Monday, March 30, 2015

Kemelut Di Majapahit ; Jilid 03



“Selain itu, aku mendengar bahwa Sri Winarti dan Sulastri ini sudah yatim piatu, maka sudah sepatutnya kalau ki lurah melindungi mereka di dusun ini.“
Wajah ki lurah yang sudah lebih dari lima puluh tahun usianya itu berseri gembira mendengar ini.

“Tentu ….., tentu mereka baik-baik, harap paduka jangan khawatir, gusti adipati.“
“Aku mendengar bahwa engkau pernah membujuk Sri Winarti untuk menjadi selirmu?“
Pertanyaan yang tiba-tiba ini sekaligus mengusir seri wajah ki lurah dan dia menjadi gugup.

“Ini . Ini …. Dia tergagap.
“Aku tidak akan melarang engkau untuk mengambil selir. Itu adalah hakmu, ki lurah.  Akan tetapi kalau engkau memaksa seorang wanita menjadi selirmu, dengan menggunakan kekuasaanmu, berarti engkau akan sama jahatnya dengan mereka yang kubunuh di dalam hutan itu!“
“Ti….Tidak ….Hamba takkan memaksa orang….“
Baik kalau engkau tidak melakukannya, dan ingat dua orang anak ini berada di bawah perlindunganku, kalau sampai terjadi sesuatu atas diri mereka, aku akan minta pertanggungan jawabmu. Mengerti ?“
Dengan muka berobah lurah itu mengangguk-angguk seperti seekor ayam mematuki gabah, menyatakan janji ketaatannya. Ronggo Lawe lalu menoleh kepada Sri Winarti dan Sulastri yang masih berlutut.

“Nini, kauajaklah adikmu pulang.“

Sri Winarti menyembah, mengangkat muka dan memandang denagn muka penuh kedukaan kemudian pergi bersama adiknya dari halaman gedung kelurahan itu. Setelah menerima penyambutan dan jamuan Ki Lurah Gendangan, tak lama kemudian Adipati Ronggo Lawe meninggalkan dusun Gendangan, membedal kudanya menuju ke Tuban. Akan tetapi baru saja keluar dari batas dusun, di tengah jalan dia melihat di dalam gelap sosok tubuh seorang wanita. Dia menahan kudanya dan ternyata Sri Winarti dan Sulastri telah menanti di tengah jalan.
“Eh, engkau lagi, nini? Mengapa kau menghadangku di sni? Ronggo Lawe meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri dara itu sambil menuntun kudanya.
Dengan isak tertahan Sri Winarti melangkah maju kemudian menjatuhkan diri berlutut di  depan  kaki sang adipati dan menyembah-nyembah.

“Gusti adipati…. Hamba….Hamba sekali  lagi mohon agar paduka menerima hamba bersuwita (menghambakan diri)…. Setelah  meragu sebentar seolah-olah berat dia mengeluarkan kata-kata itu, Sri Winarti menyambung,
“Hamba telah bersumpah tidak akan menghentikan usaha hamba untuk membalas budi paduka….“
“Sudahlah, nini. Engkau masih amat muda, dan cantik rupawan. Dunia terbentang luas dihadapanmu dan ki lurah tidak nanti akan berani mengganggumu lagi. Kau akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan cakap, yang sesuai untuk menjadi suamimu dan…“

“Hamba juga sudah bersumpah tidak akan melayani lain pria kecuali paduka! Dara itu memotong cepat.

Ronggo Lawe terkejut sekali, apalagi ketika dia melihat di antara kesuraman cuaca  senja yang hampir terganti malam, betapa sepasang mata yang jernih itu memandangnya dengan sinar yang mengandung asmara! Ronggo Lawe menghela napas panjang.
“Dan hamba pun bertekad untuk berguru kepada paduka! Sulastri yang kecil dan pandai bicara, juga tabah sekali itu, berkata.

Ronggo Lawe lalu mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari sela kudanya. Pundi-pundi itu terisi uang yang diserahkan kepada Sri Winarrti.

