“Selain itu, aku mendengar bahwa Sri Winarti dan Sulastri ini sudah yatim piatu,
maka sudah sepatutnya
kalau ki lurah melindungi mereka di dusun ini.“
Wajah ki lurah yang sudah lebih dari lima puluh tahun usianya itu berseri gembira mendengar ini.
“Tentu ….., tentu mereka baik-baik,
harap paduka jangan khawatir,
gusti adipati.“
“Aku mendengar bahwa engkau pernah membujuk Sri Winarti untuk menjadi selirmu?“
Pertanyaan yang tiba-tiba ini sekaligus mengusir seri wajah ki lurah dan dia menjadi
gugup.
“Ini …. Ini ….“ Dia tergagap.
“Aku tidak akan melarang
engkau untuk mengambil selir. Itu adalah hakmu, ki lurah. Akan tetapi kalau engkau memaksa seorang wanita menjadi selirmu, dengan
menggunakan kekuasaanmu, berarti engkau akan sama jahatnya dengan mereka yang kubunuh
di dalam hutan itu!“
“Ti….Tidak ….Hamba takkan memaksa orang….“
“Baik kalau engkau
tidak melakukannya, dan ingat dua orang anak ini berada di bawah perlindunganku, kalau sampai terjadi sesuatu atas diri mereka, aku akan minta pertanggungan jawabmu. Mengerti ?“
Dengan muka berobah
lurah itu mengangguk-angguk seperti seekor ayam mematuki
gabah, menyatakan janji ketaatannya.
Ronggo Lawe lalu menoleh kepada Sri Winarti dan Sulastri yang masih berlutut.
“Nini, kauajaklah adikmu pulang.“
Sri Winarti menyembah, mengangkat muka dan memandang denagn muka penuh kedukaan
kemudian pergi bersama adiknya dari halaman gedung kelurahan itu. Setelah
menerima penyambutan dan jamuan Ki Lurah Gendangan, tak lama kemudian Adipati
Ronggo Lawe meninggalkan dusun Gendangan, membedal kudanya menuju ke Tuban. Akan tetapi baru saja keluar dari batas dusun, di tengah jalan dia melihat
di dalam gelap sosok tubuh seorang
wanita. Dia menahan kudanya dan ternyata Sri Winarti
dan Sulastri telah menanti di tengah jalan.
“Eh, engkau lagi, nini? Mengapa kau menghadangku di sni?“ Ronggo Lawe meloncat
turun dari atas kudanya dan menghampiri dara itu sambil menuntun kudanya.
Dengan isak tertahan
Sri Winarti melangkah maju kemudian menjatuhkan diri berlutut
di depan kaki sang adipati dan menyembah-nyembah.
“Gusti adipati…. Hamba….Hamba sekali lagi mohon agar paduka menerima hamba bersuwita (menghambakan
diri)….“ Setelah
meragu sebentar seolah-olah berat dia mengeluarkan kata-kata
itu, Sri Winarti menyambung,
“Hamba telah bersumpah
tidak akan menghentikan
usaha hamba untuk membalas budi paduka….“
“Sudahlah, nini. Engkau masih amat muda, dan cantik rupawan.
Dunia terbentang luas dihadapanmu dan ki lurah tidak nanti akan berani mengganggumu lagi. Kau akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan cakap, yang sesuai untuk menjadi suamimu dan…“
“Hamba juga sudah bersumpah tidak akan melayani lain pria kecuali paduka!“ Dara
itu memotong cepat.
Ronggo Lawe terkejut
sekali, apalagi ketika dia melihat di antara kesuraman
cuaca senja yang hampir terganti malam, betapa sepasang mata yang jernih itu memandangnya dengan sinar yang mengandung asmara! Ronggo Lawe menghela napas panjang.
“Dan hamba pun bertekad untuk berguru kepada paduka!“ Sulastri yang kecil dan pandai bicara, juga tabah sekali itu, berkata.
Ronggo Lawe lalu mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari sela kudanya. Pundi-pundi
itu terisi uang yang diserahkan kepada Sri Winarrti.
“Nini ketahuilah bahwa aku sedang menghadapi
persoalan negara yang amat ruwet, maka tentu saja pada saat seperti ini aku tidak mempunyai
waktu dan minat untuk bicara tentang niatmu
menghambakan diri padaku,
sungguh pun aku menerimanya dengan hati terharu dan gembira.
