Kebo Anabrang adalah seorang
yang ahli dalam air. Dia maklum betapa tanguhnya
Ronggo Lawe, apalagi di atas kuda. Maka dia tadi memancing Ronggo Lawe untuk turun dari kuda dan kini dia sengaja
memilih tempat di sungai itu. Bukan percuma saja Kebo Anabrang
mengalami banyak hal ketika dia menyeberang ke tanah Melayu
dan kini dia mempergunakan pengalamannya itu untuk mencari akal agar unggul
dalam pertandingan menghadapi lawan yang amat sakti ini. Dengan tangkas dia lalu meloncat
ke atas batu-batu itu, biar pun tubuhnya tinggi besar namun gerakannya
tangkas seperti seekor kijang berloncatan. Dia berhenti di tengah-tengah sungai,
di atas batu kali yang hitam, licin mengkilap dan besar, lalu mencabut kerisnya,
keris Kyai Soka dan menantang-nantang,
“Hayo ke sinilah kau, Ronggo Lawe,
kalau memang kau jantan. Jangan hanya berani kepada Nambi saja. Inilah Kebo Anabrang,
laki-laki gemblengan yang menjadi tandinganmu dan yang akan menamatkan riwayatmu
di tengah-tengah Sungai Tambakberas!“
Tadinya Ronggo Lawe agak meragu dan ngeri karena sesungguhnya dia bukanlah
seorang ahli bermain
di air. Akan tetapi tantangan Kebo Anabrang memerahkan
telinganya dan dia pun mencabut keris pusaka Kyai Kolonadah.
“Si keparat Kebo Anabrang!
Ronggo Lawe adalah laki-laki sejati! Tunggulah
kedatanganku!” Adipati
ini pun lalu meloncat ke atas batu-batu itu, dengan
gesitnya berloncatan menghampiri Kebo Anabrang yang sudah siap.
“Terimalah ini!“ Ronggo Lawe membentak, tubuhnya meloncat dengan terkaman ganas, kerisnya
menusuk, tangan kirinya menampar dengan Aji Gelap Sewu yang terkenal
ampuh, karena tamparan dengan aji dapat menghancurkan batu kali!
“Bagus!“ Kebo Anabrang membentak dan cepat dia menangkis dengan kerisnya Kyai Soka.
“Cring….!“ Dua pusaka bertemu
dan Kyai Soka cepat digerakkan oleh Kebo Anabrang
untuk menangkis tamparan tangan kiri Ronggo Lawe.
“Plakkk!“ Tangan kiri Ronggo Lawe bertemu dengan keris Kyai Soka, akan tetapi lecet pun tidak, bahkan Kebo Anabrang merasa betapa lengan kanannya menjadi
tergetar hebat oleh hawa panas yang timbul dari Aji Gelap Sewu!
“Wuuuutt….!“ Kaki kiri Kebo Anabrang
menendang dengan sepakan tumitnya, keras
sekali dan kalau mengenai lutut Ronggo Lawe tentu akan membikin adipati itu celaka, karena sekali lututnya
patah tentu dia akan kalah. Namun dengan cekatan
Ronggo Lawe meloncat ke atas batu yang lain sambil mengelak.
Mulailah mereka serang-menyerang dengan ganas, seru dan mati-matian. Keduanya
sama kuat, sama cekatan, dan keris mereka pun sama ampuhnya Tusuk-menusuk, pukul-memukul,
tendang-menedang mereka lakukan bergantian
namun lawan tetap saja dapat menangkis, mengelak,
bahkan kadang-kadang menerima pukulan dengan kekebalan
kulit mereka!
Hebat bukan main pertandingan antara dua orang senopati gemblengan ini. Peluh
sudah bercucuran dari seluruh
dari seluruh tubuh mereka. Dan kini banyak
prajurit kedua fihak yang berdekatan dengan tempat itu menghentikan perang
mereka, dan mereka itu berdiri di kedua tepi sungai dan bersorak-sorak memberi
semangat kepada jago masing-masing! Pertandingan sehebat itu terlampau menarik
untuk dilewatkan begitu saja, sungguhpun mereka sendiri sedang berperang campuh.