“Nini ketahuilah bahwa aku sedang menghadapi persoalan negara yang amat ruwet, maka tentu saja pada saat seperti ini aku tidak mempunyai waktu dan minat untuk bicara tentang niatmu menghambakan diri padaku, sungguh pun aku menerimanya dengan hati terharu dan gembira. Kauterimalah pundi-pundi ini dariku, dan kelak kalau sudah selesai urusan negara, percayalah bahwa aku tidak melupakan seorang dara bernama Sri  Winarti yang tinggal di susun Gendangan.“

Ucapan halus yang merupakan bayangan janji itu membuat Sri Winarti girang bukan main, dan sendang sesengukan dia mencium kaki sang adipati sambil menerima pundi-pundi dan menghaturkan terima kasih. Kemudian Adipati Ronggo Lawe juga menyerahkan sebuah benda kepada Sulastri. Benda ini adalah sebuah cincin yang tadi dilolos dari jari manis kiri sang adipati.

“Sulastri, aku tahu bahwa engkau adalah seorang calon pendekar wanita yang hebat, akan tetapi sekarang bukanlah saatnya bagiku untuk menerima murid seperti engkau ini. Akan tetapi, kau terimalah Kundolo Mirah ini sebagai tanda bahwa engkau adalah murid Adipati Ronggo Lawe. Kundolo ini akan membuka pintu bagimu untuk dapat berhubungan dengan orang-orang yang sakti mandra guna di seluruh Nusantara.”



Sulastri menerima perhiasan itu dengan girang. Kundolo adalah perhiasan cincin untuk telinga, yang oleh adipati itu dipakai di jari tangannya. Terbuat daripada emas berukir dan di tengahnya terhias sebutir batu mirah yang asli.

Setelah memberikan pundi-pundi dan kundolo, Adipati Ronggo Lawe lalu meloncat ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanannya ke utara, ke Tuban. Sri Winarti berdiri sambil memeluk adiknya dan memandang sampai bayangan pria yang telah merenggut cinta kasih hatinya itu lenyap dalam cuaca yang meulai menggelap. Kemudian, dengan pundi-pundi ditekan di dada, seolah-olah benda itu menggantikan pemberinya, dara ini bersama adiknya perlahan-lahan memasuki dusun Gendangan, membayangkan wajah yang gagah perkasa itu penuh kemesraan.



Pada keesokan harinya, Aryo Wirorojo yang bernama Banyak Wide atau Aryo Adikoro, Bupati Sumenep yang semenjak Raden Wijaya menjadi raja di Mojopahit tidak kembali ke Madura, melainkan tinggal bersama puteranya, Ronggo Lawe di Tuban, pergi ke kadipaten untuk menemui puteranya setelah dia mendengar bahwa puteranya telah kembali malam tadi dari Mojopahit.

Senopati Mojopahit yang telah berusia enam puluh tahun lebih ini masih nampak gagah dan sehat, sikapnya tenang dan bijaksana, tidak seperti puteranya yang berdarah panas. Semenjak Ronggo Lawe pergi dengan marah ke Mojopahit, ayah ini merasa tidak enak hatinya, maka begitu mendengar bahwa puteranya telah kembali, pagi-pagi itu dia sudah mengunjungi puteranya di kadipaten.

Begitu bertemu dengan Ronggo Lawe yang menyambutnya dan mereka duduk berhadapan di rungan dalam kadipaten, Aryo Wirorojo telah dapat menduga dari tingkah laku dan gerak-gerik puteranya bahwa ada sesuatu yang hebat terjadi dengan puteranya itu. Makin khawatirlah hati orang tua ini dan dia cepat bertanya tentang kunjungan puteranya itu ke istana sri baginda di Mojopahit.



Semenjak peristiwa di dalam hutan di mana dia menyelamatkan Sulastri dan Sri Winarti, membunuh lima orang penjahat keji, Adipati Ronggo Lawe telah dapat menenangkan hatinya, sungguh pun perasaan penasaran dan marah masih merupakan titik api yang tak kunjung padam. Maka kini mendengar pertanyaan ayahnya, diceritakannyalah semua peristiwa yang terjadi semenjak dia menghadap sang prabu sampai keributan yang terjadi sebagai akibat protesnya terhadap pengangkatan Nambi sebagai patih hamangku bumi di Mojopahit. Diceritakannya pula bahwa pamannya, Lembu Sora sendiri yang maju dan menasihatinya untuk pulang ke Tuban sehingga dia tidak melanjutkan amukannya.

