Semua orang mengepal tinju mendengar ini.
“Perkenankan hamba ke luar dan
menghajar pemberontak itu, gusti.“ Kebo Anabrang yang sudah marah sekali itu menyembah, menggigit-gigit bibirnya dan mencancutkan kain, siap untuk melawan
Ronggo Lawe.
“Hamba yang menjadi sebab kemarahannya, harap perkenankan hamba menghadapi
Ronggo Lawe, Gusti.“ Nambi pun menyembah.
Akan tetapi sebelum sang prabu rapat mengambil
keputuan, Senopati Pamandana
menyembah dan berkata lantang,
“Hamba kira tidaklah
selayaknya kalau di alun-alun
terjadi pertempuran antara Senopati Mojopahit. Bagaimana kalau ada utusan dari luar yang datang bertamu
melihatnya? Hal ini akan membikin suram kecemerlangan
nama Kerajaan Mojopahit.“
Sang prabu mengangguk-angguk.
“Pendapatmu bijaksana,
paman. Akan tetapi,
bagaimana sebaliknya harus dilakukan untuk meredakan kemarahan kakang Ronggo
Lawe?“
Hening sejenak karena semua senopati juga merasa bingung. Bagaimana harus
menghadapi Ronggo Lawe yang marah itu kecuali
dengan senjata? Tiba-tiba senopati
Singosardulo menyembah dan berkata,
“Hamba kira tidak ada seorang pun di antara
hamba sekalian di sini yang akan dapat meredakan kemarahan Ronggo Lawe kecuali
Paman Lembu Sora.“
“Ah, kau benar!“ Sang prabu berseru girang.
“Paman Damang Lembu Sora, sekarang ini tiba saatnya engkau memperlihatkan kesetiaanmu yang sudah berkali-kali kau buktikan
kepadaku. Kau keluarlah, paman, dan bujuklah si Ronggo Lawe agar dia suka menghentikan amukannya.“
“Hamba akan mencoba sekuasa hamba.“ Lembu Sora menyembah,
lalu berpamit dan keluar dari tempat itu, langsung
menuju ke alun-alun di mana Ronggo Lawe masih merusak
tanaman dan hiasan di depan istana.
Ketika Ronggo Lawe melihat
orang keluar dari istana, dia menghentikan amukannya,
akan tetapi betapa
kagetnya ketika dia melihat bahwa yang keluar menemuinya
adalah pamannya sendiri,
Lembu Sora! Hal ini sungguh tidak disangkanya. Pamannya
keluar untuk menyambut tantangannya? Tidak mungkin! Tidak mungkin dia berani
melawan pamannya
yang juga gurunya itu.
Maka begitu Lembu Sora tiba di depannya,
dengan kaki lemas Ronggo Lawe lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, menahan dua titik air mata yang
membasahi matanya.
“Aduh paman...,tak perlu paman memarahi
saya. Saya sudah tahu betapa saya telah
membikin malu kepada paman dengan semua sikap saya. Akan tetapi, tidak kuat hati saya melihat paman yang telah berjasa besar itu dikesampingkan dan dikalahkan
oleh seorang macam Nambi.“
“Lawe, mengapa engkau menuruti hati yang kecewa dan marah sehingga engkau telah
memperlihatkan sikap yang amat memalukan dan menghina sang prabu? Lupakah engkau
akan segala kebaikan sang prabu, bahkan engkau telah dianggap sebagai seorang
ponggawa kesayangan dan kepercayaan sang prabu, diperbolehkan ke luar masuk
istana dengan bebas siang dan malam. Tidak tahukah engkau betapa sedihnya hati
sang prabu, yang biar pun engkau
telah bersikap seperti itu tadi masih
menyarankan hendak menggantikan kedudukan Nambi dan menyerahkan kursi patih kepadamu?“
Ronggo Lawe menundukkan kepala mendengar ini. Dia mencabut kerisnya, menyerahkan
keris pusakanya kepada Lembu Sora sambil berkata,
“Duhai paman Lembo Sora...saya
menerima salah dan tentu paman datang sebagai utusan sang prabu untuk menghukum
saya. Karena paman boleh membunuh saya dan saya tidak akan melawan, paman.“
Lembu Sora menjadi
terharus. Teringat dia betapa keponakannya ini telah berjuang
bersama dia, menyerbu
bermacam-macam musuh untuk membela Kerajaan Mojopahit dan Sang Prabu Kertarajasa, betapa entah sudah berapa kali di dalam medan yuda keponakannya ini menyelamatkan nyawanya dari serangan musuh secara menggelap.