Tanpa dikomando lagi, perang
di sekitar tempat itu berhenti, semua lebih suka menonton!
“Plak-plak-cringgg!“ Kembali
mereka beradu lengan dan beradu keris, akan tetapi
dengan kecepatan
seekor burung kepinis, Ronggo Lawe meloncat dan tangan kirinya
menampar ke arah kepala Kebo Anabrang.
“Wuuuuttt….dessss!!“ Biar pun Kebo Anabrang
sudah mengelak dengan miringkan
tubuh, tetap saja tamparan itu mengenai pundaknya. Dia sudah cepat mengerahkan
aji kekebalannya, akan tetapi tetap saja pundaknya terasa panas dan setengah
lumpuh. Dia meloncat ke sebuah batu lain dan memandang lawannya dengan sinar
mata kagum bukan main!
Selama hidupnya sebagai seorang prajurit dan pendekar, belum pernah Kebo Anabrang menemui tandingan sehebat Ronggo Lawe ini. Dia adalah seorang pendekar
yang gagah perkasa,
yang amat menghargai kegagahan, dan biar pun sudah lama dia
menjadi kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan banyak melihat kegagahan kawan itu,
baru sekarang dia membuktikannya sendiri dan dia menjadi kagum bukan main!
“Hemmmm….!“ Dia menggeram, pandang matanya bersinar-sinar, peluhnya menetes-netes,
diusapnya dengan tangan kirinya
yang besar.
“Hebat engkau Ronggo Lawe!“
Ronggo Lawe yang berdiri di atas batu lain, juga mengusap peluhnya dengan tangan
kirinya dan memandang lawan dengan sinar mata berapi, penuh semangat.
“Babo-babo,
keluarkan semua kesaktianmu, Kebo Anabrang!“ tantangnya, kagum juga melihat
betapa tamparannya dengan Aji Gelap Sewu yang mengenai pundak tadi tidak merobohkan
lawannya ini.
“Engkau memang digdaya
dan kalau saja engkau mau menakluk, menghentikan perang
gila ini, aku…. , akulah
yang akan mohon kepada sang prabu untuk pengampunan
atas dirimu, kawan!“
Ucapan yang mengandung
kemesraan dan perlindungan ini seperti minyak menyiram
api. Sepasang mata Ronggo Lawe seperti mengeluarkan api.
“Tutup mulutmu, Kebo Anabrang! Hanya ada dua pilihan bagiku, menang membunuh Nambi atau tewas di
medan yuda!“
Kebo Anabrang menarik napas panjang.
“Hemm, kau telah memilih mati, Ronggo Lawe. Baiklah,
engkau akan mati di tanganku!“
Kembali Kebo Anabrang
memandang ragu, tangan kirinya menyendok air sungai dan
membasahi leher dan dadanya,
dilihat oleh Ronggo Lawe yang sudah siap menerjang
lagi.
“Sambut seranganku!!“ Ronggo Lawe membentak dan dia sudah menerjang lagi,
ditangkis oleh keris Kebo Anabrang.
Kembali dua orang senopati gemblengan ini bertanding, lebih hebat daripada tadi malah. Batu-batu sebesar kerbau tergetar,
air sungai muncrat-muncrat dan ikan-ikan berkelebekan, ada yang mati karena
panasnya hawa dua keris pusaka yang kadang-kadang bergulat banting-membanting di air dangkal
yang hanya sampai ke lutut.
Kebo Anabrang maklum bahwa sukarlah
baginya untuk mengalahkan lawan ini, kalau tidak menggunakan akal. Maka mulailah dia berloncatan dari batu ke batu, dikejar oleh Ronggo Lawe dengan ganas, tidak tahu bahwa lawannya itu memancingnya ke bagian yang airnya dalam, lebih dari ukuran orang.
Ketika sudah mendapat posisi baik di atas batu kali licin yang berdiri di tengah
air yang dalam, Kebo Anabrang
menantang lagi, Ronggo Lawe meloncat, kerisnya
berkilauan mengeluarkan sinar kemerahan. Kebo Anabrang menyambut, keris Kyai Soka mengeluarkan sinar berkilauan dan bertemulah keris dan orangnya di udara.