Mendengar penuturan puteranya itu, Sang Aryo Wirorojo terkejut dan menjadi pucat wajanya. Sejenak dia menatap wajah puteranya tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Betapa tidak akan sakit perasaannya. Dia adalah seorang panglima yang amat setia kepada sang prabu dan dia rela untuk menyerahkan nyawanya sewaktu-waktu demi membela Mojopahit, dan kini puteranya yang amat dibanggakannya itu telah memperlihatkan sikap memberontak terhdap raja junjungannya, kiranya tidak akan dapat dibandingkan dengan cinta kasihnya terhadap puteranya. Oleh karena itu, dia lebih mengutamakan keselamatan puteranya dan mendengar penuturan Ronggo Lawe, ayah yang tua dan sedang di himpit duka dan kebingungan karena dihadapkan pada pilihan berat, yaitu kesetiaan terhadap raja atau kecintaan terhadap putera, Sang Aryo Wirorojo meruntuhkan air mata yang segera diusapkan dengan kepalan tangannya yang masih kokoh kuat.

“Ayah menangis? Ronggo Lawe memandang heran, hampir tidak percaya.

Ayahnya adalah seorang ksatria utama yang amat gagah, dan bagi ksatria perkasa, air mata jauh lebih berharga dari pada darah. Lebih baik mencucurkan darah dari badan daripada mencucurkan air mata! Air mata dianggap ebagai permainan wanita dan tanda kelemahan jiwa.

“Apakah ayah pun hendak menyalahkan saya seperti senopati yang lain?“

Aryo Wirorojo menggeleng kepalanya dan sudah dapat menguasai dirinya kembali. “Anakku, jangan engkau alah sangka. Memang, demi keadilan, rasa penasaran di hatimu itu benar. Melihat jasa dan kesetiaan, sepatutnya Lembu Sora atau engkau yang harus menjadi patih, bukan si Nambi. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa seorang senopati mengutamakan kesetiaan dan kepatuhan terhadap semua sabda sang prabu yang menjadi junjungannya. Andaikata sang prabu menghendaki agar kita menempuh lautan api, kita akan mentaatinya, tanpa mengingat akan kepentingan diri pribadi. Hendaknya engkau ingat baik-baik, Lawe. Sikapmu itu berarti memberontak, dan pemberontakan berarti pengkhianatan terhadap sang prabu. Tahukah engkau apa akibatnya kalau engkau berkhianat? Akibatnya amat berat dunia akhirat, anakku.

Nama keturunanmu akan terseret pula ke dalam lumpur kehinaan. Camkanlah baik-baik, pertimbangkanlah dengan kesadaran, sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya terdorong oleh nafsu amarah yang membuta.“



Ronggo Lawe menjadi pucat wajahnya dan dia termenung dengan kepala tunduk menengar nasihat ayahnya itu. Terbayang olehnya betapa dua orang isterinya dan terutama sekali puteranya yang terkasih dan masih kecil kelak akan menjadi orang-orang yang dipandang rendah dan terhina, sebagai keluarga pemberontak dan pengkhianat!

Melihat betapa puteranya mulai sadar, Aryo Wirorojo melanjutkan dengan penuh harapan,

“Puteraku, kesatria yang gagah, adipati yang bijaksana, ingatlah akan sabda dan janji sang prabu dahulu kepadaku. Bukankah sang prabu telah berjanji ketika beliau masih belum menjadi raja dahulu bahwa apabila Mojopahit berhasil dibangun, maka negara itu akan dibagi menjadi dua dan yang separuh akan diserahkan kepadaku sebagai imbalan jasa? Nah, kalau bagian itu sudah diserahkan kepadaku, siapa lagi kalau bukan engkau yang akan menjadi rajanya? Kalau sudah begitu, baru kita berdiri sendiri sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari kedaulatan Mojopahit dan kalau kita sudah bukan menjadi ponggawa Mojopahit lagi, barukah engkau boleh bersikap sesuka hatimu tanpa ada bahaya akan dianggap sebagai pemberontak dan pengkhianat, anakku.“