Dia menggeleng kepala dan diam-diam dia pun dapat mengerti akan rasa penasaran
di dalam hati keponakannya yang berwatak keras ini.
“Lawe lebih baik engkau kembali saja ke Tuban dan ceritakan semua peristiwa ini kepada kakang Wirororjo. Kau dengarkan nasehat ayahmu, anakku, dan jangan kau mengamuk
di sini karena pamanmu ini tentu akan merasa dan para Senopati
Mojopahit.“
“Jadi paman tidak ingin menghukum
saya? Kalau paman tidak sampai hati membunuh
saya, baiklah, saya akan pulang, paman. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa
ini, hanya ada dua pilihan bagi saya. Yaitu, memberontak atau berhamba lagi kepada
sang prabu di Mojopahit. Akan tetapi, kalau saya berhamba lagi, tentu
akan terulang kembali
peristiwa ini karena paman sendiri tahu betapa sang prabu
telah terbujuk oleh suara-suara berbisa yang datangnya dari
tanah seberang. Nah, selamat
tinggal, paman.“
Ronggo Lawe lalu meninggalkan tempat itu, diikuti
pandang mata Lembu
Sora yang mengandung kedukaan dan
kekhawatiran besar, dan pandang
mata para penjaga yang ketakutan dan segera mereka melaporkan ke dalam istana.
Mendengar pelapor para penjaga
itu, dengan hati berat terpaksa sang prabu tidak melarang
ketika para senopati lalu mengadakan persiapan, menyusun bala tentara
untuk sewaktu-waktu digerakkan mengepung dan menggempur Kadipaten Tuban yang dianggap
memberontak! Hanya Lembu Sora yang mengikuti semua peristiwa ini dengan
keluh kesah di dalam hatinya. Batin orang tua perkasa ini tertekan hebat. Tentu saja dia merasa
berat sekali kepada keponakan yang tercinta itu, akan tetapi betapa pun juga, dia tidak mungkin
membalik muka terhadap Mojopahit.
Panasnya badan dapat didinginkan dengan mandi air sejuk, akan tetapi panasnya
hati sukar didinginkan dan tidak dapat diredakan dengan mandi di air Sungai
Tambakberas seperti yang dilakukan
oleh Adipati Ronggo Lawe, Kuda Mego Lumat dia
tambatkan di sebatang pohon asam di tepi sungai dan karena hatinya yang panas membuat tubuhnya terasa gerah, adipati ini lalu menanggalkan pakaian
luarnya, lalu meredam tubuhnya di air sungai. Namun, air sungai di seluruh dunia tidak akan dapat mendinginkan hatinya yang masih panas, terutama sekali kalau dia teringat akan Nambi yang dianggapnya licik dan curang dan Kebo Anabrang yang menantangnya di depan sang prabu. Berulang kali tinjunya dikepal, giginya
berkerot dan matanya liar memandang ke kanan kiri, mencari tempat penumpahan
amarahnya. Namun pada senja hari itu di sekitar
sungai Tambakberas sunyi senyap,
apalagi dia menyeberang di dekat sebuah hutan yang liar. Hetinya yang panas, marah dan kecewa,
membuat sang adipati tidak ingin bertemu dengan orang banyak,
dan karena pada saat itu Sungai Tambakberas sedang surut, dia tidak menggunakan
penyeberangan umum melainkan memilih tempat sunyi ini dan menyeberangkan kudanya
tanpa bantuan perahu.