“Cringgg…bresss….!!“ Keduanya terjatuh, bukan di atas batu itu, melainkan jatuh
di air.
“Byuuuurrr….!!“ Air muncrat tinggi, mereka masih bergulat, akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget dan gugup hati Ronggo Lawe ketika kakinya terus tenggelam
tidak ada tempat berpijak sampai seluruh kepalanya tenggelam! Tentu saja dia gelagapan,
akan tetapi dia harus mempertahankan diri karena diserang
oleh Kebo Anabrang yang pandai bermain di air itu.
Beberapa kali Ronggo Lawe gelagapan
dan menelan air. Hal ini tampak oleh Kebo Anabrang,
maka cepat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan, lalu merangkulnya, memitingnya dan membawa lawan menyelam ke dalam air sampai lama!
Para prajurit Tuban yang berdiri
di tepi sungai memandang dengan mata terbelalak,
mengira bahwa keduanya telah mati maka dengan marah mereka lalu menyerbu musuh dan perang terjadi
kembali dengan hebatnya! Mereka tidak tahu bahwa tak lama kemudian,
tampak Kebo Anabrang tak bisa menggerakkan kerisnya, Kyai Soka tak
dapat dia pergunakan karena kedua tangannya mendekap dan mencekik leher lawan,
yang kiri memegang pergelangan tangan kanan lawan. Dia
lalu mencekik lebih keras, menenggelamkan kembali kepala Ronggo Lawe dan membentur-benturkannya ke batu
kali yang berdekatan. Air kali mulai merah oleh darah Ronggo Lawe.
Peristiwa yang mengerikan itu diisaksikan oleh sepasang mata. Sepasang mata dari Ki Lembu Sora yang menonton
dari dekat. Dan dua pasang mata yang menonton agak jauh sambil bersembunyi di antara rumpun alang-alang di tepai sungai.
Melihat betapa keponakannya menderita siksaan seperti itu, tidak tahanlah hati Lembu Sora dan dia cepat berloncatan ke atas batu-batu kali, mendekati tempat
pertandingan itu dengan keris di tangan.
“Cressss….!!“ Kerisnya
menembus belikat Kebo Anabrang, sampai ke dada. Kebo Anabrang
terbelalak, sempat menenggok dan memandang Lembu Sora dengan wajah penuh keheranan, kemudian terkulai dan tewas, tubuhnya semampir di atas batu kali, tangannya masih mencekik leher Ronggo Lawe yang ternyata juga telah tewas!
Melihat ini, Lembu Sora cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat pergi
meninggalkan tempat itu. Dilihat sepintas lalu, kelihatannya dua orang senopati
gemblengan itu mati sampyuh, karena Ronggo Lawe yang mati itu masih memegang
kerisnya.
Pada saat itu, dua pasang mata yang menonton pertandingan tadi terbelalak dan seorang di antara pemilik
mata itu menjerit. Ternyata mereka adalah Sri Winarti
dan adiknya, Sulastri. Ketika kakak beradik ini mendengar akan pertempuran
antara pasukan Tuban yang dipimpin oleh Adipati Ronggo Lawe melawan pasukan
Mojopahit, mereka terkejut dan menjadi ketakutan. Apalagi ketika dusun Gendangan,
yang terlanda perang, ditinggalkan semua penduduknya yang lari mengungsi, sri Winarti dan adiknya, Sulastri, menjadi binggung dan akhirnya mereka mencari
tempat persembunyian di dekat sungai, di dalam rumpun alang-alang yang amat dikenalnya itu.
Akan tetapi betapa kaget hati mereka katika mendapatkan kenyataan bahwa justruh
tempat itu di jadikan medan yuda! Mereka terus saja besembunyi sambil menahan
napas karena peperangan itu terjadi dekat sekali dengan tempat mereka
bersembunyi. Bahkan dari tempat mereka bersembunyi itu, Sri Winarti dengan mata
terbelalak ikut menonton
pertandingan yang amat hebat dan mengerikan antara pria yang dicintainya, dijunjung dan dipuja-pujanya, yaitu Adipati Ronggo Lawe melawan Kebo Anabrang!
