak kau lakukan?“ terdengar ibunya memekik di antara tangisnya.
“Kalau kau berkeras tidak mau, kau lihatlah betapa aku memaksa anakmu menggantikan engkau melayani aku…..“
“Jangan…..ahhh…..lebih baik kau bunuh aku…..kau
boleh siksa aku…..akan tetapi
jangan kau ganggu Lestari…..“ Ibunya meratap dan Sutejo meronta-ronta dan
berteriak-teriak.
Klabang Curing yang takut kalau-kalau ketahuan oleh atasannya
bahwa dia pun ikut mendengarkan dengan asyik, cepat mendekap mulut anak itu sehingga
Sutejo meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jari-jari
tangan yang kuat itu.
“Nah, bagaimana?“ terdengar Progodigdoyo mengancam.
“Anakmu, atau engkau yang menyerah dengan suka rela?“
Sutejo mendengar ibunya merintih,
“…..sesukamulah…..asal kau jangan menggangu anakku…..“ Selanjutnya ia mendengar suara Progodigdoyo tertawa girang dan mendengar
rintihan ibunya yang menahan tangis, diselingi tangis dan isak Lestari
yang terdengar penuh perasaan takut dan ngeri.
“Heh-heh, hebat memang
kakang Progodigdoyo…..“ Klabang Curing tertawa lalu menyeret
tubuh Sutejo dari tempat itu, meniggalkan rumahnya dan dusun Kembangsari, terus menyeret tubuh anak itu ke arah hutan yang gelap.
Sutejo berhenti meronta
dan Klabang Curing melepaskan lengan kanan anak itu, hanya memegangi
tangan kirinya sambil terus menarik.
“Paman…..aku hendak dibawa ke manakah?“ Sutejo bertanya, suaranya penuh rasa penasaran,
akan tetapi sedikit pun dia tidak merasa takut, dan diam-diam tangan
kanannya meraba-raba ke pinggangnya. Di situ terselip sebatang keris yang tadi
dibawanya ketika ibunya berkemas,
Keris itu adalah keris peninggalan ayahnya,
sebatang keris yang bernama Nogopusoro, keris pusaka yang selama berada di
tangan mendiang Senopati
Lembu Tirta telah minum darah entah berapa banyak lawan sehingga
selain beracun, juga keris itu mempunyai wibawa menyeramkan.
“Hendak dibawa ke mana? Ha-ha-ha,
ke mana lagi kalau tidak ke neraka?“ Klabang
Curing terbahak.
“Salahnya ibumu yang tidak tahu bahwa sang panewu
tergila-gila kepadanya….,ha-ha-ha!“ Klabang Curing tertawa sambil mengangkat mukanya ke atas
sehingga tidak tahulah dia betapa anak kecil itu telah mencabut
keris Nogopusoro yang sudah berkarat oleh darah lawan.
“Cepp….!Aughhhh…..!“ Klabang Curing adalah seorang
panglima yang memiliki
kedigdayaan, biar pun lambungnya tertusuk keris karena dia tadi sama sekali
tidak menduganya, namun dia dapat sempat
mengerahkan tenaga kekebalannya
sehingga keris itu tidak masuk lebih dalam lagi. Apa pula karena tenaga Sutejo memang tidak besar. Sambil mengerahkan tenaga ke lambungnya, Klabang Curing
memaki,
“Anak setan!“ dan kakinya
menendang.
“Dessss….!“ Keris itu tercabut dari lambungnya ketika tubuh anak kecil itu mencelat
sampai beberapa tombak jauhnya.
“Setan cilik, kupatahkan batang lehermu
….. ahhhh!“ Klabang Curing yang
meloncat hendak menubruk anak itu
roboh terguling dan pingsan
karena keampuhan keris Nogopusoro yang telah melukai lambungnya tadi.