Akhirnya dia naik ke atas dan selagi
dia hendak mengenakan kembali pakaian dia
hendak mengenakan kembali
pakaian luarnya, tiba-tiba telinganya mendengar suara jerit wanita, datangnya
jauh dari dalam hutan itu. Trengginas, seperti seekor
harimau, Sang Adipati Rongo Lawe melompat dan berlari memasuki hutan itu,
meninggalkan kuda dan pakaiannya, mengerahkan seluruh aji kesaktiannya sehingga
larinya secepat suara tangis wanita yang makin jelas terdengar itu.
Tiba-tiba dia berhenti
dan mengintai dari balik pohon dengan mata beringas.
Kemarahan yang sejak tadi sudah bernyala
di dalam rongga dada adipati ini, kini menjadi
makin berkobar ketika dia melihat lima orang laki-laki tinggi besar duduk seenaknya
di atas rumput. Tiga orang di antara mereka tertawa terkekeh
sambil menonton adegan yang memuakkan hati Ronggo Lawe, yaitu seorang wanita
yang sudah terlepas
gelung rambutnya yang panjang dan hampir telanjang
pakaiannya yang dicabik-cabik oleh laki-laki itu. Si wanita berusaha
mempertahankan kehormatan dengan meronta-ronta, mencakar dan kadang-kadang
menjerit dan menangis, sedangkan laki-laki tinggi besar berperut gendut itu berusaha
untuk menciumi bibir wanita itu dan menindihnya sambil terkekeh
menjijikkan. Ada pun orang ke dua sedang mempermainkan seorang anak perempuan
berusia delapan tahun yang terbelalak ketakutan dan mengigil ketika laki-laki
tinggi besar yang memangkunya itu menciumi mukanya sambil terkekeh dan berkata,
“Engkau juga calon seorang dara cantik, ha-ha-ha!“
“He, Jubis, hayo cepat, kami sedang menanti giliran kami, ha-ha-ha!“
Tiga orang itu memandang
laki-laki pertama yang menggumuli dara itu dengan mata mengandung
penuh gairah nafsu.
Ronggo Lawe merasa
betapa dadanya hampir meledak saking marahnya. Bagi dia yang
sedang marah kepada
Mojopahit, pemandangan yang dilihatnya itu merupakan tanda
keruntuhan kerajaan
sehingga ada penjahat yang demikian nekat melakukan perbuatan
laknat tidak jauh dari wilayah
Mojopahit. Dia mengeluarkan suara seperti harimau
untuk melepaskan kemarahannya, kemudian tubuhnya meloncat ke depan, dua kali dia menendang
dan dua orang laki-laki tinggi besar yang menggumuli dara cantik bersama anak perempuan
itu terlepas dari cengkraman mereka dan terpelanting pula. Si dara dengan
muka pucat menengok, dan melihat bahwa penolong itu seorang
laki-laki gagah perkasa yang hanya memakai cawat dan pakaian dalam, dia cepat membetulkan kainnya yang koyak.
Sementara itu, dua orang yang kena tendang tadi mengaduh-aduh, akan tetapi dengan marah mereka bangkit berdiri, bersama tiga orang temannya mereka mencabut
kelewang (golok) dan memandang kepada Ronggo Lawe penuh kemarahan. Tentu saja mereka tidak mengenal
adipati yang telah meninggalkan pakaian luarnya itu, dan mengira
bahwa yang menganggu kesenangan mereka hanyalah seorang dusun belaka.
"Heh keparat siapa kamu, berani mengantar
nyawa dengan mengganggu kesenangan
kami?" bentak seorang di antara mereka yang jenggotnya sekepal sebelah dan
matanya sebesar
jengkol, agaknya pemimpin mereka yang tadi sedang berusaha
memperkosa dara itu dan dipanggil dengan nama Jubris oleh kawan-kawannya.
Sinar mata Rongo Lawe ketika memandang
mereka seperti api yang hendak membakar,
kemarahan membuat dia sukar membuka mulut untuk bicara, akan tetapi akhirnya
dapat juga dia berkata,
"Aku mewakili Sang Hyang Yomodipati untuk mencabut nyawa
kalian manusia-manusia busuk!"