Dapat dibayangkan betapa tegang dan gelisah rasa hati gadis ini yang beberapa
kali hampir menjerit kalau saja dia tidak dirangkul adiknya dan didekap mulutnya. Akan tetapi, ketika melihat betapa pria yang dipuja-pujanya itu tewas mandi darah dan tergolek
bersama lawannya di atas batu, lawan yang dilihatnya
terbunuh seorang senopati tua yang telah lari, Sri Winarti tidak dapat menahan kehancuran hatinya. Dia menjerit, bangkit dan lari menghampiri, meninggalkan Sulastri yang masih bersembunyi dan memandang dengan
mata terbelalak ketakutan.
“Gusti….Gusti adipati….Kakangmas pujaan hamba….!“ Sri Winarti berlari-lari, meloncat dari batu ke batu, kadang-kadang tergelincir dan bangun lagi, sampai
akhirnya dia berenang
menghampiri batu di mana menggeletak mayat Kebo Anabrang
yang masih mengempit mayat ronggo Lawe.
Melihat orang yang dicintainya itu rebah dikempit oleh lengan kuat Kebo Anabrang,
matanya setengah
terbuka dan bibirnya setengah tersenyum, Sri Winarti menjerit dan menubruk.
“Aduh…..kakangmas….Adipati Ronggo Lawe….!!
“ Dia menangis
menjerit-jerit dan mengguncang-guncang bahu Ronggo Lawe, kemudian dengan beringas dia melihat keris pusaka
Kolonadah yang masih terpegang oleh tangan kanan mayat Ronggo Lawe.
Diambilnya keris itu dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan ditusuknya lambung Kebo Anabrang dengan penuh kebencian.
“Keparat! Berani engkau membunuh kekasihku, pujaanku….? Nih, mempuslah kau!“
Keris pusaka itu menusuk lambung Kebo Anabrang, akan tetapi tentu saja tidak
terasa lagi oleh badan yang sudah tak bernyawa
itu.
“Kakangmas adipati ….Ah, kakangmas ….hamba….hamba ikut….!“ Dengan beringas Sri
Winarti lalu menggunakan keris Kolonadah, ditusukkan ke arah dadanya sendiri,
menancap di ulu hatinya sampai ke gagangnya.
“Huuuukkk….kakangmas….!“ Dia menubruk,
merangkul dan mencium muka Ronggo Lawe,
lalu terkulai lemas menindih
tubuh pris yang dicintanya itu. Darah menetes-netes
dari dadanya, di antara buah dadanya yang membusung itu, membasahi dada Ronggo
Lawe.
Sepasang mata kecil Sulastri
terbelalak tak pernah berkedip menyaksikan semua peristiwa
itu yang mengakibatkan kakaknya membunuh diri. Kemudian dia melihat
dua orang laki-laki
berloncatan menghampiri tempat itu. Usia mereka tiga puluh tahun lebih,
berpakaian perwira Mojopahit, yang seorang bertubuh jangkung dengan mata agak menjuling, dan orang ke dua kurus kecil dengan bibir tebal dan matanya
liar tajam. Mereka berloncatan dengan gerakan yang sigap gesit ke tempat itu,
kemudian mereka saling bicara perlahan,
namun cukup keras untuk dapat terdengar
oleh Sulastri, anak yang masih bersembunyi di dalam alang-alang itu.
“Wah, kakang Reksosura! Kau lihat? Senopati Kobo Anabrang tewas pula !“ kata yang kurus berbibir
tebal dan mukanya bundar itu.
“Jelas, adi Darumuko!
Keris pusaka Senopati Lembu Sora tadi menusuknya, lihat
itu, sampai tembus ke dadanya.
Lembi Sora berlaku khianat!“ jawab yang bertubuh
jangkung.
“Sssshhhh….Mari kita laporkan
kepada gusti Resi Mahapati….“ kata pula yang kurus kecil.
“Dan gadis ini?“ Si Jangkung
memandang.
“Hemm, tentu dia ini selir luaran
dari Ronggo Lawe. Lihat, sampai mati pun dia masih mencium bibir sang adipati.
Wahhh, aku jadi iri, adi Darumuko.
Dia begini denok dan mulus ….lihat dadanya tuh ! “
“Hushhh, kakang, mari kita pergi!“
kata yang kecil kurus, lalu dia meloncat
pergi.