Sutejo yang masih memegang keris di tangan, merasa kepalanya pening ketika dia
terbanting jatuh, akan tetapi melihat
musuhnya roboh, dia cepat menyimpan keris
ayahnya dan bangkit
berdiri, lalu berlari kembali menuju ke dusun Kembangsari
sambil membayangkan malapetaka yang mengancam ibunya dan kakaknya.
“Ibuuuu…..!“ Dia menjerit dan berlari terus dalam kegelapan malam.
Masih
hidupkah ibunya dan kakaknya? Sudah terlalu lama dia diseret oleh Klabang Curing
tadi, hampir satu jam lamanya.
Akan terlambatkah dia?
Dengan berindap-indap dan menyusup-nyusup karena melihat ada beberapa orang penunggang
kuda menjaga di sekeliling rumah dan dusun, dia akhirnya berhasil
memasuki rumah ibunya dari pintu belakang.
Segera dia menyelinap mendekati kamar ibunya
dan mengintai, tidak berani masuk secara sembrono karena dia mendengar
suara di dalam. Dilihatnya ibunya berdiri di dekat pembaringan, rambutnya yang
hitam panjang sampai ke pinggul itu terurai lepas dan hanya mengenakan tapih pinjung
(kain yang dililitkan ke tubuh sampai ke dada), memandang kepada Panewu
Progodigdoyo yang tersenyum-senyum sambil mengenakan lagi jubahnya.
“Progodigdoyo!“ ibunya membentak dan tangan kirinya memeluk Lestari yang
menangis dengan muka pucat dan menyembunyikan mukanya ke dada ibunya “Engkau
tadi berjanji tidak akan mengganggu anakku kalau aku mau menyerahkan diri kepadamu.
Akan tetapi…..apa yang kau katakan tadi? Kau tidak boleh membawa
Lestari…..!“
“Ha-ha-ha, Galuhsari, aku salah sangka tentang dirimu. Aku kecewa…..ternyata engkau sudah terlalu tua. Maka biarlah aku tidak jadi membawamu, dan sebagai
gantinya anakmu ini akan kupersunting menjadi selirku. Dia cantik seperti engkau,
akan tetapi dia masih muda dan segar, sedangkan engkau…..sayang, kau terlalu tua…..“
“Jahanam busuk!“ Janda itu memaki dengan jerit melengking
saking marahnya. Dia telah mengalami
penghinaan besar, menyeraahkan diri dan diperkosa di depan
puterinya sendiri,
hal yang dilakukan dengan hati berdarah demi keselamatan
puterinya. Akan tetapi yang didapatkannya sebagai imbalan pengorbanan hebat ini
hanya penghinaan yang menyakitkan hati, dan puterinya tetap saja akan dibawa
oleh musuh besar itu.
“Hemmm, perempuan tua, jangan banyak lagak engkau.
Lebih baik kau serahkan
anakmu itu menjadi selirku dan engkau boleh menjadi pelayan di rumahku, kalau engkau
masih ingin selamat. Siapa tidak tahu bahwa engkau hendak melarikan diri, hendak memberontak terhadap Tuban?“
Kemarahan Galusari mencapai puncaknya.
“Manusia berhati iblis…..!” Dia memaki dan
menyambar lampu di atas meja lalu dilemparnya lampu itu ke arah Progodigdoyo.
“Ehhh…..!“ Lampu itu pecah berantakan
menghantam dinding bambu bilik itu dan api yang disiram
minyak menjilat dan membakar dinding bambu.
“Perempuan busuk!“ Progodigdoyo meloncat ke depan, tangan kirinya menampar dan tangan
kananya menyambar Lestari. Galuhsari terpekik dan terlempar ke samping,
sedangkan Lestari yang dapat dipondong oleh Progodigdoyo menjerit. Akan tetapi Progodigdoyo meloncat ake pintu kamar hendak pergi dari kamar yang mulai
terbakar itu.
“Progodigdoyo manusia keparat!“
Tiba-tiba terdengar bentakan Sutejo yang menyerbu
dari luar pintu kamar denagn keris terhunus.
Progodigdoyo terbelalak.