Ronggo Lawe mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebijaksanaan dalam kata-kata ayahnya itu. Dia telah terburu nafsu, terdorong oleh amarah yang kini dia melihat jelas dibangkitkan oleh perasaan iri hati terhadap Nambi. Timbul penyesalannya dan baru terbuka matanya kini betapa dia telah bersikap keterlaluan dan tidak hormat di depan sri baginda. Dia harus mohon ampun kepada junjungannya itu!

Akan tetapi, selagi sang adipati mulai sadar dan mendengarkan wejangan-wejangan selanjutnya dari Aryo Wirorojo, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada seorang prajurit datang dari Mojopahit yang mengaku sebagai utusan Sang Resi Mahapati. Resi Mahapati adalah seorang di antara para pendeta yang mengepalai keagamaan di Mojopahit, dan Resi Mahapati adalah kepala Agama Syiwa.

Ronggo Lawe bertukar pandang dengan ayahnya. Mereka tentu saja mengenal Sang Resi Mahapati yang sakti mandrahuna, seorang yang memiliki kedudukan tinggi di samping Pendeta Brahmanaraja yang mengepalai agama penyembah Brahma. Resi Mahapati terkenal ramah dan baik sikapnya terhadap semua senopati di Mojopahit.

“Suruh dia masuk saja ke sini, perintah Ronggo Lawe kepada pengawalnya.

Tak lama kemudian, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam menandakan kecerdikannya datang. Bersujud di depan Adipati Ronggo Lawe. Adipati ini cepat bertanya siapa dia dan apa keperluannya datang menghadap ke Kadipaten Tuban.

“Harap paduka gusti adipati sudi mengampunkan kalau hamba mengganggu. Hamba bernama Maruto, pengawal peribadi Sang Resi Mahapati dan hamba diutus oleh sang resi untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi paduka gusti adipati.“

Ronggo Lawe mengerutkan alisnya dan Aryo Wirorojo menyela,

“Apakah engkau tidak membawa surat dari beliau?“

Maruto menyembah hormat,

“Karena tergesa, sang resi tidak sempat surat dan hanya mengutus hamba untuk melapor ke sini secara lisan saja.“

“Katakan, apa yang hendak diberitahukan oleh sang resi kepadaku? Ronggo Lawe bertanya tak sabar lagi.

“Sang resi menganjurkan agar paduka gusti adipati hendaknya segera menyelamatkan diri mengungsi dan pergi dari Kadipaten demi keselamatan paduka….“

“Apa….? ronggo Lawe menggebrak meja dengan muka merah. Biar pun pesan sang resi itu bermaksud baik, akan tetapi menyuruh dia melarikan diri sugguh-sungguh merupakan suatu berita yang merendahkan dan menghina!

Apa maksud sang resi dengan anjuran itu?“

“Sang resi mengutus hamba memberi tahu bahwa sekarang ini, Sang Patih Hamangkubumi Nambi telah berhasil memperoleh ijin dari sang prabu hendak menyerbu Tuban dan membasmi paduka sekeluarga yang dianggap pemberontak.

“Jahanam Nambi….!! Ronggo Lawe bangkit berdiri dengan mata mendelik saking marahnya.

Heh, Maruto, pulanglah engkau dan sampaikan terima kasihku kepada Sang Resi Mahapati, akan tetapi katakan bahwa Ronggo Lawe bukan seorang pengecut dan akan menyambut serbuan Nambi keparat dengan keris di tangan!“



Maruto menjadi ketakutan, menyembah dan bergegas meninggalkan gedung kadipaten, melompat ke atas kudanya dan membalapkan tunggangannya itu keluar dari Kadipaten Tuban, kembali ke selatan ke Mojopahit.

Sementara itu, Aryo Wirorojo mencoba untuk menenangkan hati puteranya.