Si Jangkung yang bernama
Reksosuro itu meludah, lalu kakinya menendang ke arah pinggul
mayat Sri Winarti sehingga mayat gadis itu terguling dan terjatuh ke air, terbawa oleh arus air sungai Tambakberas dengan keris Kolonadah masih menancap
di ulu hatinya. Kemudian si jangkung meludah lagi dan berlompatan mengikuti
temannya, lalu lenyap dari pandangan mata.
Tidak ada orang lain melihat peristiwa terakhir ini kecuali sepasang mata Sulastri.
Sepasang mata yang menyinarkan kekerasan dan ketika ada dua tetes air
mata meloncat ke luar, cepat diusap dengan tangannya dan bibirnya berbisik-bisik,
“Reksosura…. Darumuko….Mahapati….!“ Ketika membisikkan nama-nama ini matanya menyinarkan api dendam.
“Reksosura…. Darumuko….Mahapati….!“ Ketika membisikkan nama-nama ini matanya menyinarkan api dendam.
Sementara itu, dengan suara menguntur
Lembu Sora berteriak memberitahukan Lembu Sora tentang
kematian Ronggo Lawe kepada mereka yang masih berperang dan memerintahkan agar perlawanan orang-orang Tuban dihentikan. Semua orang terkejut
mendengar bahwa Adipati
Ronggo Lawe gugur, perlawanan dihentikan dan semua orang mengerumuni tepi Sungai Tambakberas di mana masih mengeletak mayat Kebo Anabrang
yang dikabarkan “mati sampyuh“
dengan Ronggo Lawe.
Sang Prabu sendiri
berkenan mendatangi tempat itu dan melihat keadaan dua orang
senopatinya yang dikasihinya itu, sang prabu memejamkan mata, lalu membuang muka dan memerintahkan untuk mengangkut jenazah dua orang senopati itu ke Mojopahit
agar memperoleh pemakaman yang terhormat sebagai pahlawan-pahlawan Mojopahit.
Kemudian sang prabu mendahului pulang ke Mojopahit, dikawal pasukan pengawal
istimewa.
Selesailah pemberontakan Ronggo Lawe, dan selesai pula peperangan yang memakan
waktu singkat dan segera dapat dipadamkan berkat kebijaksanaan Sang Prabu
Kertarajasa Jayawardhana itu, yang menggunakan siasat mengepung dan menewaskan Ronggo Lawe untuk memadamkan pemberontakan. Semua anak buahnya menakluk, bahkan
dalam kesempatan ini Panewu Progodigdoyo dapat mencari muka, melaporkan kepada
atasan di Mojopahit
bahwa dia telah bersusah payah mencegah kehendak mendiang
Ronggo Lawe agar jangan memberontak. Karena memang Progodigdoyo pandai bermuka-muka
dan apalagi diam-diam dia mengadakan hubungan dengan Resi Mahapati, oleh sang prabu dia diberi kepercayaan untuk sementara mengatur dan mengamankan Tuban
sebagai pejabat adipati!
Sementara itu, setelah mendengar akan kematian Ronggo Lawe, ayah adipati itu, Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo, dengan hati penuh duka menyampaikan berita ini kepada kedua orang mantunya.
Akan tetapi betapa heran hatinya melihat dua orang mantunya
ini menyambutnya dengan rambut terurai dan pakaian serba putih seolah-olah
mereka telah tahu akan kematian suami mereka! Dengan hati terharu, Aryo Wirorojo
mengajak dua orang mantunya dan cucunya, Kuda Anjampiani, juga besannya, ayah dari Mertaraga,
untuk pergi ke Mojopahit, langsung menuju ke pura Mojopahit dimana disimpan
jenazah Ronggo Lawe.
Dua orang isteri Ronggo Lawe berlari-larian memasuki kamar mati dan menubruk
jenazah suaminya,
menangis dengan sedih, kemudian, disaksikan oleh dua orang tua
yang hanya bisa berlinang
air mata, yaitu Aryo Wirorojo dan Ki Ageng Palandongan
ayah Mertaraga, dua orang isteri
yang amat mencintanya, yang setia dan sudah
bersumpah sehidup
semati dengan Ronggo Lawe, melakukan bela pati dengan jalan membunuh
diri dengan keris yang ditusukkan ke arah jantung sendiri.