“Kau…..??“
Dia merasa heran sekali melihat
anak ini karena bukankah
anak ini sudah disuruhnya bunuh oleh Klabang Curing? Mengapa
bisa muncul di sini? Bulu tengkuknya meremang karena dia menduga bahwa yang
muncul ini tentu arwah atau setan dari anak itu.
“Dessss….!!“ Galuhsari
mengeluh lemah, tubuhnya terlempar masuk kembali ke dalam bilik yang sedang terbakar,
terbanting keras dan pingsan! Progodigdoyo yang
masih memondong tubuh Lestari
yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, hanya menoleh
satu kali melihat betapa api mulai menjilat dan membakar rambut panjang
dan kain yang hampir terlepas itu, kemudian meloncat ke luar.
“Ibu…..Tejo…..!“
Progodigdoyo memukul
perlahan tengkuk Lestari dan dara remaja itu roboh lemas di dalam pondongannya, tak sadarkan diri. Tak lama kemudian yang terdengar bergema
di dalam dusun Kembangsri yang menjadi sunyi senyap itu hanya ringkik kuda dan derap kaki kuda meninggalkan dusun itu, dan suara ini pun lenyap, terganti oleh suara api yang mengamuk dan melahap rumah bekas tempat tinggal janda Galuhsari.
Baru pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali setelah api sudah kenyang dan menghabiskan rumah dan seluruh isinya, para tetangga berani mendekati tempat itu. Wajah mereka tegang karena semalam mereka mendengar
bahwa pasukan dari Tuban datang untuk membikin
pembersihan dan dikabarkan bahwa keluarga mendiang Lembu
Tirta dicurigai dan diperiksa. Kemudian mereka mendengar jerit-jerit itu dan disusul suara api membakar
rumah. Karena ketakutan mereka tidak berani keluar,
dan baru pagi hari berikutnya mereka berani keluar memenuhi halaman rumah yang
sudah menjadi puing itu dan menemukan
kerangka yang sudah hangus dan sebagian
menjadi abu. Itulah kerangka janda Galuhsari yang segera mereka rawat dan melarungkannya (menghanyutkan) ke air Sungai Ambakberas. Anehnya, tidak ada bekas kerangka
Sutejo, sedangkan mereka semua tahu bahwa Lestari telah ditawan
dan dibawa ke Tuban, karena ketika pasukan itu meninggalkan dusun, ada penduduk
yang sempat mengintai dengan tubuh mengigil dan melihat dara itu dalam pondongan
Panewu Progodigdoyo.
Seperti biasanya terjadi di dalam jaman apa pun dan di mana pun, peraturan dan hukum hanya diterapkan untuk mengendalikan rakyat kecil belaka, sedangkan orang-orang
besar biasanya atau sebagian besar adalah kebal terhadap hukum. Andaikata
peristiwa pembunuhan, pembakaran rumah dan penculikan gadis itu dilakukan oleh
rakyat biasa, tentu hukum akan mengejarnya sampai dia ditangkap dan dihukum
sesuai dengan kejahatannya. Akan tetapi, kalau pembesar yang berkuasa melakukan
sesuatu, biasanya peristiwa itu lewat begitu saja, karena pemegang hukum adalah
para pembesar belaka.
Rakyat hanya bisa merasa penasaran akan tetapi lambat laun peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati itu terlupa juga. Demikian pula dengan peristiwa
di dusun Kembangsari ini. Karena tahu bahwa yang melakukan pembakaran
dan
pembasmian atas keluarga mendiang Perwira Lembu Tirta adalah pasukan Tuban
yang dipimpin oleh Panewu
Progodigdoyo, maka siapakah
yang akan berani membuat ribut? Orang yang paling berkuasa di dusun itu hanyalah berpangkat lurah biasa,
apa dayanya terhadap seorang senopati dari Kadipaten Tuban, tangan kanan Gusti
Adipati Ronggo Lawe sendiri? Maka semua orang hanya bisa saling pandang,
menggeleng-geleng kepala
dan merasa kasian kepada nasib janda Galuhsari
sekeluarga, akan tetapi tak berani membuka mulut karena mereka maklum bahwa ribut-ribut mempersoalkan peristiwa itu berarti mengundang malapetaka yang mungkin
lebih mengerikan daripada peristiwa itu sendiri.