“Lawe, tenanglah dan pikirkan masak-masak sebelum melakukan sesuatu.“

“Ayah, bagaimana saya bisa tenang dan bersabar lagi kalau dihina orang seperti

ini? Siapakah bedebah Nambi itu sehingga berani dia menghina Ronggo Lawe? Ayah, paduka sendiri tentu maklum bahwa saya tidak berniat memberontak atau berkhianat terhadap junjungan kita, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana di Mojopahit. Akan tetapi sebagai seorang kesatria, mundur dan lari merupakan pantangan besar bagi saya! Mati bukanlah apa-apa karena semua mahluk takkan terlepas dari kematian. Akan tetapi kehormatan merupakan hal yang jauh lebih berharga daripada nyawa. Lebih baik seribu kali mati sebagai seorang kesatria perkasa, mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seorang pengecut yang lari tunggang langgang menghadapi bahaya. Tidak, ayah, saya harus melawan si Nambi keparat itu, biar pun dia menggunakan nama sang prabu di Mojopahit untuk menghina saya!“

Percuma saja Aryo Wirorojo menyabarkannya. Ronggo Lawe lalu mengumpulkan para pembantunya yang dihimpun oleh Panewu Progodigdoyo dan segera mereka melakukan perundingan. Semua ponggawa Tuban dikumpulkan dan para pembesar, akuwu, demang, dan tumenggung mengucapkan sumpah setia sampai mati kepada Ronggo Lawe Adipati Tuban. Utusan dikirim ke daerah Mojopahit menghubungi kawan-kawan yang menaruh simpati kepada Adipati Tuban.



Mendung mulai menyuramkan langit di atas Kerajaan Mojopahit. Api pemberontakan mulai bernyala dan api ini ternyata akan menjadi makin besar, merupakan kemelut di Mojopahit yang tak terlupakan orang dan tercacat di dalam sejarah sebagai lembaran-lembaran hitam, karena yang memberontak adalah senopati yang tadinya menjadi banteng Mojopahit, bahkan merupakan tiang-tiang pendiri Kerajaan Mojopahit Raden Wijaya yang kini menjadi raja!

Dua hari kemudian, ketika Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana sedang dihadap oleh para menteri dan senopati seperti biasa, dalam suasana anak murung karena peristiwa yang ditimbulkan oleh Ronggo Lawe masih berbekas di hati sang prabu dan para ponggawa, tiba-tiba datang seorang prajurit menghadap sang prabu, menghaturkan sembah dan dengan muka pucat prajurit itu melapor,

“Hamba adalah seorang prajurit penjaga di dekat Sungai Tambakberas, di perbatasan antara Mojopahit dan Tuban, gusti, dan pagi hari tadi hamba mendengar berita bahwa sang adipati di Tuban telah mempersiapkan pasukan untuk menggempur Mojopahit, bahkan hamba melihat sendiri banyak pasukan menyeberang ke Tuban…“



Tentu saja sang prabu menjadi terkejut sekali, dan juga marah mendengar pelaporan perajurit yang bernama Maruto ini.

“Sungguh tak tahu diri sekali kakang Ronggo Lawe! Sang Prabu berseru,

“Ijinkan hamba memimpin pasukan untuk menghancurkan pemberontak, gusti! Nambi mendahului yang lain, mengajukan permohonan dengan kata-kata tegas. Sang Prabu maklum bahwa Nambi menjadi sasaran kemarahan Ronggo Lawe, maka sudah sepantasnya kalau Nambi yang menanggulangi keributan itu pula, maka sang prabu memberi ijin persetujuannya. Nambi menyembah dan dengan tangkas patih ini lalu keluar dari istana dan mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari seribu orang pilihan untuk menghadapi pasukan Tuban. Hari itu juga Nambi memimpin pasukan ini menuju ke utara dengan gerakan cepat.



