Monday, March 30, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 02



Semua orang mengepal tinju mendengar ini.
“Perkenankan hamba ke luar dan menghajar pemberontak itu, gusti. Kebo Anabrang yang sudah marah sekali itu menyembah, menggigit-gigit bibirnya dan mencancutkan kain, siap untuk melawan Ronggo Lawe.
“Hamba yang menjadi sebab kemarahannya, harap perkenankan hamba menghadapi Ronggo Lawe, Gusti. Nambi pun menyembah.
Akan tetapi sebelum sang prabu rapat mengambil keputuan, Senopati Pamandana menyembah dan berkata lantang,
“Hamba kira tidaklah selayaknya kalau di alun-alun terjadi pertempuran antara Senopati Mojopahit. Bagaimana kalau ada utusan dari luar yang datang bertamu melihatnya? Hal ini akan membikin suram kecemerlangan nama Kerajaan Mojopahit.“
Sang prabu mengangguk-angguk.
“Pendapatmu bijaksana, paman. Akan tetapi, bagaimana sebaliknya harus dilakukan untuk meredakan kemarahan kakang Ronggo Lawe?“
Hening sejenak karena semua senopati juga merasa bingung. Bagaimana harus menghadapi Ronggo Lawe yang marah itu kecuali dengan senjata? Tiba-tiba senopati Singosardulo menyembah dan berkata,
“Hamba kira tidak ada seorang pun di antara hamba sekalian di sini yang akan dapat meredakan kemarahan Ronggo Lawe kecuali Paman Lembu Sora.“
“Ah, kau benar! Sang prabu berseru girang.
“Paman Damang Lembu Sora, sekarang ini tiba saatnya engkau memperlihatkan kesetiaanmu yang sudah berkali-kali kau buktikan kepadaku. Kau keluarlah, paman, dan bujuklah si Ronggo Lawe agar dia suka menghentikan amukannya.“
“Hamba akan mencoba sekuasa hamba. Lembu Sora menyembah, lalu berpamit dan keluar dari tempat itu, langsung menuju ke alun-alun di mana Ronggo Lawe masih merusak tanaman dan hiasan di depan istana.
Ketika Ronggo Lawe melihat orang keluar dari istana, dia menghentikan amukannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang keluar menemuinya
adalah pamannya sendiri, Lembu Sora! Hal ini sungguh tidak disangkanya. Pamannya keluar untuk menyambut tantangannya? Tidak mungkin! Tidak mungkin dia berani melawan pamannya yang juga gurunya itu.