Apa yang diceritakan oleh janda Galuhsari sebelum dia tewas dalam keadaan
mengerikan itu kepada anak-anaknya tentang pemberontakan Tuban memang benar. Api pemberontakan itu mulai menyala
akibat rasa iri hati yang bergolak di dalam dada Sang Adipati
Rongo Lawe.
Seperti dituturkan dalam Serat Panji Wijayakrama, Ronggo Lawe adalah putera dari
Bupati Sumenep yang bernama banyak Wide, atau Aryo Wirorojo
dan kemudian berganti nama menjadi Aryo Adikoro. Ayah dan anak ini merupakan senopati-senopati
Mojopahit yang telah banyak berjasa, terutama terhadap Sang Prabu Kertarajasa
Jayawardana semenjak sang prabu belum menjadi raja dan masih bernama Raden
Wijaya. Mereka itu merupakan
ponggawa-ponggawa yang setia di samping tokoh-tokoh
Mojopahit lainnya,
terutama sekali Senopati Lembu Sora atau Ken Sora yang berpangkat demang, adik dari Aryo Wirorojo atau paman dari Ronggo Lawe, Kebo Anabrang,
Raden Nambi dan yang lain-lain.
Setelah Raden Wijaya berhasil menjadi Raja Mojopahit pertama bergelar
Kertarajasa Jayawardhana, beliau tidak melupakan jasa-jasa para senopati (perwira)
yang setia dan banyak membantunya semenjak dahulu itu membagi-bagikan pangkat
kepada mereka.
Ronggo Lawe diangkat menjadi adipati di Tuban dan yang lain-lain
pun diberi pangkat
pula. Dan hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya, sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi raja, amatlah
erat dan baik.
Akan tetapi guncangan pertama yang
mempengaruhi hubungan ini adalah ketika
sang prabu telah menikah
dengan empat puteri mendiang Raja Kertanegara, telah menikah
lagi dengan seorang puteri dari Melayu. Sebelum puteri dari tanah Malayu ini menjadi
isterinya yang kelima, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah mengawini semua puteri mendiang Raja Kertanegara. Hal ini dilakukannya karena
beliau tidak menghendaki adanya Kertanegara itu semua menjadi isterinya sehingga
tidak akan timbul dendam dan perebutan
kekuasaan kelak. Keempat orang puteri itu adalah Dyah
Tribunan
yang menjadi permaisuri, yang kedua adalah Dyah Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah Jaya Inderadewi, dan yang juga disebut Retno Sutawan
atau Rajapatni yang berarti
“terkasih“ karena memang puteri bangsu dari mendiang Kertanegara ini menjadi isteri yang paling dikasihinya. Dyah Gayatri
yang bungsu ini memang cantik jelita seperti
seorang dewi kahyangan, terkenal di seluruh negeri dan kecantikannya dipuja-puja oleh para sasterawan di masa itu.
Akan tetapi, datanglah pasukan yang beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang
Sang Prabu Kertanegara ke negeri Malayu. Pasukan ini dinamakan pasukan Pamalayu
yang dipimpin oleh seorang senopati
perkasa bernama Kebo Anabrang atau juga Mahisa
Anabrang, nama yang diberikan oleh sang prabu mengingat akan tugasnya
menyeberang (anabrang) ke negeri Malayu. Pasukan ekspedisi yang berhasil baik ini membawa
pulang pula dua orang puteri bersaudara. Puteri yang ke dua, yaitu
yang muda, bernama Dara Petak dan Sang Prabu Kertarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan sang puteri ini, maka diambillah Dyah Dara Petak menjadi isterinya
yang ke lima. Segera
ternyata bahwa Dara Petak menjadi saingan yang paling kuat dari Dyah Gayatri,
karena Dara Petak memang cantik jelita dan pandai membawa
diri. Sang Prabu sangat mencintai isteri termuda ini yang setelah diperisteri
oleh sang baginda, lalu diberi nama Sri Indreswari.