Kebiasaan yang amat menyedihkan dan mengharukan ini memang berlaku di jaman itu, kebiasaan
yang merupakan tradisi dan isteri yang melaksanakan tradisi ini dipuji-puji
sebagai isteri yang setia! Sungguh menyendihkan betapa isteri yang setia!
Sungguh menyedihkan betapa manusia
tunduk terhadap segala macam kebiasaan yang kolot dan totol. Oleh karena itu, tiada gunanya
kiranya diceritakan peristiwa yang amat mengerikan, menyedihkan dan juga membayangkan kebodohan manusia yang semenjak
jaman dahulu dampai sekarangpun secara membuta menyesuaikan dirinya
dengan segala
macam bentuk tradisi dan kebiasan yang berbau ketahyulan. Manusia
memang selalu merupakan
mahluk lemah, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada
diri sendiri, menggantungkan hidupnya kepada kebiasaan dan pendapat umum tanpa
memperdulikan apakah itu benar ataulah
keliru. Kita merasa ngeri untuk membuka
mata melihat kebodohan-kebodohan yang telah menjadi kebiasaan kita, bahkan
segan untuk melepaskan
kebiasaan-kebiasaan yang bodoh itu. Betapa lemahnya kita dan kenyataan
ini sungguh amat menyedihkan!
Setelah menghadiri upacara
pembakaran jenazah Ronggo Lawe dan kedua isterinya
yang melakukan bela pati, dengan hati berat Aryo Wirorojo
bersama Ki Ageng Palandongan membawa Kuda Anjampiani yang masih kecil dan belum tahu apa-apa itu kembali ke Tuban.
Dari sang parbu sendiri sampai para senopati
dan ponggawa kerajaan menyaksikan
upacara penghormatan terhadap jenazah dua orang senopati yang sudah banyak
jasanya terhadap
Mojopahit itu, dan sang prabu sendiri berkenan menyatakan duka
citanya, atas banyaknya
korban yang tewas di dalam peperangan itu, terutama
karena kematian
dua orang senopati itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mengetahui
akan peristiwa yang terjadi di malam berikutnya setelah Ronggo Lawe tewas di medan yuda.
Malam itu amat sunyi di tempat bekas peperangan itu. Terutama di kedua tepi
sungai Tambakberas amatlah
sunyinya. Tidak ada mayat yang nampak karena telah diangkut
oleh para prajurit kedua fihak, akan tetapi tempat itu masih berbau amis oleh darah yang banyak tertumpah,
dan keadaan amat menyeramkan. Tidak seorang
pun manusia berani mendekati tempat yang dua hari yang lalu dijadikan
pembantaian antara sesama manusia itu.
Akan tetapi menjelang tengah malam, terdengar suara anak kecil yang mengeluh dan
merintih, menyebut-nyebut nama Sri Winarti! Kalau ada orang mendengar suara ini, tentu dia akan lari tunggang
langgang, mengira bahwa ada roh gentayangan atau iblis berkeliaran di tempat yang menyeramkan itu.
Akan tetapi sesungguhnya tidak ada roh gentayangan atau iblis berkeliaran di
Sungai Tambakberas itu. Yang ada hanyalah seorang anak perempuan kecil, yaitu
Sulastri, adik dari Sri Winarti, gadis cantik yang membela pati di sungai itu ketika melihat
pria yang dicintainya Ronggo Lawe, telah tewas di atas batu kali.
Anak ini tidak berani muncul dan tetap bersembunyi di dalam rumpun alang-alang
sampai semua prajurit pergi membawa mereka yang tewas dan terluka di dalam
peperangan itu. Setelah
semua orang pergi dan hal ini baru selesai sampai hampir
tengah malam, dan keadaan
amat sunyi, barulah dia berani ke luar dari rerumpun
ilalang itu sambil memanggil-manggil nama kakaknya, yaitu Sri Winarti.
“Mbakyu Sri Winarti….!