Maka begitu Lembu Sora tiba di depannya, dengan kaki lemas Ronggo Lawe lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, menahan dua titik air mata yang membasahi matanya.
“Aduh paman...,tak perlu paman memarahi saya. Saya sudah tahu betapa saya telah membikin malu kepada paman dengan semua sikap saya. Akan tetapi, tidak kuat hati saya melihat paman yang telah berjasa besar itu dikesampingkan dan dikalahkan oleh seorang macam Nambi.“
“Lawe, mengapa engkau menuruti hati yang kecewa dan marah sehingga engkau telah memperlihatkan sikap yang amat memalukan dan menghina sang prabu? Lupakah engkau akan segala kebaikan sang prabu, bahkan engkau telah dianggap sebagai seorang ponggawa kesayangan dan kepercayaan sang prabu, diperbolehkan ke luar masuk istana dengan bebas siang dan malam. Tidak tahukah engkau betapa sedihnya hati sang prabu, yang biar pun engkau telah bersikap seperti itu tadi masih menyarankan  hendak menggantikan kedudukan Nambi dan menyerahkan kursi patih kepadamu?“
Ronggo Lawe menundukkan kepala mendengar ini. Dia mencabut kerisnya, menyerahkan keris pusakanya kepada Lembu Sora sambil berkata,
“Duhai paman Lembo Sora...saya menerima salah dan tentu paman datang sebagai utusan sang prabu untuk menghukum saya. Karena paman boleh membunuh saya dan saya tidak akan melawan, paman.“
Lembu Sora menjadi terharus. Teringat dia betapa keponakannya ini telah berjuang bersama dia, menyerbu bermacam-macam musuh untuk membela Kerajaan Mojopahit dan Sang Prabu Kertarajasa, betapa entah sudah berapa kali di dalam medan yuda keponakannya ini menyelamatkan nyawanya dari serangan musuh secara menggelap. Dia menggeleng kepala dan diam-diam dia pun dapat mengerti akan rasa penasaran di dalam hati keponakannya yang berwatak keras ini.
“Lawe lebih baik engkau kembali saja ke Tuban dan ceritakan semua peristiwa ini kepada kakang Wirororjo. Kau dengarkan nasehat ayahmu, anakku, dan jangan kau mengamuk di sini karena pamanmu ini tentu akan merasa dan para Senopati Mojopahit.“
“Jadi paman tidak ingin menghukum saya? Kalau paman tidak sampai hati membunuh saya, baiklah, saya akan pulang, paman. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa ini, hanya ada dua pilihan bagi saya. Yaitu, memberontak atau berhamba lagi kepada sang prabu di Mojopahit. Akan tetapi, kalau saya berhamba lagi, tentu
akan terulang kembali peristiwa ini karena paman sendiri tahu betapa sang prabu telah terbujuk oleh suara-suara berbisa yang datangnya dari tanah seberang. Nah, selamat tinggal, paman.
Ronggo Lawe lalu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Lembu Sora yang mengandung kedukaan dan kekhawatiran besar, dan pandang mata para penjaga yang ketakutan dan segera mereka melaporkan ke dalam istana.
Mendengar pelapor para penjaga itu, dengan hati berat terpaksa sang prabu tidak melarang ketika para senopati lalu mengadakan persiapan, menyusun bala tentara untuk  sewaktu-waktu digerakkan mengepung dan menggempur Kadipaten Tuban yang dianggap memberontak! Hanya Lembu Sora yang mengikuti semua peristiwa ini dengan keluh kesah di dalam hatinya. Batin orang tua perkasa ini tertekan hebat. Tentu saja dia merasa berat sekali kepada keponakan yang tercinta itu, akan tetapi betapa pun juga, dia tidak mungkin membalik muka terhadap Mojopahit.

Panasnya badan dapat didinginkan dengan mandi air sejuk, akan tetapi panasnya hati  sukar didinginkan dan tidak dapat diredakan dengan mandi di air Sungai Tambakberas  seperti yang dilakukan oleh Adipati Ronggo Lawe, Kuda Mego Lumat dia tambatkan di  sebatang pohon asam di tepi sungai dan karena hatinya yang panas membuat tubuhnya  terasa gerah, adipati ini lalu menanggalkan pakaian luarnya, lalu meredam tubuhnya di air sungai. Namun, air sungai di seluruh dunia tidak akan dapat mendinginkan hatinya yang masih panas, terutama sekali kalau dia teringat akan Nambi yang dianggapnya licik dan curang dan Kebo Anabrang yang menantangnya di depan sang prabu. Berulang kali tinjunya dikepal, giginya berkerot dan matanya liar memandang ke kanan kiri, mencari tempat penumpahan amarahnya. Namun pada senja hari itu di sekitar sungai Tambakberas sunyi senyap, apalagi dia menyeberang di dekat sebuah hutan yang liar. Hetinya yang panas, marah dan kecewa, membuat sang adipati tidak ingin bertemu dengan orang banyak, dan karena pada saat itu Sungai Tambakberas sedang surut, dia tidak menggunakan penyeberangan umum melainkan memilih tempat sunyi ini dan menyeberangkan kudanya tanpa bantuan perahu.