Terjadilah persaingan di antara para isteri ini, yang tentu saja dilakukan
secara diam-diam
namun cukup seru, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih
dan perhatian sri baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan
masing-masing. Kalau sang prabu sendiri kurang menyadari akan persaingan ini, pengaruh persaingan itu terasa benar oleh para senopati dan mulailah terjadi
perpecahan diam-diam di antara mereka sebagai pihak yang bercondong kepada Dyah Gayatri
keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, dan kepada Dara Petak keturunan
Malayu. Tentu saja Ronggo Lawe, sebagai seorang yang amat setia sejak jaman Prabu Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri. Namun, karena segan
kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan dan kebencian yang dilakukan
secara diam-diam itu tidak sampai menjalar menjadi permusuhan terbuka.
Kiranya tidak ada terjadi hal-hal yang lebih hebat sebagai akibat masuknya Dara Petak ke dalam kehidupan sang prabu, sekiranya tidak terjadi hal yang membakar
hati Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan patih hamangku bumi, yaitu Patih Kerajaan
Majopahit. Yang diangkat
oleh sang prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan
paling berkuasa
sesudah raja sendiri itu adalah Senopati Nambi. Pengangkatan ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak.
Mendengar akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Ronggo Lawe. Ketika
mendengar berita
ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh kedua orang
isterinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo
dan Tirtowati. Mendengar berita itu dari seorang
penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan, Ronggo Lawe merah bukan main. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji
kedigdayaannya, maka nasi sekepal
itu amblas ke dalam lantai! Kemudian terdengar
bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur!
"Kakangmas adipati...harap paduka tenang..." Dewi Mertorogo menghibur suaminya.
“Ingatlah, kakangmas adipati...sungguh merupakan hal yang kurang baik
mengembalikan berkah ibu pertiwi
secara itu...“ Tirtowati juga memperingatkan
karena melempar nasi ke atas lantai seperti itu penghinaan terhadap Dewi Sri dan
dapat menjadi kualat.
Akan tetapi Adipati
Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya
dicuci oleh kedua orang isterinya
yang berusaha menghiburnya.
“Aku harus pergi sekarang
juga!“ katanya.
“Pengawal lekas suruh persiapkan
si Mego Lamat di depan! Aku akan
berangkat
ke Mojopahit sekarang juga!“
Mego Lamat adalah satu di antara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo Lawe,
seekor kuda yang amat indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Semua cegahan kedua istrinya sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah itu.
Tak lama kemudian,
hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang
yang memecah kesunyian gedung kadipaten itu, mengiris perasaan dua orang isteri
yang mencinta dan mengkhawatirkan keselamatan suami mereka yang marah-marah itu.
Pada waktu itu, sang prabu sedang dihadap
oleh para senopati dan ponggawa. Semua
penghadap adalah
bekas kawan-kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan mereka ini terkejut
sekali ketika melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa dipanggil,
padahal sudah agak lama Adipati
Tuban ini tidak datang menghadap sri baginda.
Sang prabu sendiri juga memandang
dengan alis berkerut tanda tidak berkenan
hatinya, namun karena Ronggo Lawe pernah menjadi tulang punggungnya di waktu
beliau masih berjuang
dahulu, sang prabu mengusir ketidak senangan hatinya dan segera menyapa
Ronggo Lawe.