Sang Prabu membubarkan persidangan dan para senopati dengan prihatin kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang tahu, bahkan menduga pun tidak betapa setelah persidangan bubar, terjadi hal yang amat luar biasa di dalam gedung tempat tinggal Sang Resi Mahapati. Seorang tinggi kurus dengan sikap sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang lain menyelinap dan masuk ke dalam gedung itu, langsung menuju ke ruangan belakang yang terjaga oleh beberapa orang prajurit pengawal Sang Resi Majapahit. Sebagai seorang pendeta yang mempunyai kedudukan tinggi di istana, tentu saja Resi Mahapati bukanlah sebangsa pendeta miskin, melainkan seorang pendeta yang memiliki rumah gedung, lengkap dengan perabot rumah mewah dan dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal. Ternyata di ruangan itu telah menanti Sang Resi Mahapati dan orang yang menyelinap masuk tadi, yang bukan lain adalah Maruto, orang kepercayaan Mahapati yang telah disuruh oleh pendeta itu, mula-mula ke Tuban kemudian menghadap sang prabu.

Dengan muka girang Maruto memberi hormat dengan sembah, kemudian berkata, wajahnya berseri, suaranya mengandung kebanggaan dan kegirangan, “Semua perintah paduka telah hamba jalankan denagn baik, Adipati Tuban menjadi terbakar hatinya dan mempersiapkan bala tentara, sedangkan sang prabu sendiri juga telah menyetujui Gusti Patih Nambi mempersiapkan pasukan untuk mengempur Tuban. Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik agar paduka memakluminya.“

“Apakah telah kaujaga baik-baik sehingga tidak ada orang kedua yang mengetahui semua perbuatanmu itu, Maruto?“

“Tidak ada, sang resi yang mulia. Setanpun tidak ada yang melihatnya.“

“Kalau begitu, biarlah engkau menjadi setan!“

“Apa ….,apa maksud paduka…..? Maruto bertanya pucat ketika Resi Mahapati memberi isyarat dengan tangan kirinya diangkat ke atas. Empat orang pengawal muncul dan menyerang Maruto dengan keris mereka. Maruto terkejut sekali, meloncat dan mengelak, berusaha melawan sekuatnya. Akan tetapi dengan satu langkah saja, Resi Mahapati menerjang dengan pukulan tangan terbuka.

“Plakk! Tubuh Maruto terpelanting dan sebelum mampu bangkit atau menangkis, empat batang keris telah menghujam di tubuhnya. Dia terpekik satu kali dan tewas.

“Singkirkan mayatnya, kubur denagn baik, jangan sampai ada yang tahu. Resi Mahapati memerintah dan empat orang pengawal itu lalu membawa pergi mayat Maruto yang sial itu.

Resi Mahapati lalu melangkah ke dalam kamarnya, tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk-angguk.  
“Ronggo Lawe harus dilenyapkan dulu, dia merupakan penghalang pertama yang berbahaya….. gerutunya seorang diri.



Berbondong-bondong memang pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh mereka yang bersimpati kepada Adipati Ronggo Lawe, meninggalkan Mojopahit untuk menyeberang ke Tuban dan membantu adipati yang gagah perkasa itu. Akan tetapi, ketika ratusan orang itu tiba di tepi Sungai Tambakberas, air sungai waktu itu sedang pasang karena di sebelah turun hujan lebat sehingga memenuhi sungai. Selagi ratusan orang ini sibuk membuat persiapan untuk menyeberang sungai yang airnya naik tinggi itu, tiba-tiba datang pasukan seribu orang prajurit Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi. Patih Nambi yang merasa sakit hati dan marah oleh pemberontakan Ronggo Lawe yang ditujukan kepadanya itu, segera mengerahkan bala tentaranya dan menyerbu. Para pengikut Ronggo Lawe melakukan perlawanan mati-matian. Mereka berdiri dari orang-orang gagah yang dipimpin oleh bekas perwira-perwira Mojopahit atau dahulu menjadi anak buah Ronggo Lawe ketika adipati ini masih menjadi senopati di Mojopahit, di antara mereka adalah Ki Tosan, Empu Siddhi, Kidang Glatik, dan Muringgang. Namun jumlah pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi itu jauh lebih besar sehingga akhirnya, setelah melawan mati-matian sampai senja hari, akhirnya para pengikut Ronggo Lawe dapat dihancurkan dan selain banyak yang roboh tewas, selebihnya lari cerai-berai mencari keselamatan masing-masing.