Lima orang itu menjadi
makin marah dan dengan teriak-teriak liar mereka lalu menyerbu,
mengeroyok dan menyerang Ronggo Lawe dengan golok mereka. Terdengar
angin bersuitan dan golok itu berdesing
ketika senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ganas ke arah tubuh Ronggo
Lawe dari semua jurusan. Ternyata
bahwa lima orang penjahat
itu bukanlah perampok-perampok sembarangan dan melihat
gerakan mereka
ketika menyerang, jelas bahwa mereka itu memiliki kepandaian dan kekuatan
yang lumayan. Adipati Ronggo Lawe memang sudah menduga akan hal ini karena
melihat dua orang itu tadi masih sanggup bangkit lagi setelah terkena
tendangan-tendangannya, dia maklum
bahwa mereka bukan orang-orang lemah.
Akan tetapi betapa pun ganas dan kuatnya lima orang gerombolan penjahat yang
pekerjaannya hanya merampok,
membajak dan mangganggu rakyat kecil, tentu saja bukan apa-apa bagi Adipati
Ronggo Lawe, Senopati Mojopahit yang sudah terkenal
sekali memiliki kepandaian hebat, sakti mandraguna dan sudah memeiliki
pengalaman luas dalam pertempuran dan perang campuh. Maka begitu melihat lima orang yang amat dibencinya karena perbuatan mereka tadi kini menerjang dengan
golok mereka yang berkilauan saking tajamnya dan sering diasah, Ronggo Lawe sama sekali tidak mau mengelak,
bahkan dia memapaki mereka dengan gerakan cepat dan
tangkas sekali. Kedua tangannya
sudah menyambar ke depan, menyambut dua batang golok yang datang paling dulu, tahu-tahu
kedua tangannya dari bawah sudah menangkap
pergelangan tangan dua orang yang memegang golok itu, kemudian dengan
bentakan keras dia mengerahkan tenaga dan dua batang golok itu berikut tangan-tangan
yang memegangnya telah terjerumus ke depan menyambut dua batang golok lain sedangkan
kaki kirinya yang panjang menendang ke arah depan, tepat menghantam
perut seorang diantara lima pengeroyoknya sebelum golok orang itu dapat mendekatinya.
"Tranggg...cringggg...bukkk...!" Lima orang perampok itu berteriak kaget sekali,
dan orang yang kena ditendang perutnya, sekali ini merupakan tendangan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga datangnya amat cepat dan kuat. Batu gunung sekali pun akan ambyar terkena tendangan maut ini, apalagi hanya perut itu diisi dengan benda-benda kotor sedangkan hawa murni di tubuh itu sudah habis oleh penghamburan melalui nafsu-nafsu rendah.
Orang itu hanya sempat
mengeluh pendek, tubuhnya terlempar ke belakang dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena dia tewas seketika pada saat kaki telanjang
Ronggo Lawe bertemu dengan perutnya. Ada pun empat orang perampok lainnya terbelalak kaget karena mereka tadi hanya merasakan senjata
golok-golok mereka yang diadu dengan amat kerasnya
itu menjadi patah-patah!
“Keparat, hidup kalian hanya mengotorkan jagad!“ Ronggo Lawe membentak dan tidak
memberi kesempatan
lagi kepada mereka. Selagi mereka melongo saking kaget dan
herannya, tubuh Ronggo Lawe bergerak
cepat, dua tangannya menyambar-nyabar dan dua kali mesing-masing telapak tangannya menampar. Tamparan yang tak mungkin
dapat dielakkan lagi oleh empat orang itu.
“Plak-plak-plak-plak!“
Empat orang terpelanting dan berpusing seperti disambar halilintar, kedua tangan
memegangi kepala,
kemudian roboh tergelimpang dan tidak bergerak lagi karena
kepala mereka retak-retak oleh tamparan maut itu dan mereka tewas seketika.