Di dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe masih ingat untuk
menghaturkan sembahnya, akan tetapi setelah semua salam tata susila ini selesai,
serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara lantang,
“Hamba
sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan paduka dari kekhilafan yang paduka lakukan
di luar kesadaran paduka!“
Semua muka para penghadap
raja menjadi pucat mendengar ucapan ini, dan semua
jantung di dalam dada berdebar
tegang. Mereka semua mengenal belaka sifat dan
watak Ronggo Lawe, banteng
Mojopahit yang gagah perkasa dan selalu terbuka,
polos dan jujur, tanpa tedeng aling-aling lagi dalam mengemukakan suara hatinya,
tidak akan mundur setapak pun dalam membela hal yang dianggap benar.
Sang Prabu sendiri
memandang dengan mata penuh perhatian, kemudian dengan suara tenang bertanya,
“Kakang Ronggo Lawe, apakah maksudmu
dengan ucapan itu?“
“Yang hamba maksudkan
tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai pepatih
paduka! Keputusan
yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana
dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara dari belakang!
Pengangkatan Nambi sebagai patih hamangku bumi sungguh
merupaan kekeliruan yang besar sekali, tidak tepat dan tidak adil, padahal
paduka terkenal sebagai seorang Maha Raja yang arif bijaksana dan adil!“
Hebat bukan main ucapan Ronggo Lawe ini! Seorang adipati, tanpa dipanggil,
berani datang menghadap sang Prabu dan melontarkan teguran-teguran seperti itu! Muka Patih Nambi sebentar
pucat sebentar merah, kedua tangannya dikepal dan dibuka dengan jari-jari
gemetar. Senopati Kebo Anabrang mukanya menjadi merah seperti
udang direbus, matanya yang lebar itu seperti mengeluarkan api ketika
dia mengerling ke arah Ronggo Lawe. Lembu Sora yang sudah tua itu menjadi
pucat mukanya, tak mengira dia bahwa keponakannya itu akan seberani itu. Senopati-senopati
Gagak Sarkoro dan Mayang Mekar juga memandang dengan mata terbelalak. Pendeknya,
semua senopati dan pembesar yang saat itu menghadap sang prabu dan mendengar
ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian besar marah sekali, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri
karena mereka menghormat sang prabu.
Akan tetapi Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang
kepada Ronggo Lawe, ponggawanya yang dia tahu amat setia kepadanya itu, lalu
berkata halus,
“Kakang Ronggo Lawe, tindakanku
mengangkat kakang Nambi sebagai
patih hamangku bumi, bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan telah merupakan
suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bahkan telah
mendapatkan persetujuan dari semua paman dan kakang senopati dan semua
pembantuku. Bagaimana
kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pegangkatan itu tidak tepat dan tidak adil?“
Dengan muka merah, kumisnya yang seperti kumis Sang Gatotkaca itu bergetar,
napas memburu karena desakan amarah, Ronggo Lawe berkata lantang,
“Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu! Paduka tentu masih ingat akan segala sepak terjang dan tindak-randuknya dahulu! Dia seorang bodoh, lemah,
rendah budi, penakut, sama sekali tidak memiliki wibawa...“
“Kakang Ronggo Lawe, tentu engkau tahu pula bahwa kakang Nambi adalah seorang
ahli siasat dan ketatanegaraan.“ Sang Prabu memotong.
“Memang tukang siasat dia, tukang akal-akalan, akal bulus yang kotor dan busuk.
Negara akan celaka kalau patihnya
seperti dia yang penuh kelicikan. Dan hamba
katakan bahwa pengangkatan ini tidak adil, karena apakah Mojopahit kekurangan
orang-orang yang sudah jelas setia dengan jiwa raganya, yang sudah
mendarma baktikan seluruh kehidupannya untuk paduka, yang sudah berjasa besar
dalam setiap peperangan?“
“Hemmm...aku mengangkat patih berdasarkan kecakapannya untuk jabatan itu, kakang Ronggo Lawe.““Harap paduka mengampuni hamba. Akan tetapi, apabila paduka membutuhkan seorang
patih hamangku bumi, seorang pembantu yang boleh diandalkan mengapa paduka
mengangkat Nambi? Apakah Paman Lembu Sora kurang cakap? Seandainya paduka
menganggap Paman Lembu Sora terlalu tua atau tidak memenuhi syarat, bukankah
masih ada hamba?