Patih Nambi yang memperoleh kemenangan di tepi Sungai Tambakberas itu tidak puas dengan hasil kemenangannya. Pada senja hari itu, air sungai sudah surut, maka dia lalu menyeberangi Sungai Tambakberas dan menyerbu Tuban.



Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali, segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang datang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk minta diri kepada dua orang isterinya.

Begitu dia memasuki kamarnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang tercinta itu. Mertaraga kelihatan muram wajahnya dan kusut rambut serta pakaiannya, sedangkan Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga kelihatan berduka. Mereka telah mendengar akan usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat ini, Tirtawati juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut Raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.

“Ah, kenapa kalian menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.

“Kakangmas adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit. Benarkah itu? tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibanding dengan madunya, Mertaraga.

“Benar demikian, adinda Tirtawati, jawab sang adipati dengan tenang.

“Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?” pertanyaan ini diajukan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut, karena sesungguhnya sukar baginya untuk percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!

Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar matanya, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak di dalam batin isterinya, maka dia merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab tenang,

“aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang menentang kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepadaku. Dengan singkat Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan memandang suami mereka tercinta denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.

“Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku memberontak melainkan hendak menentang si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan menggunakan bala tentara Mojopahit.“

“Aduh, kakangmas adipati…. Tirtawati menubruk suaminya sambil menangis.“

“Bagaimana mungkin paduka akan melawan bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?“

“Kalah menang bukan soal yang amat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang si Nambi telah menyerang Sungai Tambakberas, telah memasuki wilayah Tuban, berarti telah melanggar kedaulatanku dan aku harus berangkat untuk menumpasnya!“

“Kakangmas….! Mertaraga menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki suaminya dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani berdiri serlongong di sudut kamar, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibunya itu menangis seperti itu.



Ronggo Lawe agak terheran melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan dan isterinya ini pun bukan seorang wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya itu memperlihatkan sikap seorang wanita yang cengeng dan amat lemah?

Dengan langkah lebar sang adipati meninggalkan istananya, akan tetapi baru beberapa langkah, dia menoleh, dan berkali-kali dia menoleh, hatinya penuh keharuan karena dia harus meninggalkan orang-orang yang amat dikasihinya itu.

Sedangkan Tirtawati dan Mertaraga mengikutinya dengan pandang mata sayu, dengan air mata seperti untaian mutiara membasahi pipi, akan tetapi kedua orang wanita itu dengan tabah menahan isak mereka dan bibir mereka yang masih panas oleh ciuman-ciuman dan cumbuan-cumbuan suami mereka itu kini tersenyum mengantar keberangkatan suami mereka seperti yang diminta oleh sang Adipati Ronggo Lawe.

Para pelayan yang tahu benar akan perasaan sang adipati dan dua orang isterinya itu,  tidak dapat bertahan menyaksikan perpisahan ini dan mereka yang menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di belakang selendang. Perpisahan yang amat mengharukan. Setelah tiba di pintu gerbang, sang adipati untuk penghabisan kali menengok, memandang seolah-olah hendak menguburkan bayangan dua orang isterinya dan puteranya itu ke dalam lubuk hatinya, kemudian dia dengan cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat ke atas punggung Ki Mego Lamat, kuda kesayangannya yang berbulu putih agaknya kelabu seperti warna awan tipis, lalu membedal kudanya menuju ke arah barisannya yang telah bersiap di luar kota Tuban. Dua orang isterinya tidak dapat melihat lagi bayangan suaminya, hanya mendengar derap kaki kuda Mego Lamat, makin lama makin lirih, makin jauh membawa terbang semangat mereka. Tubuh mereka manjadi lemas dan tiba-tiba mereka terkulai, ditubruk oleh para emban yang menjerit-jerit, kemudian mereka dipapah masuk ke dalam kamar, diiringi tangis Kuda Anjampiani.

Bersambung ke Kemelut Di Majapahit ; Jilid 4

No comments:

Post a Comment