Ronggo Lawe berdiri tegak dan menunduk, memandang ke arah lima mayat yang dirobohkannya, dadanya yang tadi penuh hawa amarah menyesakkan napas, kini terasa
lega seolah-olah telah tersalur ke luar segala rasa penasaran dan kemarahannya yang mulai menyala
di dalam istana sang prabu di Mojopahit. Lenyap
rasa pening di kepalanya
dan pandang matanya menjadi awas. Mengingat akan
kekejian yang dilakukan
lima orang ini terhadap gadis dan anak perempuan tadi,
dia melihat bahwa sudah semestinya turun tangan memberi hukuman kepada mereka,
maka Ronggo Lawe tidak merasa
menyesal telah membunuh mereka, bahkan merasa lega karena gadis dan anak perempuan
kecil itu dapat terbebas dari bencana. Ngeri itu membayangkan andaikata dia tadi datang terlambat !
“Saya dan adik saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kisanak
yang telah menyelamatkan kami…..“
Suara halus di belakangnya inu membuat Ronggo Lawe sadar dan dia cepat membalikkan tubuhnya dan memandang ke bawah, di mana gadis tadi sambil
menggandeng anak perempuan
itu telah berlutut dan menyembah kepadanya. Wajah
gadis itu menengadah, memandang kepadanya dengan sinar mata lembut dan bening,
penuh keharuan dan penuh rasa terima kasih, sepasang mata yang bercahaya terang
di wajah yang masih agak pucat, wajah seorang dara ayu, seperti setangkai
bunga yang masih basah dan kelelahan
habis diserang badai mengganas.
“Hemmm…..siapakah engkau, nini???“
tanya Ronggo Lawe, diam-diam dia mengagumi
kecantikan yang asli dari gadis tepi sungai Tambakberas ini.
“Saya bernama Sri Winarti, dan ini adalah adik saya….“
“Saya Sulastri! Kepandaian
paman hebat bukan main, dan saya ingin sekali dapat memiliki
kepadanian seperti itu untuk melindungi kakak saya!“ Dengan lincah dan jenaka anak perempuan
itu menyambung kata-kata kakaknya.
Ronggo Lawe tersenyum
dan lenyaplah keangkeran wajahnya yang berkumis seperti
Gatutkaca itu, berobah menjadi wajah tampan yang ramah. Namun hanya sebentar
saja perasaan ksatria ini tersentuh
kegembiraan oleh sikap Sulastri, dan dia sudah memandang lagi penuh wibawa.
“Sudahlah, bahaya sudah lewat. Kalian pulanglah, aku akan melaporkan kematian mereka itu kepada lurah setempat.“
Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe melangkah
hendak pergi mengambil pekaiannya di luar hutan dan melapor kepada
kepala dusun yang berdekatan agar lima mayat penjahat itu dapat diurus
sebagaimana mestinya.
Akan tetapi baru beberapa
langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara halus
merdu dari belakang memanggilnya, “Kisanak…..!“
Ronggo Lawe berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia tahu bahwa Sri Winarti yang memanggilnya dan maklum bahwa gadis itu tentu saja tidak tahu bahwa dia adalah
Adipati Ronggo Lawe karena pada saat itu dia hanya mengenakan pakaian dalam dengan dada telanjang. Diam-diam Ronggo Lawe tersenyum dan teringat akan kenyataan
bahwa yang membedakan manusia, dari tingkat dan derajat, pandai dan bodoh,
kaya dan miskin mulia dan hina, hanyalah pakaian belaka. Tanggalkanlah
pakaian dari tubuh mereka, dan semua manusia adalah sama saja! Apa bedanya dia
dengan seorang
pentani atau nelayan? Juga tidak ada bedanya antara dia dan ang
prabu sekali pun! Maka yang terpenting
dalam kehidupan bukanlah benda-benda
lahiriah, kedudukan,
harta, pengetahuan dan nama, karena semua itu tidak ada bedanya
dengan pakaian belaka. Yang terpenting adalah batinnya! Batinnya yang
harus berubah, yang harus “ maju “, bukan lahir!