Mbakayu….kenapa kautinggalkan aku seorang diri….? “ Dia berjalan
perlahan menuju ke hilir di mana mayat gadis itu masih tersangkut di sebuah batu besar, terlentang dengan wajahnya yang cantik itu kelihatan putih
sekali tertimpa sinar bulan, dan gagang sebatang
keris yang menancap di ulu hatinya
kelihatan!
Sulastri memang sudah tahu bahwa kakaknya
telah meninggal dunia, bahkan dia
telah melihat sendiri dari tempat persembunyiannya betapa kakaknya dengan marah menusuki lambung mayat lawan Ronggo Lawe, kemudian menggunakan keris itu untuk menusuk dadanya sendiri. Dia melihat betapa mayat kakaknya ditendang dan diludahi oleh orang tinggi bermata juling bernama Reksosuro! Kini dia
menghampiri mayat kakaknya itu, sejenak memandang mayat yang disinari bulan purnama
itu dan berkali-kali mengeluh,
“Mbakyu Narti ….kau telah mati….dan aku
bagaimana, mbakayu?“
Dengan susah payah anak itu lalu mengangkat setengah menyeret mayat kakaknya itu ke tepi sengai. Kemudian, setelah meletakkan mayat itu di tepi sungai dalam keadaan terlentang, mulailah anak itu menggali sebuah lubang di dalam hutan di tepi sungai
itu.
Memang luar biasa sekali anak ini. Sejak kecil sudah ditinggalkan mati keluaraganya dan hanya hidup berdua dengan kakaknya. Kehidupan yang serba sukar dan keras membentuk
wataknya menjadi keras, dan seakan-akan telah terkuras air matanya
sehingga kini menghadapi kematian kakaknya, satu-satunya orang yang digantunginya, biarpun
dia bersambat, mengeluh dan merintih, namun matanya tidak
mengalirkan air mata! Kini dia menggali
tanah, menggunakan golok dan tombak yang ditemukan
berserakan di tempat itu sebagai bekas senjata perang yang ditinggalakan para prajurit dan tentu saja amat sukarlah bagi seorang anak kecil seperti
dia untuk menggali sebuah lubang kuburan yang cukup besar hanya
menggunakan golok dan tombak!
Akan tetapi, anak ini tidak pernah mengeluh, terus
bekerja sampai setengah
malam suntuk dan setelah malam berganti pagi, barulah
selesai dia menggali lubang yang cukup besar !
Dia lalu berlutut
di depan mayat kakaknya, membersihkan tanah dari mukanya,
memandang kakaknya sampai lama dengan pandang mata mesra.
“Kau cantik, mbakayu, kau cantik manis sekali. Adipati Ronggo Lawe tentu senang melihatmu.“ Dia membungkuk dan mencium pipi kakaknya, kemudian dia memetik beberapa tangkai
bunga mawar dan menancapkan tangkai itu di rambut kakaknya yang terurai, di atas kedua telinganya.
Lalu dia mengangkat
lagi setengah menyeret mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang.
Untung ketika dia melepaskan mayat itu, mayat jatuh seperti di atur, terlentang
di dalam lubang. Kemudian dia berlutut lagi di dekat lubang, memandangi wajah kakaknya
dan mulutnya berbisik-bisik,
“Mbakayu narti ….engkau mati membela Adipati Ronggo Lawe, guruku. Guruku mati oleh Kebo Anabrang,
akan tetapi musuhnya itu pun sudah tewas oleh Senopati Lembu
Sora. Tidak ada lagi yang dibuat penasaran
kecuali…. Kecuali tiga orang itu! Reksosuro
dan Darumuko yang menghinamu, dan orang yang menjadi majikan mereka,
Resi Mahapati. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan mencari mereka, mbakayu dan akan kubalaskan penghinaan mereka atas mayatmu.“ Dia memegang kalungnya dan
mempermainkan benda itu. Benda itu adalah
sebuah Kundolo (cincin telinga)
bermata mirah, pemberian
Ronggo Lawe kepada Sulastri yang mengaku sebagai murid
adipati itu.
“aku akan memperlajari kedigdayaan, aku harus sakti seperti sang adipati agar tidak ada orang berani
menghinaku seperti mereka menghinamu, mbakayu.“