Mengapa justruh si Nambi yang picik itu yang diangkat?“
“Ronggo Lawe, engkau orang kasar yang sudah menjadi gila oleh iri hati!“ Tiba-tiba
Nambi tidak dapat menahan
dirinya lagi karena telah dihina berkali-kali di depan banyak orang. Kalau tadi dia diam saja adalah karena dia tidak berani ribut-ribut
di hadapan sang prabu.
“Iri hati katamu? Bukan iri hati, melainkan
ingin menegakkan Mojopahit karena kalau engkau yang menjadi patih, kedudukan
Mojopahit pasti akan merosot, nama
besar dan keagungan
sang prabu akan terseret turun oleh kepicikanmu! Siapa yang
tidak tahu bahwa Paman Lembu Sora dan aku, ya aku si Rongga Lawe, telah menyerahkan seluruh jiwa raga untuk keagungan sang prabu dan Mojopahit? Kalau
tidak ada kami berdua di waktu sang prabu menghadapi tentara Tar-tar, apakah
Mojopahit akan dapat terbangun? Jasa Paman lembu Sora ini tidak diperhatikan,
dan dikalahkan oleh orang macam engkau!“
Suasana menjadi panas sekali dan kalau tidak ada sang prabu di situ, tentu telah
terjadi pertempuran! Sang Prabu memandang dengan penuh kekhawatiran karena kalau
sampai terjadi
pertarungan antara pembantunya yang setia di depannya, maka selain hal
itu amat memalukan, juga akan
melemahkan kedudukannya. Maka dengan berbagai
usaha dia mencoba untuk meredakan
kemarahan Ronggo Lawe, akan tetapi
Adipati Tuban ini tetap merajuk dan dengan suara lantang dia berkata.
“Hamba
tahu bahwa hamba telah melakukan dosa di hadapan paduka dengan sikap hamba ini. Akan tetapi,
sikap hamba ini adalah wajar dan kalau hamba akan dijatuhi hukuman,
hamba akan menerimanya! Siapa tidak akan meradang melihat betapa si pengecut
licik, si penakut Nambi malah memperoleh kedudukan yang paling tinggi! Dan hamba serta Paman Lembu Sora dan para kawan lainnya
harus tunduk dan menyembahnya!
Keparat Nambi, entah dengan rayuan apa engkau dapat membujuk sang prabu. Kalau
engkau hendak menyangkal semua kata-kataku, hayo keluar, pilihlah tempat yang kau sukai, waktu yang kau sukai, setiap saat, kapan saja, di mana saja, Ronggo Lawe siap untuk menghadapimu, menyelasaikan hal ini dengan taruhan nyawa sebagai
ksatria! Tidak macam engkau yang hanya pandai bersilat lidah!“
Makin panaslah suasana di situ. Pendeta Brahmana yang diberi isyarat oleh sri baginda,
lalu mendekati Ronggo Lawe dan berkata dengan suara halus dan tenang,
“Anakmas
Adipati Ronggo Lawe, harap suka tenang dan mendinginkan hati dan pikiran,
ingatlah baik-baik apakah sikap seperti ini di hadapan sri baginda merupakan
sikap yang benar? Dan apakah akibatnya
yang akan menimpa para keluarga anakmas
dengan sikap seperti ini?“
Para senopati dan pembesar
yang hadir membenarkan dan mendukung kata-kata
pendeta ini, akan tetapi sia-sia
saja karena Ronggo Lawe tetap saja marah-marah
dan menantang-nantang Nambi untuk keluar dan menghadapinya sebagai ksatria.
Kebo Anabrang, senopati
perkasa yang pemarah, tidak lagi dapat menahan dirinya,
menuding telunjuknya kepada Ronggo Lawe dan membentak,
“Lawe, manusia kurang ajar kau! Kalau memang kau jantan, mengapa menantang-nantang di hadapan sang
prabu? Keluarlah dan siapkan segala senjata dan kedigdayaanmu di alun-alun!“
Ronggo Lawe menepuk
dadanya.