Akhirnya dia naik ke atas dan selagi dia hendak mengenakan kembali pakaian dia hendak mengenakan kembali pakaian luarnya, tiba-tiba telinganya mendengar suara jerit wanita, datangnya jauh dari dalam hutan itu. Trengginas, seperti seekor harimau, Sang Adipati Rongo Lawe melompat dan berlari memasuki hutan itu, meninggalkan kuda dan pakaiannya, mengerahkan seluruh aji kesaktiannya sehingga larinya secepat suara tangis wanita yang makin jelas terdengar itu.

Tiba-tiba dia berhenti dan mengintai dari balik pohon dengan mata beringas. Kemarahan yang sejak tadi sudah bernyala di dalam rongga dada adipati ini, kini menjadi makin berkobar ketika dia melihat lima orang laki-laki tinggi besar duduk seenaknya di atas rumput. Tiga orang di antara mereka tertawa terkekeh sambil menonton adegan yang memuakkan hati RonggLawe, yaitu seorang wanita yang sudah terlepas gelung rambutnya yang panjang dan hampir telanjang pakaiannya yang dicabik-cabik oleh laki-laki itu. Si wanita berusaha mempertahankan kehormatan dengan meronta-ronta, mencakar dan kadang-kadang menjerit dan menangis, sedangkan laki-laki tinggi besar berperut gendut itu berusaha untuk menciumi bibir wanita itu dan menindihnya sambil terkekeh menjijikkan. Ada pun orang ke dua sedang mempermainkan seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang terbelalak ketakutan dan mengigil ketika laki-laki tinggi besar yang memangkunya itu menciumi mukanya sambil terkekeh dan berkata,
“Engkau juga calon seorang dara cantik, ha-ha-ha!“
“He, Jubis, hayo cepat, kami sedang menanti giliran kami, ha-ha-ha!
Tiga orang itu memandang laki-laki pertama yang menggumuli dara itu dengan mata mengandung penuh gairah nafsu.
Ronggo Lawe merasa betapa dadanya hampir meledak saking marahnya. Bagi dia yang sedang marah kepada Mojopahit, pemandangan yang dilihatnya itu merupakan tanda keruntuhan kerajaan sehingga ada penjahat yang demikian nekat melakukan perbuatan laknat tidak jauh dari wilayah Mojopahit. Dia mengeluarkan suara seperti harimau untuk melepaskan kemarahannya, kemudian tubuhnya meloncat ke depan, dua kali dia menendang dan dua orang laki-laki tinggi besar yang menggumuli dara cantik bersama anak perempuan itu terlepas dari cengkraman mereka dan terpelanting pula. Si dara dengan muka pucat menengok, dan melihat bahwa penolong itu seorang laki-laki gagah perkasa yang hanya memakai cawat dan pakaian dalam, dia cepat membetulkan kainnya yang koyak.

Sementara itu, dua orang yang kena tendang tadi mengaduh-aduh, akan tetapi dengan marah mereka bangkit berdiri, bersama tiga orang temannya mereka mencabut kelewang (golok) dan memandang kepada Ronggo Lawe penuh kemarahan. Tentu saja mereka tidak mengenal adipati yang telah meninggalkan pakaian luarnya itu, dan mengira bahwa yang menganggu kesenangan mereka hanyalah seorang dusun belaka.
"Heh keparat siapa kamu, berani mengantar nyawa dengan mengganggu kesenangan kami?" bentak seorang di antara mereka yang jenggotnya sekepal sebelah dan matanya sebesar jengkol, agaknya pemimpin mereka yang tadi sedang berusaha memperkosa dara itu dan dipanggil dengan nama Jubris oleh kawan-kawannya.
Sinar mata Rongo Lawe ketika memandang mereka seperti api yang hendak membakar, kemarahan membuat dia sukar membuka mulut untuk bicara, akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata,
"Aku mewakili Sang Hyang Yomodipati untuk mencabut nyawa kalian manusia-manusia busuk!"
Lima orang itu menjadi makin marah dan dengan teriak-teriak liar mereka lalu menyerbu, mengeroyok dan menyerang Ronggo Lawe dengan golok mereka. Terdengar angin bersuitan dan golok itu berdesing ketika senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ganas ke arah tubuh Ronggo Lawe dari semua jurusan. Ternyata bahwa lima orang penjahat itu bukanlah perampok-perampok sembarangan dan melihat gerakan mereka ketika menyerang, jelas bahwa mereka itu memiliki kepandaian dan kekuatan yang lumayan. Adipati Ronggo Lawe memang sudah menduga akan hal ini karena melihat dua orang itu tadi masih sanggup bangkit lagi setelah terkena tendangan-tendangannya, dia maklum bahwa mereka bukan orang-orang lemah.