“Ada apakah, nini?“ tanyanya halus, terharu juga dia mendengar sebutan “kisanak“
tadi karena selamanya baru ini ada orang,
gadis remaja lagi, menyebutnya kisanak, padahal biasanya
dia disebut dengan penuh pengormatan dan sanjungan.
Sri Winarti menggandeng tangan Sulastri, berlari kecil menghampiri Ronggo Lawe,
kemudian dara itu menjatuhkan dirinya berlutut lagi. Ronggp Lawe mengerutkan
alisnya, menduga
bahwa agaknya gadis ini mengenal siapa dia maka menyembah-nyembah.
“Ah, aku hanya seorang dusun, jangan kau sembah-sembah, nini.“
“Tidak, kisanak adalah sesembahan
saya, bintang penolong saya…..dan harap suka menaruh
kasihaan kepada saya…..kepada adik saya…..“
“Hemm ….. apa maksudmu?“
“Saya dan adik saya tentu telah tewas, bahkan lebih hebat daripada
itu, apabila tidak ada pertolonganmu, kisanak. Oleh karena itu, terimalah kami untuk
menghambakan diri…..saya hendak menyerahkan jiwa raga saya kepadamu untuk
membalas budi dan untuk mohon perlindungan selamanya…..“
“Ehhh! Maksudmu….kau hendak menyerahkan diri menjadi isteriku?“
Wajah yang masih agak pucat itu menjadi
merah dan cepat menunduk. Dengan suara
gemetar dara itu berkata halus,
“Terserah kepada kehendakmu, saya menyerahkan
jiwa raga kepadamu….,menjadi isteri, menjadi pelayan atau apa saja akan saya lakukan
dengan tulus ikhlas dan setia.“
Ronggo Lawe mengerutkan alisnya yang tebal.
“Hemm, nini, engkau masih amat muda akan tetapi telah mengambil keputusan begitu aneh dan nekad. Aku telah mempunyai
dua orang isteri, dan aku menolongmu tadi tanpa pamrih balasan apa pun, aku tidak mempunyai
niat untuk memperisterimu.“
“Eh, paman, apakah mbakyuku ini kurang cantik? Dia adalah kembang dusun kami,
dan aku akan girang
sekali kalau mempunyai kakak ipar
seperti paman yang gagah perkasa! Aku ingin belajar kesaktian tadi!“ Sulastri berkata lantang.
“Kisanak, maafkan saya. Kalau kisanak tidak berkenan
mengambil saya sebagai
isteri, biarlah saya menghambakan diri sebagai pelayan, mencucikan pakaianmu,
membersikan lantai dan kebun rumahmu…..“
“Tidak, aku tidak bisa menerima…..kalian pulanglah ke rumah kalian, aku masih
mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan.“
Ronggo Lawe menganggap bahwa peluapan rasa terima kasih yang dirasakannya
berlebihan dari dara muda cantik jelita itu sebagai suatu godaan, maka dia segera meninggalkan dara itu. Akan tetapi
ketika dia mendengar isak tangis, dia
terheran dan cepat menengok.
Gadis itu berlutut sambil menangis dan menutupi
mukanya dengan sedih sekali! Sedangkan Sulastri, anak kecil itu, berdiri dekat
kakaknya dan memandang
kepadanya dengan mata mengandung rasa penasaran dan
kemarahan!
“Eh, mengapa kau menangis,
nini?“ Ronggo Lawe melangkah kembali dan bertanya
dengan suara halus, penuh selidik.
Dengan suara terisak-isak Sri Winarti menceritakan keadaannya. Dia dan adiknya
adalah dua orang anak yatim piatu karena ayah dan ibunya telah tiada. Semenjak
ayahnya meninggal karena sakit menyusul ibunya, beberapa bulan yang lalu, dia
hanya hidup berdua dengan adiknya
di dusun Gendangan dekat sungai Tambakberas.
Dan mulailah mereka, atau lebih tepat dia, mengalami gangguan-gangguan dari para pria di mana pun dia berada. Hari itu dia dan adiknya mencari kayu bakar di hutan dan hampir saja mereka menderita malapetaka yang amat mengerikan.