“Babo-babo, aku akan menghadapi
semua penjilat dan penghianat!“ Adipati Tuban ini meloncat ke luar dan tanpa pamit dia meninggalkan
ruang permusyawaratan itu. Dengan mata berapi-api dan muka merah Ronggo Lawe
menuju ke alun-alun, menanggalkan bajunya, bertelanjang dada dan sambil
meletakkan tangan
di atas dahan kayu pohon, dia menanti keluarnya Nambi dan siapa saja yang berani melawannya! Setelah agak lama tidak ada yang keluar,
kemarahannya menjadi-jadi dan mulailah Ronggo Lawe merusak tanaman dan merobohkan
bangunan di depan istana. Jembangan-jembangan besar dan berat diangkatnya dan dibanting hancur berkeping-keping. Memang hebat tenaga senopati
ini, dadanya yang telanjang
itu berkilauan karena keringat, bidang dan tegap penuh dengan otot-otot yang menggembung dan kuat, seperti banteng. Matanya yang
tajam itu bersinar-sinar dan tiada hentinya dia menantang mencelakakan Mojopahit
dengan lidah beracun mereka! Para pengawal dan penjaga di sekitar alun-alun
tidak ada yang berani bergerak,
hanya memandang dengan muka pucat dan seorang perwira penjaga cepat melapor ke dalam
istana.
Sementara itu, suasana
di ruangan balai pertemuan amat sunyi setelah Ronggo Lawe pergi. Semua orang terdiam,
menunduk di hadapan Raja Kertarajasa yang berulang
kali menghela napas. Kemudian
terdengar sang prabu berkata dengan jelas
mengandung kedukaan
hati,
“Paman Demang Lembu Sora, bagaimana
pendapat paman
dengan adanya
peristiwa ini? Apakah sebaiknya Nambi kuturunkan kedudukannya
sebagai patih dan mengangkat Lawe menjadi patih hamangku bumi, paman?“
Lembu Sora cepat menyembah.
“Hendaknya paduka tidak melakukan
hal itu karena bagaimana
mungkin paduka menyerah junjungan hamba semua akan menyerah saja kepada kehendak
Ronggo Lawe? Hal itu hanya akan merendahkan kedudukan paduka,
karena hendaknya paduka ingat akan ketentuan bahwa segala sabda yang dikeluarkan
oleh raja tidak dapat tidak harus dilaksanakan. Paduka sudah mengangkat anakmas
Nambi sebagai patih, tidak mungkin kalau sabda paduka itu digagalkan hanya oleh ulah tingkah Ronggo Lawe.“
Biar pun Ronggo Lawe adalah keponakannya sendiri, namun Lembu Sora yang bijaksana
tidak setuju akan sikap yang diperlihatkan Ronggo Lawe tadi, maka tentu saja dia pun tidak mau mebela keponakannya yang dianggapnya telah keliru
dan salah.
Tiba-tiba seorang perwira
penjaga datang menghadap dengan sembahnya, dilanjutkan
dengan laporan yang diucapkan dengan suara gugup,
“Ampunkan hamba... hamba
melaporkan bahwa...Adipati Tuban mengamuk di alun-alun, merusak tanaman-tanaman
dan merobohkan bangunan
di depan istana...,
tanaman dicabuti,
jembangan dibanting
dan dihancurkan...“
Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 02
Amin
ReplyDeleteSendi sehat semangat gowes ya
ReplyDelete~nungguin ya
ReplyDelete๐
ReplyDeleteciee yang baca karena disuruh guru
ReplyDeleteYoi bener banget
Deletetentu saja
DeleteHaha.. mending nyontek di temen
DeletePanjang beut๐ญ๐ญ๐ญ
ReplyDeleteNing alak aku kalo kek gini๐๐
ReplyDeleteRiski danuarta mabok๐
ReplyDeletenyontek do bro,
ReplyDelete