Akan tetapi betapa pun ganas dan kuatnya lima orang gerombolan penjahat yang pekerjaannya hanya merampok, membajak dan mangganggu rakyat kecil, tentu saja bukan apa-apa bagi Adipati Ronggo Lawe, Senopati Mojopahit yang sudah terkenal sekali memiliki kepandaian hebat, sakti mandraguna dan sudah memeiliki pengalaman luas dalam pertempuran dan perang campuh. Maka begitu melihat lima orang yang amat dibencinya karena perbuatan mereka tadi kini menerjang dengan golok  mereka yang berkilauan saking tajamnya dan sering diasah, Ronggo Lawe sama sekali tidak mau mengelak, bahkan dia memapaki mereka dengan gerakan cepat dan tangkas sekali. Kedua tangannya sudah menyambar ke depan, menyambut dua batang golok yang datang paling dulu, tahu-tahu kedua tangannya dari bawah sudah menangkap pergelangan tangan dua orang yang memegang golok itu, kemudian dengan bentakan keras dia mengerahkan tenaga dan dua batang golok itu berikut tangan-tangan yang memegangnya telah terjerumus ke depan menyambut dua batang golok lain sedangkan kaki kirinya yang panjang menendang ke arah depan, tepat menghantam perut seorang diantara lima pengeroyoknya sebelum golok orang itu dapat mendekatinya.
"Tranggg...cringggg...bukkk...!" Lima orang perampok itu berteriak kaget sekali, dan  orang yang kena ditendang perutnya, sekali ini merupakan tendangan yang dilakukan  dengan pengerahan tenaga sakti sehingga datangnya amat cepat dan kuat. Batu  gunung sekali pun akan ambyar terkena tendangan maut ini, apalagi hanya perut itu  diisi dengan benda-benda kotor sedangkan hawa murni di tubuh itu sudah habis oleh penghamburan melalui nafsu-nafsu rendah.
Orang itu hanya sempat mengeluh pendek, tubuhnya terlempar ke belakang dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena dia tewas seketika pada saat kaki telanjang Ronggo Lawe bertemu dengan perutnya. Ada pun empat orang perampok lainnya terbelalak kaget karena mereka tadi hanya merasakan senjata golok-golok mereka yang diadu dengan amat kerasnya itu menjadi patah-patah!
“Keparat, hidup kalian hanya mengotorkan jagad! Ronggo Lawe membentak dan tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Selagi mereka melongo saking kaget dan herannya, tubuh Ronggo Lawe bergerak cepat, dua tangannya menyambar-nyabar dan dua kali mesing-masing telapak tangannya menampar. Tamparan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh empat orang itu.
“Plak-plak-plak-plak!“
Empat orang terpelanting dan berpusing seperti disambar halilintar, kedua tangan memegangi kepala, kemudian roboh tergelimpang dan tidak bergerak lagi karena kepala mereka retak-retak oleh tamparan maut itu dan mereka tewas seketika. Ronggo Lawe berdiri tegak dan menunduk, memandang ke arah lima mayat yang dirobohkannya, dadanya yang tadi penuh hawa amarah menyesakkan napas, kini terasa lega seolah-olah telah tersalur ke luar segala rasa penasaran dan kemarahannya yang mulai menyala di dalam istana sang prabu di Mojopahit. Lenyap rasa pening di kepalanya dan pandang matanya menjadi awas. Mengingat akan kekejian yang dilakukan lima orang ini terhadap gadis dan anak perempuan tadi, dia melihat bahwa sudah semestinya turun tangan memberi hukuman kepada mereka, maka Ronggo Lawe tidak merasa menyesal telah membunuh mereka, bahkan merasa lega karena gadis dan anak perempuan kecil itu dapat terbebas dari bencana. Ngeri itu membayangkan andaikata dia tadi datang terlambat !