“Berkat pertolongan kisanak maka saya dan adik saya selamat dan saya merasa yakin bahwa di bawah perlindungan kisanak saja maka kehidupan saya dan adik saya akan terjamin keselamatannya. Saya tidak berani pulang…..setelah mereka ini
tewas…., karena tentu hal ini akan terdengar
oleh kawan-kawan mereka dan kami
akan celaka….“ demikian
Sri Winarti melanjutkan kata-katanya.
Ronggo Lawe menarik
napas panjang, kemudian berlata,
“Jangan khawatir. Kalau begitu, marilah engkau ikut bersamaku ke dusun Gendangan, di mana aku akan menyerahkan engkau dan adikmu dalam perlindungan Ki Lurah Gendangan.“
“Ahhhh….!“ Dara itu menjerit lirih seperti orang terkejut dan ketakutan.
“Kenapa?“ Ronggo Lawe bertanya heran.
“Telah lama Lurah Gendangan
membujuk-bujuk saya untuk menjadi selirnya, akan tetapi selalu saya tolak. Menyerahkan saya dalam perlindungan Lurah Gendangan
sama artinya dengan memasukkan saya ke dalam sarang harimau buas.“
Makin dalam kerut merut di kening adipati itu.
“begitukah? Mari, kita lihat saja nanti di Gendangan. Aku tanggung bahwa lurah itu tidak akan berani bertindak
sewenang-wenang lagi. Jangan kau takut, aku akan melindungimu.“
Akhirnya Sri Winarti
dan Sulstri mengikuti Ronggo Lawe yang mengambil pakaiannya
di dekat sungai, setelah berpakaian di dekat sungai, setelah berpakaian dan menuntun
kudanya lalu adipati itu mengajak Sri Winarati dan adiknya menuju ke dusun Gendangan. Setelah Ronggo Lawe berpakaian, dia lalu berlutut dan menyembah.
“Harap paduka sudi mengampuni hamba, raden…..hamba tidak tahu bahwa paduka…..seorang
bangsawan….“
“Hushhh, sudahlah. Bangsawan
atau bukan, aku hanya seorang manusia saja, tidak
ada bedanya dengan engkau. Mari kita berangkat ke Gendangan!“
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Sri Winarti ketika mereka tiba di halaman gedung Ki Lurah Gendangan, dia melihat ki lurah sendiri bersama para pembantunya
menyambut penolongnya sambil menyembah-nyembah dan menyebutnya gusti adipati!
Seluruh tubuh dara itu mengigil dan kedua kakinya lemas sehingga diapun berlutut
dan menyembah sambil menarik adiknya untuk berlutut
pula. Kiranya yang
menolongnya itu adalah Adipati
Tuban, Adipati Ronggo Lawe yang terkenal!
Perasaan aneh menyelinap di dalam hati dara remaja ini. Memang tadi dia telah
merasa kagum dan berterima
kasih, perasaan itu telah membangkitkan cinta kasih
dan penyerahan di dalam hati dara ini terhadap
penolongnya. Biar pun penolongnya
itu bukan seorang pria yang sudah matang, yang usianya hampir empat puluh tahun,
namun dia melihat seorang pria yang jantan, gagah perkasa, berbudi dan halus
tutur sapanya, membuat
dia merasakan kemesraan yang mendalam. Kini, setelah
mendengar bahwa pria itu adalah
Sang Adipati Tuban yang terkenal sakti
mandraguna dan arif bijaksana, hati dara itu makin tertunduk dan cinta yang bersemi di lubuk hatinya menjadi makin subur.
Dengan singkat Ronggo Lawe menceritakan kepada Ki Lurah Gendangan tentang lima
penjahat yang hendak
mengganggu Sri Winarti dan adiknya.
“Mereka telah kubunuh dan mayat mereka berada di dalam hutan,“ adipati itu melanjutkan.
“Harap engkau suka mengurus mayat-mayat itu.“
“Baik, gusti adipati,“ ki lurah menjawab cepat.
👍👍👍
ReplyDelete>:(
ReplyDelete