Kauterimalah pundi-pundi ini dariku, dan kelak kalau sudah selesai
urusan negara, percayalah bahwa aku tidak melupakan seorang dara bernama Sri Winarti yang tinggal di susun Gendangan.“
Ucapan halus yang merupakan bayangan janji itu membuat Sri Winarti girang bukan main, dan sendang sesengukan dia mencium kaki sang adipati sambil menerima pundi-pundi
dan menghaturkan terima kasih. Kemudian Adipati Ronggo Lawe juga menyerahkan
sebuah benda kepada
Sulastri. Benda ini adalah sebuah cincin yang tadi dilolos
dari jari manis kiri sang adipati.
“Sulastri, aku tahu bahwa engkau adalah seorang calon pendekar
wanita yang hebat, akan tetapi sekarang
bukanlah saatnya bagiku untuk menerima murid seperti engkau
ini. Akan tetapi,
kau terimalah Kundolo Mirah ini sebagai tanda bahwa engkau
adalah murid Adipati Ronggo Lawe. Kundolo ini akan membuka pintu bagimu untuk dapat berhubungan dengan orang-orang yang sakti mandra guna di seluruh Nusantara.”
Sulastri menerima perhiasan
itu dengan
girang. Kundolo adalah perhiasan cincin
untuk telinga, yang oleh adipati itu dipakai di jari tangannya. Terbuat daripada
emas berukir dan di tengahnya
terhias sebutir batu mirah yang asli.
Setelah memberikan pundi-pundi dan kundolo, Adipati Ronggo Lawe lalu meloncat ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanannya ke utara, ke Tuban. Sri Winarti berdiri sambil memeluk adiknya dan memandang
sampai bayangan pria yang telah merenggut
cinta kasih hatinya itu lenyap dalam cuaca yang meulai menggelap.
Kemudian, dengan pundi-pundi ditekan di dada, seolah-olah benda itu menggantikan
pemberinya, dara ini bersama
adiknya perlahan-lahan memasuki dusun Gendangan,
membayangkan wajah yang gagah perkasa
itu penuh kemesraan.
Pada keesokan harinya,
Aryo Wirorojo yang bernama Banyak Wide atau Aryo Adikoro,
Bupati Sumenep yang semenjak Raden Wijaya menjadi raja di Mojopahit tidak kembali
ke Madura, melainkan tinggal bersama puteranya, Ronggo Lawe di Tuban,
pergi ke kadipaten
untuk menemui puteranya setelah dia mendengar bahwa puteranya
telah kembali malam tadi dari Mojopahit.
Senopati Mojopahit yang telah berusia enam puluh tahun lebih ini masih nampak gagah dan sehat, sikapnya tenang dan bijaksana, tidak seperti puteranya yang berdarah panas. Semenjak
Ronggo Lawe pergi dengan marah ke Mojopahit, ayah ini merasa
tidak enak hatinya, maka begitu mendengar bahwa puteranya telah kembali,
pagi-pagi itu dia sudah mengunjungi puteranya di kadipaten.
Begitu bertemu dengan Ronggo Lawe yang menyambutnya dan mereka duduk berhadapan
di rungan dalam kadipaten, Aryo Wirorojo telah dapat menduga dari tingkah laku dan gerak-gerik puteranya bahwa ada sesuatu yang hebat terjadi dengan puteranya
itu. Makin khawatirlah hati orang tua ini dan dia cepat bertanya tentang
kunjungan puteranya
itu ke istana sri baginda di Mojopahit.
Semenjak peristiwa di dalam hutan di mana dia menyelamatkan Sulastri dan Sri
Winarti, membunuh
lima orang penjahat keji, Adipati Ronggo Lawe telah dapat
menenangkan hatinya,
sungguh pun perasaan penasaran dan marah masih merupakan
titik api yang tak kunjung
padam. Maka kini mendengar pertanyaan ayahnya,
diceritakannyalah semua peristiwa
yang terjadi semenjak dia menghadap sang prabu sampai keributan
yang terjadi sebagai akibat protesnya terhadap pengangkatan Nambi sebagai
patih hamangku bumi di Mojopahit. Diceritakannya pula bahwa pamannya,
Lembu Sora sendiri yang maju dan menasihatinya untuk pulang ke Tuban sehingga
dia tidak melanjutkan amukannya.