“Saya dan adik saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kisanak yang telah menyelamatkan kami…..“
Suara halus di belakangnya inu membuat Ronggo Lawe sadar dan dia cepat membalikkan tubuhnya dan memandang ke bawah, di mana gadis tadi sambil menggandeng anak perempuan itu telah berlutut dan menyembah kepadanya. Wajah gadis itu menengadah, memandang kepadanya dengan sinar mata lembut dan bening, penuh keharuan dan penuh rasa terima kasih, sepasang mata yang bercahaya terang di wajah yang masih agak pucat, wajah seorang dara ayu, seperti setangkai bunga yang masih basah dan kelelahan habis diserang badai mengganas.
“Hemmm…..siapakah engkau, nini??? tanya Ronggo Lawe, diam-diam dia mengagumi kecantikan yang asli dari gadis tepi sungai Tambakberas ini.
“Saya bernama Sri Winarti, dan ini adalah adik saya….“
“Saya Sulastri! Kepandaian paman hebat bukan main, dan saya ingin sekali dapat memiliki kepadanian seperti itu untuk melindungi kakak saya! Dengan lincah dan jenaka anak perempuan itu menyambung kata-kata kakaknya.
Ronggo Lawe tersenyum dan lenyaplah keangkeran wajahnya yang berkumis seperti Gatutkaca itu, berobah menjadi wajah tampan yang ramah. Namun hanya sebentar saja perasaan ksatria ini tersentuh kegembiraan oleh sikap Sulastri, dan dia sudah memandang lagi penuh wibawa.
“Sudahlah, bahaya sudah lewat. Kalian pulanglah, aku akan melaporkan kematian  mereka itu kepada lurah setempat.
Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe melangkah hendak pergi mengambil pekaiannya di luar hutan dan melapor kepada kepala dusun yang berdekatan agar lima mayat penjahat itu dapat diurus sebagaimana mestinya.
Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara halus merdu dari belakang memanggilnya, “Kisanak…..!“
Ronggo Lawe berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia tahu bahwa Sri Winarti yang memanggilnya dan maklum bahwa gadis itu tentu saja tidak tahu bahwa dia adalah Adipati Ronggo Lawe karena pada saat itu dia hanya mengenakan pakaian dalam dengan dada telanjang. Diam-diam Ronggo Lawe tersenyum dan teringat akan kenyataan bahwa yang membedakan manusia, dari tingkat dan derajat, pandai dan bodoh, kaya dan miskin mulia dan hina, hanyalah pakaian belaka. Tanggalkanlah pakaian dari tubuh mereka, dan semua manusia adalah sama saja! Apa bedanya dia dengan seorang pentani atau nelayan? Juga tidak ada bedanya antara dia dan ang prabu sekali pun! Maka yang terpenting dalam kehidupan bukanlah benda-benda lahiriah, kedudukan, harta, pengetahuan dan nama, karena semua itu tidak ada bedanya dengan pakaian belaka. Yang terpenting adalah batinnya! Batinnya yang
harus berubah, yang harus maju , bukan lahir!
“Ada apakah, nini? tanyanya halus, terharu juga dia mendengar sebutan “kisanak“ tadi karena selamanya baru ini ada orang, gadis remaja lagi, menyebutnya kisanak, padahal biasanya dia disebut dengan penuh pengormatan dan sanjungan.

Sri Winarti menggandeng tangan Sulastri, berlari kecil menghampiri Ronggo Lawe, kemudian dara itu menjatuhkan dirinya berlutut lagi. Ronggp Lawe mengerutkan alisnya, menduga bahwa agaknya gadis ini mengenal siapa dia maka menyembah-nyembah.
“Ah, aku hanya seorang dusun, jangan kau sembah-sembah, nini.“
“Tidak, kisanak adalah sesembahan saya, bintang penolong saya…..dan harap suka menaruh kasihaan kepada saya…..kepada adik saya…..“
“Hemm ….. apa maksudmu?“
“Saya dan adik saya tentu telah tewas, bahkan lebih hebat daripada itu, apabila tidak ada pertolonganmu, kisanak. Oleh karena itu, terimalah kami untuk menghambakan diri…..saya hendak menyerahkan jiwa raga saya kepadamu untuk membalas budi dan untuk mohon perlindungan selamanya…..“
“Ehhh! Maksudmu….kau hendak menyerahkan diri menjadi isteriku?“
Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan cepat menunduk. Dengan suara gemetar dara itu berkata halus,
“Terserah kepada kehendakmu, saya menyerahkan jiwa raga kepadamu….,menjadi isteri, menjadi pelayan atau apa saja akan saya lakukan dengan tulus ikhlas dan setia.“

Ronggo Lawe mengerutkan alisnya yang tebal.
“Hemm, nini, engkau masih amat muda akan tetapi telah mengambil keputusan begitu aneh dan nekad. Aku telah mempunyai dua orang isteri, dan aku menolongmu tadi tanpa pamrih balasan apa pun, aku tidak mempunyai niat untuk memperisterimu.“
“Eh, paman, apakah mbakyuku ini kurang cantik? Dia adalah kembang dusun kami, dan aku akan girang sekali kalau mempunyai kakak ipar seperti paman yang gagah perkasa! Aku ingin belajar kesaktian tadi! Sulastri berkata lantang.
“Kisanak, maafkan saya. Kalau kisanak tidak berkenan mengambil saya sebagai isteri, biarlah saya menghambakan diri sebagai pelayan, mencucikan pakaianmu,  membersikan lantai dan kebun rumahmu…..“
“Tidak, aku tidak bisa menerima…..kalian pulanglah ke rumah kalian, aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan.“

Ronggo Lawe menganggap bahwa peluapan rasa terima kasih yang dirasakannya berlebihan dari dara muda cantik jelita itu sebagai suatu godaan, maka dia segera meninggalkan dara itu. Akan tetapi ketika dia mendengar isak tangis, dia terheran dan cepat menengok. Gadis itu berlutut sambil menangis dan menutupi mukanya dengan sedih sekali! Sedangkan Sulastri, anak kecil itu, berdiri dekat kakaknya dan memandang kepadanya dengan mata mengandung rasa penasaran dan kemarahan!
“Eh, mengapa kau menangis, nini? Ronggo Lawe melangkah kembali dan bertanya dengan suara halus, penuh selidik.
Dengan suara terisak-isak Sri Winarti menceritakan keadaannya. Dia dan adiknya adalah dua orang anak yatim piatu karena ayah dan ibunya telah tiada. Semenjak
ayahnya meninggal karena sakit menyusul ibunya, beberapa bulan yang lalu, dia
hanya hidup berdua dengan adiknya di dusun Gendangan dekat sungai Tambakberas. Dan mulailah mereka, atau lebih tepat dia, mengalami gangguan-gangguan dari para pria di mana pun dia berada. Hari itu dia dan adiknya mencari kayu bakar di hutan dan hampir saja mereka menderita malapetaka yang amat mengerikan.
“Berkat pertolongan kisanak maka saya dan adik saya selamat dan saya merasa yakin bahwa di bawah perlindungan kisanak saja maka kehidupan saya dan adik saya akan terjamin keselamatannya. Saya tidak berani pulang…..setelah mereka ini
tewas…., karena tentu hal ini akan terdengar oleh kawan-kawan mereka dan kami akan celaka…. demikian Sri Winarti melanjutkan kata-katanya.