Mendengar penuturan puteranya itu, Sang Aryo Wirorojo terkejut dan menjadi pucat
wajanya. Sejenak
dia menatap wajah puteranya tanpa mampu mengeluarkan kata-kata.
Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Betapa tidak akan sakit perasaannya.
Dia adalah seorang panglima
yang amat setia kepada sang
prabu dan dia rela untuk menyerahkan nyawanya sewaktu-waktu demi membela Mojopahit, dan kini puteranya
yang amat dibanggakannya itu telah memperlihatkan sikap memberontak terhdap raja
junjungannya, kiranya
tidak akan dapat dibandingkan dengan cinta kasihnya
terhadap puteranya. Oleh karena itu, dia lebih mengutamakan keselamatan
puteranya dan mendengar penuturan Ronggo Lawe, ayah yang tua dan sedang di himpit
duka dan kebingungan karena dihadapkan pada pilihan berat, yaitu kesetiaan
terhadap raja atau kecintaan terhadap putera, Sang Aryo Wirorojo
meruntuhkan air mata yang segera diusapkan dengan kepalan tangannya yang masih
kokoh kuat.
“Ayah menangis?“ Ronggo Lawe memandang
heran, hampir tidak percaya.
Ayahnya adalah seorang
ksatria utama yang amat gagah, dan bagi ksatria perkasa, air mata
jauh lebih berharga
dari pada darah. Lebih baik mencucurkan darah dari badan daripada
mencucurkan air mata! Air mata dianggap ebagai permainan wanita dan tanda kelemahan
jiwa.
“Apakah ayah pun hendak menyalahkan saya seperti senopati
yang lain?“
Aryo Wirorojo menggeleng kepalanya dan sudah dapat menguasai dirinya kembali. “Anakku,
jangan engkau alah sangka.
Memang, demi keadilan, rasa penasaran di hatimu itu benar. Melihat
jasa dan kesetiaan, sepatutnya Lembu Sora atau engkau yang harus
menjadi patih, bukan si Nambi. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa seorang senopati mengutamakan kesetiaan dan kepatuhan terhadap semua sabda sang prabu yang menjadi
junjungannya. Andaikata sang prabu menghendaki agar kita menempuh
lautan api, kita akan mentaatinya, tanpa mengingat akan kepentingan diri pribadi.
Hendaknya engkau ingat baik-baik, Lawe. Sikapmu itu berarti memberontak, dan
pemberontakan berarti
pengkhianatan terhadap sang prabu. Tahukah engkau apa
akibatnya kalau engkau berkhianat? Akibatnya amat berat dunia akhirat, anakku.
Nama keturunanmu akan terseret
pula ke dalam lumpur kehinaan. Camkanlah baik-baik,
pertimbangkanlah dengan kesadaran, sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya
terdorong oleh nafsu amarah
yang membuta.“
Ronggo Lawe menjadi pucat wajahnya dan dia termenung dengan kepala tunduk
menengar nasihat
ayahnya itu. Terbayang olehnya betapa dua orang isterinya dan terutama sekali puteranya yang terkasih dan masih kecil kelak akan menjadi orang-orang
yang dipandang rendah dan terhina, sebagai keluarga pemberontak dan pengkhianat!
Melihat betapa puteranya mulai sadar, Aryo Wirorojo melanjutkan dengan penuh
harapan,
“Puteraku, kesatria yang gagah, adipati yang bijaksana, ingatlah akan sabda dan janji sang prabu dahulu kepadaku. Bukankah sang prabu telah berjanji
ketika beliau masih belum menjadi raja dahulu bahwa apabila Mojopahit berhasil
dibangun, maka negara
itu akan dibagi menjadi dua dan yang separuh akan diserahkan
kepadaku sebagai imbalan jasa? Nah, kalau bagian itu sudah diserahkan
kepadaku, siapa lagi kalau bukan engkau yang akan menjadi rajanya?
Kalau sudah begitu, baru kita berdiri sendiri sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari kedaulatan Mojopahit dan kalau kita sudah bukan menjadi ponggawa Mojopahit lagi,
barukah engkau boleh bersikap
sesuka hatimu tanpa ada bahaya akan dianggap
sebagai pemberontak dan pengkhianat, anakku.“
Ronggo Lawe mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebijaksanaan dalam kata-kata
ayahnya itu. Dia telah terburu nafsu, terdorong oleh amarah yang kini dia melihat jelas dibangkitkan oleh perasaan iri hati terhadap Nambi. Timbul
penyesalannya dan baru terbuka matanya kini betapa dia telah bersikap keterlaluan dan tidak hormat di depan sri baginda.
Dia harus mohon ampun kepada junjungannya itu!
Akan tetapi, selagi sang adipati mulai sadar dan mendengarkan wejangan-wejangan
selanjutnya dari Aryo Wirorojo, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada seorang
prajurit datang dari Mojopahit yang mengaku sebagai utusan Sang Resi Mahapati.
Resi Mahapati adalah seorang di antara para pendeta yang mengepalai
keagamaan di Mojopahit,
dan Resi Mahapati adalah kepala Agama Syiwa.
Ronggo Lawe bertukar
pandang dengan ayahnya. Mereka tentu saja mengenal Sang Resi Mahapati
yang sakti mandrahuna, seorang yang memiliki kedudukan tinggi di samping
Pendeta Brahmanaraja yang mengepalai agama penyembah Brahma. Resi Mahapati
terkenal ramah dan baik sikapnya terhadap semua senopati di Mojopahit.
“Suruh dia masuk saja ke sini,“ perintah Ronggo Lawe kepada pengawalnya.
Tak lama kemudian, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata
tajam menandakan kecerdikannya datang. Bersujud di depan Adipati Ronggo Lawe.
Adipati ini cepat bertanya
siapa dia dan apa keperluannya datang menghadap ke Kadipaten
Tuban.
“Harap paduka gusti adipati sudi mengampunkan kalau hamba mengganggu. Hamba bernama Maruto,
pengawal peribadi Sang Resi Mahapati dan hamba diutus oleh sang resi untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi paduka gusti adipati.“
Ronggo Lawe mengerutkan alisnya dan Aryo Wirorojo menyela,
“Apakah engkau tidak
membawa surat dari beliau?“
Maruto menyembah hormat,
“Karena tergesa, sang resi tidak sempat surat dan hanya mengutus hamba untuk melapor ke sini secara lisan saja.“
“Katakan, apa yang hendak diberitahukan oleh sang resi kepadaku?“ Ronggo Lawe bertanya tak sabar lagi.
“Sang resi menganjurkan agar paduka gusti adipati hendaknya segera menyelamatkan
diri mengungsi dan pergi dari Kadipaten
demi keselamatan paduka….“
“Apa….?“ ronggo Lawe menggebrak
meja dengan muka merah. Biar pun pesan sang resi itu bermaksud
baik, akan tetapi menyuruh dia melarikan diri sugguh-sungguh
merupakan suatu berita yang merendahkan dan menghina!
“Apa maksud sang resi dengan anjuran itu?“
“Sang resi mengutus hamba memberi tahu bahwa sekarang ini, Sang Patih
Hamangkubumi Nambi telah berhasil
memperoleh ijin dari sang prabu hendak
menyerbu Tuban dan membasmi paduka sekeluarga yang dianggap pemberontak. “
“Jahanam Nambi….!!“ Ronggo
Lawe bangkit berdiri dengan mata mendelik saking
marahnya.
“Heh, Maruto,
pulanglah engkau dan sampaikan terima kasihku kepada Sang Resi Mahapati,
akan tetapi katakan bahwa Ronggo Lawe bukan seorang pengecut
dan akan menyambut serbuan Nambi keparat dengan keris di tangan!“
Maruto menjadi ketakutan, menyembah dan bergegas meninggalkan gedung kadipaten,
melompat ke atas kudanya
dan membalapkan tunggangannya itu keluar dari Kadipaten
Tuban, kembali ke selatan ke Mojopahit.
Sementara itu, Aryo Wirorojo mencoba untuk menenangkan hati puteranya.
“Lawe,
tenanglah dan pikirkan masak-masak sebelum melakukan sesuatu.“
“Ayah, bagaimana saya bisa tenang dan bersabar lagi kalau dihina orang seperti
ini? Siapakah bedebah
Nambi itu sehingga berani dia menghina Ronggo Lawe? Ayah, paduka sendiri tentu maklum bahwa saya tidak berniat memberontak atau berkhianat terhadap
junjungan kita, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana di Mojopahit.
Akan tetapi sebagai seorang kesatria, mundur dan lari merupakan
pantangan besar bagi saya! Mati bukanlah apa-apa karena semua mahluk takkan
terlepas dari kematian. Akan tetapi kehormatan merupakan hal yang jauh lebih
berharga daripada nyawa. Lebih baik seribu kali mati sebagai seorang kesatria
perkasa, mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seorang pengecut
yang lari tunggang langgang menghadapi bahaya. Tidak, ayah, saya harus melawan
si Nambi keparat itu, biar pun dia menggunakan nama sang prabu di Mojopahit
untuk menghina saya!“
Percuma saja Aryo Wirorojo
menyabarkannya. Ronggo Lawe lalu mengumpulkan para
pembantunya yang dihimpun
oleh Panewu Progodigdoyo dan segera mereka melakukan
perundingan. Semua ponggawa Tuban dikumpulkan dan para pembesar, akuwu, demang,
dan tumenggung mengucapkan sumpah setia sampai mati kepada Ronggo Lawe Adipati
Tuban. Utusan
dikirim ke daerah Mojopahit menghubungi kawan-kawan yang menaruh
simpati kepada Adipati Tuban.
Mendung mulai menyuramkan langit di atas Kerajaan Mojopahit. Api pemberontakan
mulai bernyala dan api ini ternyata
akan menjadi makin besar, merupakan kemelut
di Mojopahit yang tak terlupakan orang dan tercacat di dalam sejarah sebagai
lembaran-lembaran hitam, karena yang memberontak adalah senopati yang tadinya
menjadi banteng Mojopahit, bahkan merupakan tiang-tiang pendiri Kerajaan
Mojopahit Raden Wijaya yang kini menjadi raja!
Dua hari kemudian,
ketika Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana sedang dihadap
oleh para menteri dan senopati seperti biasa, dalam suasana anak murung karena peristiwa
yang ditimbulkan oleh Ronggo Lawe masih berbekas di hati sang prabu dan para ponggawa,
tiba-tiba datang seorang prajurit menghadap sang prabu,
menghaturkan sembah dan dengan muka pucat prajurit itu melapor,
“Hamba adalah seorang prajurit penjaga di dekat Sungai Tambakberas, di perbatasan antara
Mojopahit dan Tuban, gusti, dan pagi hari tadi hamba mendengar berita bahwa sang adipati
di Tuban telah mempersiapkan pasukan untuk menggempur
Mojopahit, bahkan hamba melihat
sendiri banyak pasukan menyeberang ke Tuban…“
Tentu saja sang prabu menjadi terkejut
sekali, dan juga marah mendengar
pelaporan perajurit yang bernama Maruto ini.
“Sungguh tak tahu diri sekali kakang Ronggo Lawe!“ Sang Prabu berseru,
“Ijinkan hamba memimpin
pasukan untuk menghancurkan pemberontak, gusti!“ Nambi mendahului yang lain, mengajukan permohonan dengan kata-kata tegas. Sang Prabu maklum bahwa Nambi menjadi sasaran
kemarahan Ronggo Lawe, maka sudah sepantasnya
kalau Nambi yang menanggulangi keributan itu pula, maka sang prabu memberi ijin persetujuannya. Nambi menyembah dan dengan tangkas patih ini lalu keluar dari istana dan mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari seribu orang pilihan
untuk menghadapi pasukan Tuban. Hari itu juga Nambi memimpin pasukan ini menuju
ke utara dengan gerakan cepat.
Sang Prabu membubarkan persidangan dan para senopati dengan prihatin kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang tahu, bahkan menduga pun tidak betapa
setelah persidangan bubar, terjadi hal yang amat luar biasa di dalam gedung tempat tinggal Sang Resi Mahapati. Seorang tinggi kurus dengan sikap sembunyi-sembunyi
agar tidak kelihatan
oleh orang lain menyelinap dan masuk ke dalam gedung itu, langsung
menuju ke ruangan belakang yang terjaga oleh beberapa orang prajurit
pengawal Sang Resi Majapahit. Sebagai seorang pendeta yang mempunyai kedudukan
tinggi di istana, tentu saja Resi Mahapati bukanlah sebangsa pendeta miskin,
melainkan seorang pendeta yang memiliki rumah gedung, lengkap dengan perabot
rumah mewah dan dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal. Ternyata di ruangan itu telah menanti
Sang Resi Mahapati dan orang yang menyelinap masuk tadi, yang bukan lain adalah
Maruto, orang kepercayaan Mahapati yang telah disuruh oleh
pendeta itu, mula-mula
ke Tuban kemudian menghadap sang prabu.
Dengan muka girang Maruto memberi hormat dengan sembah, kemudian berkata,
wajahnya berseri,
suaranya mengandung kebanggaan dan kegirangan, “Semua perintah
paduka telah hamba jalankan denagn baik, Adipati Tuban menjadi terbakar hatinya
dan mempersiapkan bala tentara,
sedangkan sang prabu sendiri juga telah menyetujui Gusti Patih Nambi mempersiapkan pasukan untuk mengempur Tuban. Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik agar paduka memakluminya.“
“Apakah telah kaujaga baik-baik sehingga tidak ada orang kedua yang mengetahui
semua perbuatanmu itu, Maruto?“
“Tidak ada, sang resi yang mulia. Setanpun tidak ada yang melihatnya.“
“Kalau begitu, biarlah engkau menjadi setan!“
“Apa ….,apa maksud paduka…..? Maruto bertanya pucat ketika Resi Mahapati memberi
isyarat dengan tangan kirinya diangkat ke atas. Empat orang pengawal muncul dan menyerang
Maruto dengan keris mereka. Maruto terkejut sekali, meloncat dan mengelak, berusaha melawan sekuatnya. Akan tetapi dengan satu langkah saja, Resi Mahapati
menerjang dengan pukulan tangan terbuka.
“Plakk!“ Tubuh Maruto terpelanting dan sebelum mampu bangkit atau menangkis,
empat batang keris telah menghujam di tubuhnya. Dia terpekik satu kali dan tewas.
“Singkirkan mayatnya, kubur denagn baik, jangan sampai ada yang tahu.“ Resi Mahapati memerintah dan empat orang pengawal itu lalu membawa pergi mayat Maruto
yang sial itu.
Resi Mahapati lalu melangkah ke dalam kamarnya, tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk-angguk.
“Ronggo Lawe harus dilenyapkan dulu, dia merupakan penghalang pertama yang berbahaya…..“ gerutunya seorang diri.
“Ronggo Lawe harus dilenyapkan dulu, dia merupakan penghalang pertama yang berbahaya…..“ gerutunya seorang diri.
Berbondong-bondong memang pasukan-pasukan
kecil yang dipimpin oleh mereka
yang bersimpati kepada Adipati Ronggo Lawe, meninggalkan Mojopahit untuk menyeberang
ke Tuban dan membantu adipati yang gagah perkasa itu. Akan tetapi, ketika ratusan
orang itu tiba di tepi Sungai Tambakberas, air sungai waktu itu sedang
pasang karena di sebelah turun hujan lebat sehingga memenuhi sungai. Selagi ratusan orang ini sibuk membuat persiapan
untuk menyeberang sungai yang airnya naik tinggi itu, tiba-tiba
datang pasukan seribu orang prajurit Mojopahit yang
dipimpin oleh Nambi.
Patih Nambi yang merasa sakit hati dan marah oleh pemberontakan Ronggo Lawe yang ditujukan
kepadanya itu, segera mengerahkan bala tentaranya dan menyerbu. Para pengikut Ronggo Lawe melakukan perlawanan mati-matian.
Mereka berdiri dari orang-orang gagah yang dipimpin oleh bekas perwira-perwira
Mojopahit atau dahulu menjadi anak buah Ronggo Lawe ketika adipati ini masih menjadi senopati
di Mojopahit, di antara mereka adalah Ki Tosan, Empu Siddhi,
Kidang Glatik, dan Muringgang. Namun jumlah pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh
Nambi itu jauh lebih besar sehingga
akhirnya, setelah melawan mati-matian sampai
senja hari, akhirnya para pengikut Ronggo Lawe dapat dihancurkan dan selain
banyak yang roboh tewas, selebihnya lari cerai-berai mencari keselamatan masing-masing.
Patih Nambi yang memperoleh kemenangan di tepi Sungai Tambakberas itu tidak puas
dengan hasil kemenangannya. Pada senja hari itu, air sungai sudah surut, maka dia lalu menyeberangi Sungai Tambakberas dan menyerbu Tuban.
Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera
terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali,
segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang datang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk minta diri kepada dua orang
isterinya.
Begitu dia memasuki kamarnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang
tercinta itu. Mertaraga kelihatan muram wajahnya dan kusut rambut serta
pakaiannya, sedangkan
Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga kelihatan
berduka. Mereka telah
mendengar akan usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin
dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat ini, Tirtawati
juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut Raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.
“Ah, kenapa kalian
menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan
seperti anak kecil.“ Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.
“Kakangmas adipati, saya mendengar
bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit.
Benarkah itu?“ tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibanding dengan madunya,
Mertaraga.
“Benar demikian, adinda Tirtawati,“ jawab sang adipati dengan tenang.
“Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?”
pertanyaan ini diajukan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut,
karena sesungguhnya sukar baginya
untuk percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang
pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang
sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!
Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar matanya, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak
di dalam batin isterinya, maka dia
merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab tenang,
“aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang
menentang kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepadaku.“ Dengan singkat
Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan
memandang suami mereka tercinta
denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.
“Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku memberontak melainkan hendak menentang
si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan
menggunakan bala tentara
Mojopahit.“
“Aduh, kakangmas adipati….“ Tirtawati menubruk suaminya sambil menangis.“
“Bagaimana mungkin paduka akan melawan
bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?“
“Kalah menang bukan soal yang amat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang
si Nambi telah menyerang Sungai Tambakberas, telah memasuki
wilayah Tuban, berarti telah melanggar kedaulatanku dan aku harus
berangkat untuk menumpasnya!“
“Kakangmas….!“ Mertaraga
menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki suaminya
dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani
berdiri serlongong di sudut kamar, bingung
karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibunya itu menangis seperti itu.
Ronggo Lawe agak terheran
melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah
puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan
dan isterinya ini pun bukan seorang
wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya
itu memperlihatkan sikap seorang wanita yang cengeng dan amat lemah?
Dengan langkah lebar sang adipati meninggalkan istananya, akan tetapi baru
beberapa langkah,
dia menoleh, dan berkali-kali dia menoleh, hatinya penuh
keharuan karena dia harus meninggalkan orang-orang yang amat dikasihinya itu.
Sedangkan Tirtawati dan Mertaraga mengikutinya dengan pandang mata sayu, dengan
air mata seperti
untaian mutiara membasahi pipi, akan tetapi kedua orang wanita
itu dengan tabah menahan
isak mereka dan bibir mereka yang masih panas oleh ciuman-ciuman dan cumbuan-cumbuan suami mereka itu kini tersenyum mengantar
keberangkatan suami mereka seperti yang diminta oleh sang Adipati Ronggo Lawe.
Para pelayan yang tahu benar akan perasaan
sang adipati dan dua orang isterinya
itu, tidak dapat bertahan
menyaksikan perpisahan ini dan mereka yang menangis
tersedu-sedu, menyembunyikan muka di belakang selendang. Perpisahan yang amat
mengharukan. Setelah
tiba di pintu gerbang, sang adipati untuk penghabisan kali
menengok, memandang
seolah-olah hendak menguburkan bayangan dua orang isterinya
dan puteranya itu ke dalam lubuk hatinya,
kemudian dia dengan cepat membalikkan
tubuhnya dan meloncat
cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat ke atas punggung
Ki Mego Lamat, kuda kesayangannya yang berbulu putih agaknya kelabu seperti
warna awan tipis, lalu membedal kudanya menuju ke arah barisannya yang telah
bersiap di luar kota Tuban. Dua orang isterinya tidak dapat melihat lagi bayangan suaminya, hanya mendengar
derap kaki kuda Mego Lamat, makin lama makin lirih, makin jauh membawa
terbang semangat mereka. Tubuh mereka manjadi lemas dan tiba-tiba
mereka terkulai, ditubruk oleh para emban yang menjerit-jerit,
kemudian mereka dipapah masuk ke dalam kamar, diiringi tangis Kuda Anjampiani.
Bersambung ke
Kemelut Di Majapahit ; Jilid 4
No comments:
Post a Comment