Ronggo Lawe menarik napas panjang, kemudian berlata,
“Jangan khawatir. Kalau begitu, marilah engkau ikut bersamaku ke dusun Gendangan, di mana aku akan menyerahkan engkau dan adikmu dalam perlindungan Ki Lurah Gendangan.“
“Ahhhh….! Dara itu menjerit lirih seperti orang terkejut dan ketakutan.
“Kenapa? Ronggo Lawe bertanya heran.
“Telah lama Lurah Gendangan membujuk-bujuk saya untuk menjadi selirnya, akan tetapi selalu saya tolak. Menyerahkan saya dalam perlindungan Lurah Gendangan sama artinya dengan memasukkan saya ke dalam sarang harimau buas.“
Makin dalam kerut merut di kening adipati itu.
“begitukah? Mari, kita lihat saja nanti di Gendangan. Aku tanggung bahwa lurah itu tidak akan berani bertindak sewenang-wenang lagi. Jangan kau takut, aku akan melindungimu.“
Akhirnya Sri Winarti dan Sulstri mengikuti Ronggo Lawe yang mengambil pakaiannya di dekat sungai, setelah berpakaian di dekat sungai, setelah berpakaian dan menuntun kudanya lalu adipati itu mengajak Sri Winarati dan adiknya menuju ke dusun Gendangan. Setelah Ronggo Lawe berpakaian, dia lalu berlutut dan menyembah.
“Harap paduka sudi mengampuni hamba, raden…..hamba tidak tahu bahwa paduka…..seorang bangsawan….“
“Hushhh, sudahlah. Bangsawan atau bukan, aku hanya seorang manusia saja, tidak ada bedanya dengan engkau. Mari kita berangkat ke Gendangan!“
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Sri Winarti ketika mereka tiba di halaman gedung Ki Lurah Gendangan, dia melihat ki lurah sendiri bersama para pembantunya menyambut penolongnya sambil menyembah-nyembah dan menyebutnya gusti adipati! Seluruh tubuh dara itu mengigil dan kedua kakinya lemas sehingga diapun berlutut dan menyembah sambil menarik adiknya untuk berlutut pula. Kiranya yang menolongnya itu adalah Adipati Tuban, Adipati Ronggo Lawe yang terkenal! Perasaan  aneh menyelinap di dalam hati dara remaja ini. Memang tadi dia telah merasa kagum dan berterima kasih, perasaan itu telah membangkitkan cinta kasih dan penyerahan di dalam hati dara ini terhadap penolongnya. Biar pun penolongnya itu bukan seorang pria yang sudah matang, yang usianya hampir empat puluh tahun, namun dia melihat seorang pria yang jantan, gagah perkasa, berbudi dan halus tutur sapanya, membuat dia merasakan kemesraan yang mendalam. Kini, setelah mendengar bahwa pria itu adalah Sang Adipati Tuban yang terkenal sakti mandraguna dan arif bijaksana, hati dara itu makin tertunduk dan cinta yang bersemi di lubuk hatinya menjadi makin subur.
Dengan singkat Ronggo Lawe menceritakan kepada Ki Lurah Gendangan tentang lima penjahat yang hendak mengganggu Sri Winarti dan adiknya.
“Mereka telah kubunuh dan mayat mereka berada di dalam hutan, adipati itu melanjutkan.
“Harap engkau suka mengurus mayat-mayat itu.“
“Baik, gusti adipati, ki lurah menjawab cepat.

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 3

2 comments: